Hakikat Kurban dalam Islam

kurban

Foto Dok Jawara Aqiqah

Hakikat Kurban

Oleh : Arsyad Arifi

Ibadah kurban merupakan ritus tradisi umat Islam. Disyariatkan pada tahun kedua hijriyah, kini kurban telah membudaya dan memiliki corak tersendiri di berbagai komunitas umat Islam. Karenanya kurban memiliki hakekat yang sangat dalam dan wajib diketahui oleh seorang muslim.

  1. Definisi
  2. Etimologis
  3. Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dalam bukunya ‘Pengembangan HPT (II): Tuntunan Idain dan Qurban’ menyatakan bahwasannya Kurban secara etimogis berasal dari kata قرب – يقرب -قربانا (qaraba-yaqrubu-qurbanan) yang artinya mendekat.[1]
  4. Dalam kitab fiqih klasik kurban disebuat dengan أضحية (udhiyah). Imam Khatib Syirbini dalam Mughni al-Muhtaj mengatakan bahwasanya أضحية berasal dari kata الضحوة yang berarti. Kurban dinamakan demikian karena waktu awal pelaksanaannya dilaksanakan pada waktu dhuha.[2]
  5. Terminologis

Imam Khatib Syirbini mendefinisikan kurban sebegai :

ما يذبح من النعم تقربا إلى الله تعالى من يوم العيد إلى آخر أيام التشريق[3]

Artinya :

“Segala yang disembelih dari hewan ternak untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT (yang dimulai) pada hari ied sampai akhir hari tasyrik.” (Mughni/6/122)

Definisi inilah yang dikutip Dr. Wahbah Zuhaily dalam ‘al-fiqh al-Islamy wa Adillatuhu’ dan menjadi definisi kurban menurut Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah,

هي ذبح حيوان مخصوص بنية القربة فى وقت مخصوص أو ما يذبح من النعم تقربا إلى الله تعالى في أيام النحر[4]

Artinya :

Menyembelih hewan khusus dengan niat bertaqarrub kepada Allah SWT di waktu khusus atau segala yang disembelih dari hewan ternak untuk mendekatkan diri kepada Allah pada hari nahr.”  (al-Fiqh/3/594)

  1. Filosofi Kurban

Allah SWT tidak menjadikan segala sesuatu begitu saja tanpa manfaat. Tentu di setiap ciptaan Allah SWT termasuk syariatnya  ada hikmahnya seperti yang difirmankan oleh Allah Ta’ala :

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Artinya :

“(Orang berakal) adalah yang mengingat Allah baik ketika berdiri, duduk, maupun tertidur, dan senantiasa memikirkan dalam penciptaan langit dan bumi (sedangkan ia berkata), wahai tuhanku sungguh engkau tidak menciptakan semua ini sia-sia maha suci engkau maka hindarkan kami dari adzab neraka”. Q.S. Yusuf 111

Maka dari itu setidaknya ada tiga hakikat kurban yaitu :

  1. Bergembira atas rahmat Allah SWT.

Kurban merupakan ibadah yang disyariatkan bersama hari raya Iedul Adha. Kita diperintahkan untuk memperlihatkan kegembiraan dan sukacita yang dimanifestasikan dengan kurban. Karena dengan kurban para umat bisa menyantap hidangan daging kurban yang mungkin untuk sebagian orang hanya bisa memakannya setahun sekali. Rasulullah SAW bersabda :

إنها أيام أكل و شرب و ذكر الله تعالى

Artinya :

“Sesungguhnya hari itu (tasyrik) hari untuk makan, minum dan mengingat Allah.” (HR Muslim)

Karenanya kurban merupakan rahmat kita diperintahkan untuk memperlihatkan suka cita kita seperti yang difirmankan Allah SWT :

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُون

Artinya :

Katakanlah dengan nikmat keutamaan Allah dan rahmat-Nya maka bersenang-senanglah.” (QS. Yunus 58)

Karena hal tersebut maka diharamkan berpuasa pada hari nahr hingga akhir hari tasyriq. Hal ini disabdakan oleh Nabi SAW :

