Seorang cucu bernama Syarif pamit kepada neneknya. Setelah beberapa tahun bekeja di Kementrian Luar Negeri ia ditugaskan sebaga diplomat.
“Kemana?” tanya Nenek.
“Saya ditugaskan sbagai staf Kedutaan Besar Indonesia di Vatikan,” jawab Syarif tenang.
“Ke sana? Apa aman Rif?”
Syarif tersenyum,
”Jelas aman Nek. Kalau tidak aman mana mungkin saya ditugaskan ke sana.”
”Terus bagaiana shalatmu di sana. Di sana kan penuh dengan gereja, bukan masjid.”
Syarif hampir saja tertawa.
”Nek, Nenek. Dunia sudah berubah. Di sana bahkan sudah dibangun masjid megah.”
“Lho? Benarkah?” tanya Nenek tidak percaya.
Syarif terpaksa membuka koleksi fotonya di layar handphone.
”Ini lho, Nek. Percaya kan?’
Nenek memperhatikan foto itu. Ia takjub. Tidak pernah terbayangkan dalam pikirannya kalau di sana bisa berdiri masjid. Tidak ada larangan mendirikan masjid di sana.
“Berarti orang sana toleran ya?”
“Iya dong Nek.?
Nenek terus memperhatikan masjid itu. Foto suasana di dalam masjdi juga diperhatikan.
”Kau pasti akan senang shalat disitu.”
”Tidak diragukan lagi.”
Nenek memandangi Syarif, Cucu, anak dari anak sulungnya. Nenek tersenyum penuh rahasia.
”Kenapa Nenek tersenyum seperti itu?”
Kini nenek malah tertawa.
”Ada apa Nek?” tanya Syarif penasaran.
’Syarif, Syarif, sungguh tidak aku duga kau berani bepergian jauh sampai ke luar negeri. Habis ketika kecil kau penakut amat sih. Ke kamar mandi saja minta diantar.”
Ganti Syarif tertawa.
”Itu kan ketika saya kecil, Nek. Dan saya ketika itu jadi penakut juga gara-gara Nenek.”
”Lho kok aku yang disalahkan?”
”Habis Nenek selalu marah-marah kalau aku ngompol. Nenek selalu menakut-nakuti tentang hantu yang akan menculik anak-anak yang suka ngompol. Jadinya saya kalau mau kencing ke kamar mandi saya takut sekali pada hantu itu.”
”Kau memang penakut. Pada hantu saja takut.”
”Sekarang tidak lagi Nek. Aku berani kemana saja dan kapan saja. Tidak usah minta diantar Nenek.”
”Soalnya, kalau kau masih minta diantar ke kamar mandi namanya ya keterlaluan. Kau sudah lulus sarjana, dan kerja. Mungkin sebentar lagi kau menemukan jodohmu, menikah.”
”Aamin, Nek. Semoga aku segera ketemu jodohku.”
”Tapi ada syaratnya. Jangan cari perempuan yang penakut seperti waktu kau kecil. Kau repot nanti, kemana-mana dia minta diantar.”
Sayrif betul-betul tertawa mendengar syarat Neneknya yang konyol seperti itu.
”Hari gini, Nek, sudah tiak ada lagi perempuan penakut. Semua perempua sudah menjadi manusia yang berani. Bahkan sering lebih berani dibanding laki-laki.”
”Nah, sebentar. Perempuan yang lebih berani dari laki-laki, apalagi yang berani kepada lelaki jangan kau pilih Rif.”
Syarif makin tertawa. Nenek ini lucu. Dia sendiri seorang nenek yang berani dan galak sampai kakeknya saja takut. Kenapa dia malah menasehati cucunya untuk tidak menikah dengan peempuan yang lebih berani dan suka marah-marah. Termasuk marah kepada suami.
Nenek memandangi cucunya sambil berfikir mengpa cucunya tertawa seperti itu. Mula-mula Nenek tidak tahu kalau cucunya menyindir dirinya. Setelah tahu dan merasa bahwa Syarif ingin mengembalikan syarat itu kepada dirinya, Nenek jadi malu dan tersipu.
”Kau pasti mau menyindir diriku ya?”
”Menyindir gimana Nek?”
