Manut Ning Ngeyel Njur Mobal
Oleh: Yudha Kurniawan
Beberapa hari ini ponsel saya layaknya operator 911, nelpon teman yang kerja di RS sana sini dan para pengelola ambulans Muhammadiyah. Setiap hari setidaknya ada 1 atau 2 pasien yang keluarganya minta tolong untuk memanggil ambulan Muhammadiyah. Paketnya otomatis membantu mencarikan RS rujukan covid yang masih bisa menerima pasien.
Rupanya tidak gampang untuk mendapat layanan ambulan plus rumah sakit rujukan covid akhir-akhir ini. Untuk memanggil ambulan, terlebih dulu harus koordinasi dengan rumah sakit yang bisa melayani. Ketika sudah ada informasi rumah sakit yang bisa melayani, belum tentu ada ambulan yang siap menjemput. Ambulan covid itu tidak banyak sehingga jadwal penggunaannya sangat padat.
Untuk pasien yang memiliki mobil biasanya juga saya coba sarankan berangkat diantar keluarga yang sudah terpapar tapi fisiknya masih cukup kuat. Tentu yang tidak memiliki mobil tidak ada alternatif selain ambulan, karena jika sewa taksi tidak akan dilayani. Minta tolong tetangga mengantar dengan mobil juga pasti ditolak karena penyakitnya menular.
Pulang kampung usai lebaran
Pemerintah telah mencoba mengerem ledakan kasus Covid19 dengan kebijakan larangan mudik lebaran silam. Larangan ini relatif ditaati, namun usai lebaran rupanya terjadi gelombang pulang kampung juga. Nampaknya aturan itu oleh masyarakat hanya ditaati sebatas formil administratif saja, dilarang mudik ya mereka manut untuk merayakan lebaran di tanah rantau.
Celakanya secara substantif masyarakat ngeyel, sehingga pasca lebaran berbondong silaturahmi ke kampung halaman. Pemerintah memang tidak melarang pulang kampung usai lebaran. Akan tetapi agama Islam telah memberi rambu agar di tengah wabah tetaplah berada di tempat masing-masing. Hal ini demi membatasi penyebaran penyakit untuk keselamatan bersama. Sekarang ini tabiat masyarakat pulang kampung pasca lebaran sering disebut sebagai kambing hitam meledaknya kasus covid19.
Tak sesuai kata dengan perbuatan
Tidak fair juga sekedar menyalahkan gelombang warga perantauan yang pulang kampung pasca larangan mudik lebaran. Perilaku mereka tidak mustahil mencontoh standar ganda yang dialami warga Indonesia. Di saat semua dilarang mudik, rupanya banyak kabar masuknya tenaga kerja asing ke Indonesia. Pak Abdul Mu’ti pernah juga mengkritik masuknya tenaga kerja asing ini tidak dalam waktu yang tepat. Tentu ini berisiko membawa masuk varian covid19 yang belum ada di Indonesia.
Saat menyampaikan hikmah Idul Fitri di acara syawalan virtual warga Muhammadiyah Bantul 5 Juni 2021, Pak Abdul Mu’ti menceritakan kritiknya dengan bercanda. Pak Mu’ti memberi tips kalau mudik dicegat disuruh balik bilang saja “saya ini tenaga kerja asing”, pasti boleh lewat. Menurut Pak Mu’ti kritikan berbau canda itu rupanya ber-resonansi diikuti tokoh nasional lain termasuk ketua DPR RI Bu Puan Maharani.
Tidak mustahil standar ganda ini dinilai oleh masyarakat sebagai gaya ngeyel kaum elit berupa inkonsistensi kata dan perbuatan. Walhasil ditiru oleh sebagian warga masyarakat perantau dengan rame-rame pulang kampung usai larangan mudik lebaran yang dampaknya adalah panen kasus covid19.
Inkonsistensi lain juga dilakukan pemerintah, misalnya kementerian mengadakan kegiatan meeting mengundang peserta se Indonesia menginap beberapa hari di hotel. Untuk materi meeting yang memang tak bisa diselesaikan tanpa bertemu langsung mungkin bisa dimaklumi. Namun yang sering terjadi materinya cukup enteng-entengan bisa dibahas via zoom meeting. Sudah mengandung risiko penularan covid19, juga tidak efisien menyalahi komitmen refocussing anggaran di masa pandemi.
Perang Besar
Semua praktik inkonsistensi elit untuk mengakali aturan itu rakyat tahu, maka mereka mencontoh untuk melakukan pengeyelan. Manut tidak mudik lebaran, tapi ngeyel pulang kampung setelah tidak dilarang meski berisiko virusnya mobal. Padahal Kita sedang perang besar yang butuh kekompakan.
Gara-gara kita tidak kompak maka sekarang babak belur, bahkan dilanda krisis layanan kesehatan. Mars kematian di RSUP Sarjito yang konon juga karena krisis oksigen hanyalah puncak gunung es. Sekarang ini banyak pasien covid19 yang isolasi mandiri di rumah terancam keselamatannya saat ada perburukan kondisi. Cerita Ketua MCCC PCM Sewon Utara, oksigen ambulannya-pun dipinjam warga yang isoman sehingga bisa fatal jika membawa pasien yang butuh oksigen.
Indonesia di zaman perang kemerdekaan itu sangat hebat dalam kekompakan. Semua eleman masyarakat mendukung satu tujuan mempertahankan kemerdekaan. Saat itu bangsa Indonesia mengamalkan pesan sholat berjamaah sehingga perang gerilya semesta berjalan dengan kompak dan teratur. Beruntung saat itu komando pertempuran di tangan Panglima Besar Jenderal Soedirman seorang imam yang nyaris sempurna, iso digugu lan patut ditiru.
Spirit kekompakan era perang kemerdekan perlu kita hadirkan dalam berjuang melawan pandemi covid19. Masyarakat tak perlu menuntut hadirnya pemimpin sekaliber Jenderal Soedirman. Syukuri saja yang ada sekarang, mari kita kompak berbuat yang terbaik untuk melawan pandemi. Minimal kompaklah melaksanakan protokol kesehatan. Jangan sekali-kali melakukan perbuatan sekecil dan sesepele apapun yang bisa menambah beban para nakes dan relawan, termasuk menyebar hoax tentang covid-19.
Yudha Kurniawan, Ketua Umum Pimda 02 Tapak Suci Bantul