نهى رسول الله صلى الله عليه و سلم عن صيام يومين يوم الفطر و يوم الأضحى (متفق عليه)

Artinya :

“Rasulullah SAW melarang puasa pada dua hari yaitu hari iedul fitri dan iedul adha.” (HR Bukhari Muslim)

Bahkan Imam Taqiyyudin al-Hishni dalam kitabnya, ‘Kifayatul Akhyar’ mengatakan,

لا فرق بين أن يصومها تطوعا أو عن واجب أو عن نذر ولو صومهما لم ينعقد نذره[5]

Artinya :

Tidak ada bedanya antara puasa sunnah, qadha puasa wajib, atau puasa nadzar (tetap haram) jika tetap puasa di dua hari tersebut tidak sah nadzarnya.”

Maka dari itu hendaknya kita bergembira dan bersuka cita dengan menyantap hidangan kurban bersama keluarga dan umat Islam lainnya karena dengannya kita termasuk orang-orang yang senantiasa mengingat Allah SWT.

  1. Meneladani para Nabi

Kurban merupakan syariat qadimah yang telah ada semenjak zaman Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Bahkan sebagian ulama juga mengatakan bahwasannya kurban ada semenjak zaman Nabi Adam as. yang masyhur dengan kisah Qabil dan Habil. Dalam pensyariatan kurban tersebut terdapat kisah teladan yang perlu kita ikuti. Allah SWT berfirman :

Imam ath-Thabari mengkisahkan dalam kitabnya ‘Tarikh ath-Thabari’[6] dari Ibn Ishaq bahwasannya ketika Nabi Ibrahim as. diperintahkan untuk menyembelih anaknya, ia berkata kepada anaknya sebelum menyebutkan maksud yang sebenarnya, “Wahai anakku ambillah tali dan pisau lalu pergilah denganku ke syi’ib ini untuk mencari kayu bakar.”

Setelah pergi menuju syi’ib tersebut datanglah Iblis yang menyamar menjadi seorang lelaki untuk menghalanginya. Kemudian Iblis itu berkata kepada Nabi Ibrahim as.,”Wahai Syekh kemana hendak engkau pergi?” Nabi Ibrahim menjawab, “Aku ingin pergi ke syiib ini untuk keperluanku.” Lalu Iblis berkata, “Demi Allah sungguh aku telah melihat setan mendatangi engkau dalam mimpimu dan menyuruhmu untuk menyembelih anakmu ini, lantas engkau ingin menyembelihnya?”

Mendengar perkataan tersebut Nabi Ibrahim as. menyadari bahwasannya seorang lelaki tersebut adalah Iblis. Maka dari itu beliau berkata kepadanya,” Engkau tidak akan mendapatkan apapun dariku wahai musuh Allah, sungguh demi Allah akan kuteruskan perjalanan ini untuk melaksanakan perintah Allah.”

Setelah mendengar perkataan tersebut putus asalah Iblis untuk menggoda Nabi Ibrahim as. Maka dari itu ia pergi untuk menggoda puteranya, Nabi Ismail as yang berada di belakang ayahnya membawa tali dan pisau. Iblis berkata,”Wahai anak kecil, apakah kau tahu akan dibawa kemana dirimu oleh ayahmu?” Nabi Ismail as. menjawab, “Mencari kayu bakar untuk keluarga kami ke syi’ib ini.” Iblispun berkata, “Demi Allah sesungguhnya ayahmu membawamu kesana untuk menyembelihmu.” Nabi Ismail as. bertanya, “Mengapa demikian?” Iblis menjawab, “Ia beranggapan bahwasannya Tuhannya memerintahkan untuk melakukannya.” Nabi Ismail as berkata, “Jika demikian maka lakukanlah apa yang telah diperintahkan oleh Tuhannya maka aku akan tunduk dan patuh.”