”Lho, kau tertawa ketika kukemukakan syarat isteri yang berani tetapi tidak boleh berlebihan sampai berani memarahi lelaki kan? Kau ingin mengatakan kalau aku termasuk perempuan yang seperti itu kan?”
”Lho, yang mengatakan kan Nenek sendiri bukan aku. Ketahuan nih kalau Nenek adalah perempan pemberani dan pemarah. Tapi nggak apa-apa Nek. Ketika kecil saya ikut Nenek karena ayah dan ibu bekerja di Surabaya dan tidak punya waktu untuk merawatku, dan Nenek suka memarahi aku, suka menakut-nakuti aku demi agar aku tidak melaukan hal-hal yang tidak elok, saya waktu itu memang menderita Nek. Tetapi sekarang saya justru beterima kasih kepada Nenek yang tidak memanjakan aku ketika kecil. Saya tahu kalau maksud Nenek baik.”
”Seentar, ucapanmu itu seperti bukan ucapanmu sendiri. Kau mendengar dan mengutip dari mana?”
”Dari Ibu Nek. Ibu sebagai anak sulung ketika kecil juga suka dimarahi Nenek, juga suka ditakut-takuti kalau terlambat bangun tidur, terlambat shalat atau tidak menggarap PR. Ibu kemudian berkata bahwa maksud Nenek itu baik. Dan Ibuku menjadi Ibu yang seperti sekarang, punya karier bagus di kantornya, itu berkat pendidikan yang penuh disiplin dari Nenek kepada ibu ketika kecil.”
”Ibumu bilang begitu, Rif?”
”Ya, Nek.”
”Ibumu berkata jujur. Saya beterima kasih kau telah mengatakan itu,” bisik Nenek sambil memeluk Syarif.
”Mafkan aku ya Rif, kalau aku dulu terpaksa keras dalam mendidikmu.”
”Justru aku beterima kasih kepada Nenek.”
Syarif melirik jam. Ia segera mengemasi baragnya di kamar. Lalu pergi ke ruang depan.
”Sebentar lagi taksi ke bandara datang Nek. Saay pamit, minta doa restu ya Nek.”
”Ya, semua anak-anakku dan semua cucuku selalu kudoakan agar berhasil hidupnya.
”Aamiin.”
Taksi datang. Setelah bersalaman dan mencium tangan Nenek, Syarif pun meloncat, masuk ke dalam taksi. Taksi bergerak pelan meninggalkan halama. Syarif melambaikan tangan, Nenek membalas.
Setelah taksi menghilang, Nenek memeriksa kamar yang beberapa malam dipakai menginap Syarif. Kamar itu rapi. Tapi, ada buku agak tebal tereletak di dekat lampu meja.
Nenek membbaca kulit buku. Buku Harian, tertulis di sampul.
Denganpelan nenek membuka halaman awal buku itu.
Aku menulis buku harian ini dulu untuk mencatat apa saja yang kuderita karena hidup bersama Nenek yang aneh. Seorang nenek ayng tidak mau memanjakan cucunya. Tetapi usru selalu memarahu cucunya. Meski dia bilang kalau marah itu demi kasih sayang kepadaku, demi kebaikanku sendiri, tetapi ketika dimarahi, apalagi ketika ditakut-takuti, aku sungguh takut sekali.”
Nenek membuka halaman terakhir buku itu.
Aku sungguh berterima kasih kepada Nenek Galakku. Kalau tidak galak bukan Nenek namanya. Kalau tidak galak aku juga bukan cucunya yang diasayangi. He,he, berkat kegalakan dia aku selalu memndpat nilai raport tertinggi. Selalu menjadi juara kelas. Dan perstasiku ini harus kubayar dengan membiarkan diri dan sabar menerma hujan kemarahan Nenek, Terima kasih ya Nek atas segala kemarahan dan kata-kata yang seperti meledak-ledak di atas telingaku. Suatu hari ini pasti kukenang sebagai sesuatu yang indah..
Nenek tersenyum membaca kalimat terakhir buku harian itu. Ia ciumi buku itu, air matanya meleleh. Ia tidak tahu apakah cucunya sengaja meninggalkan buku itu untuknya, atau ia lupa memasukkan dalam koper untuk dibawa ke bandara.
Yogyakarta, 2019
Askar Sanjaya, sastrawan, tinggal di Yogyakarta
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM No 16 Tahun 2019