Setelah mendengar perkataan tersebut Iblis kembali berputus asa untuk menggoda Nabi Ismail. Maka dari itu ia pergi untuk menggoda Ibunya yaitu Sayyidah Hajar yang sedang berada di rumah. Iblis berkata, “Wahai ibu Ismail, apakah kamu mengetahui kemana perginya Ibrahim dengan Ismail? Sy. Hajar menjawab,”Pergi dengannya untuk mencari kayu bakar ke syi’ib ini.” Iblis berkata, “Seungguh Ibrahim pergi dengan Ismail untuk menyembelihnya.” Mendengarnya maka sy. Hajar mengingkarinya seraya berkata, “Tidak mungkin, sungguh ia sangat mencintainya.” Lalu Iblis berkata, “Sesungguhnya Ibrahim beranggapan bahwasannya tuhannya yang memerintahkan hal itu.” Sy. Hajar menjawab, “Jika Tuhannya memerintahkan hal tersebut maka aku akan tunduk dan patuh terhadap perintah-Nya.”

Setelah mendengar perkataan tersebut, maka pulanglah Iblis dengan penuh amarah karena telah gagal menggoda keluarga Nabi Ibrahim as. Maka sesampainya di syi’ib Tsabir, berkatalah Nabi Ibrahim as. kepada anaknya, “Wahai anakku, sungguh aku melihat dalam mimpiku bahwasannya aku menyembelihmu.” Nabi Ismail menjawab, “Wahai Ayahku lakukanlah apa yang telah diperintahkan kepadamu, Insyaallah aku termasuk orang-orang yang sabar.”

Dalam kisah tersebut dapat kita petik hikmah yang sangat berarti, yaitu keteguhan Iman dalam mengerjakan perintah Allah SWT. Allah SWT telah meneguhkan Iman segenap keluarga Nabi Ibrahim as. dan dengannya rencana Iblis gagal. Maka hendaknya kita kokohkan iman dan mengerjakan apa yang telah diperintahkan oleh Allah SWT termasuk kurban ini secara sukarela, tunduk, dan patuh.

  1. Bersyukur atas Nikmat Allah SWT

Kurban merupakan momen sukacita yang menjadi salah satu dari rangkaian hari raya Idul Adha. Dalam hari raya tersebut kita diperintahkan oleh Allah SWT untuk bersyukur terhadap segala nikmat yang telah Allah SWT berikan kepada kita. Allah SWT berfirman,

 

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ

Artinya:

Maka ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari nikmat-Ku.” (QS al-Baqarah : 152)

Maka dari itu umat Islam diperintahkan untuk menyembelih kurban sebagai manifestasi dan simbol rasa syukur terhadap Allah SWT. Setelah menyembelih kurban kita disunnahkan untuk memakannya dan membagikannya kepada fakir miskin dan orang yang membutuhkan. Karenanya kurban mencerminkan makanan yang baik dan diridhai Allah SWT. Allah SWT berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ

Artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, makanlah yang baik-baik dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah.” (QS. Al-baqarah :172)

Bersyukur dengan cara ini patut dilaksanakan, karena orang yang bersyukur terhadap nikmat Allah SWT akan mendapat tambahan nikmat dan ampunan dari Allah SWT. Seperti yang difirmankan Allah SWT,

مَا يَفْعَلُ اللَّهُ بِعَذَابِكُمْ إِنْ شَكَرْتُمْ وَآمَنْتُمْ وَكَانَ اللَّهُ شَاكِرًا عَلِيمًا

Artinya:

Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman?. Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui. (QS. An-Nisa : 147)

Arsyad Arifi, Ketua PCIM Yaman

 

[1] Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pengembangan HPT (II) : Tuntunan Idain dan Qurban, t.t., hlm. 20.

[2] Imam al-Khatib asy-Syirbini, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani al-Minhaj; Dar al-Ihya wa at-Turats, Beirut juz 6, hlm.122.

[3] Ibid.

[4] Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pengembangan HPT (II) : Tuntunan Idain dan Qurban, t.t., hlm. 20.

[5] Imam Taqiyyuddin al-Hishni, Kifayat al-Akhyar fi Halli Ghayat al-Ikhtishar, hlm. 291.

[6] Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Tarikh ath-Thabari; Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 2005, Juz 1, hlm. 165.

Exit mobile version