• Tentang SM
  • Disclaimer
  • Redaksi
  • Media Siber
  • Term & Condition
  • Privacy Policy
  • Hubungi Kami
Sabtu, Desember 13, 2025
Suara Muhammadiyah
No Result
View All Result
  • Login
  • Home
  • Berita
  • Khazanah
  • Hadlarah
  • Khutbah
  • Tanya Jawab Agama
  • Wawasan
  • Humaniora
  • Home
  • Berita
  • Khazanah
  • Hadlarah
  • Khutbah
  • Tanya Jawab Agama
  • Wawasan
  • Humaniora
No Result
View All Result
suaramuhammadiyah
No Result
View All Result

Habib

Suara Muhammadiyah by Suara Muhammadiyah
8 September, 2025
in Pediamu
Reading Time: 2 mins read
A A
1
Habib

Foto Dok Ilustrasi

Share

Oleh: Muhammad Ridha Basri

Terdapat hadis yang diperdebatkan, “Kutinggalkan dua pusaka bagi kalian, Kitabullah (Al-Qur’an) dan itrahku (keturunan/sanak keluargaku), ahlul bait.” Dari sini, ahlul bait dipahami sebagai Nabi saw, Ali bin Abi Thalib yang menikahi Fatimah, serta putra mereka Al-Hasan dan Al-Husein. Generasi ke-8 disebut alawiyin.

Baca Juga

Gerakan Dakwah

Sejarah Darul Arqam

Ketua Rabithah Alawiyah, Habib Zein bin Umar bin Smith menyatakan bahwa keturunan Nabi Muhammad dari jalur Husein disebut sayyid, dari Hasan disebut assyarif/syarif/asyraf. Habib berasal dari para sayyid, yang dimulai dari Ahmad bin Muhazir (Ahmad al-Muhajir) yang berasal dari Hadhramaut, keturunannya lalu menyebar ke Asia Timur hingga Indonesia. Rabithah Alawiyah mencatat 62 marga keturunan Nabi di Indonesia, di antaranya: Assegaf, Alaydrus, Alatas, Shihab/Shahab (dari 151 di seluruh dunia). Menurut ketua bagian nasab Maktab Daimi Rabithah Alawiyah, Habib Ahmad Alatas, gelar habib muncul pertama kali di tahun 1000 Hijriyah untuk Habib Umar bin Abdurrahman Alattas. Alasannya, hidup beliau didedikasikan untuk dakwah, senantiasa mendampingi dan sangat dicintai oleh rakyat kecil.

Sejak awal abad ke-20, orang Arab Hadramaut semakin banyak di Indonesia, dan mendirikan koloni Arab Hadramaut di banyak kota, seperti Batavia (Pekojan), Cirebon, Semarang, Pekalongan, Surabaya, Yogyakarta (Sayidan). Pengaruh modernisasi mendorong keturunan Arab mendirikan Jamiat al-Khair pada 1901 yang disahkan pemerintah kolonial tahun 1905. Kepemimpinan awal organisasi ini didominasi kalangan marga Bin Shahab dan al-Mashur. Mulailah sekolah-sekolah modern didirikan oleh orang-orang Hadramaut yang diperuntukkan untuk sayid maupun non-sayid. Tahun 1911, Syekh Ahmad Surkati (kelahiran Sudan yang menempuh pendidikan di Mesir, Medinah, dan Mekkah) diundang dan diangkat sebagai inspektur pendidikan sekolah-sekolah Jamiat al-Khair (Zen RS, Tirto.id, 2017).

Kedatangan Surkati memunculkan polemik karena pandangannya yang reformis, terutama terkait adat-istiadat dan keistimewaan sayid. Ia membolehkan pernikahan seorang syarifah dengan non-sayid. Surkati juga menampik keharusan orang non-sayid untuk mencium tangan sayid. Surkati pun keluar dari Jamiat al-Khair, lalu mendirikan Al-Irsyad, yang pengikutnya banyak dari kalangan non-sayid atau sayid yang berpandangan reformis. Di kemudian hari, muncul Abdul Rahman Baswedan, seorang peranakan Hadrami non-sayid yang mengajak keturunan Arab untuk menjunjung tanah air yang dipijak, yaitu Hindia Belanda.

Dosen UIN Jakarta, Muhsin Labib, menyatakan bahwa habib yang seakar kata dengan hubb, bermakna cinta. Habib semakna dengan mahbub atau dicintai. “Pada makna primer, Tuhan adalah Yang Dicintai. Dialah Pemilik Tunggal sifat Habib. Inilah makna Tauhid fil Mahabbah.” Menurutnya, Nabi Nuhammad adalah entitas termulia setelah Allah. Sebagai pribadi yang memperoleh kewenangan dari Allah, Nabi wajib dicintai sebagai sang habib utama yang memiliki semua kemuliaan budi pekerti. Namun, Nabi bukan hanya tak suka disanjung, tapi selalu tenggang rasa dan rendah hati (QS 33:53).

Tidak semua sayyid mau dipanggil habib, salah satunya adalah mufassir Quraish Shihab. “Saya merasa, saya butuh untuk dicintai, saya ingin mencintai. Tapi rasanya saya belum wajar untuk jadi teladan. Karena itu, saya tidak, belum, ingin dipanggil Habib,” ujar cucu Habib Ali bin Abdurrahman asal Hadhramaut ini dalam Cahaya, Cinta dan Canda Quraish Shihab. Ia mengkhawatirkan bahwa pujian yang terkandung dalam kata habib membawa kemungkinan asosiasi Rasul dengan dirinya, sebagaimana banyak berkembang di Indonesia.

Menurut Ahmad Syafii Maarif, penghormatan berlebihan kepada manusia, termasuk kepada mereka yang mengaku keturunan Nabi adalah bentuk perbudakan spiritual. “Bagiku, gelar-gelar sayid, syarifah, wali, habib, dan 1001 gelar lain yang mengaku keturunan nabi, atau keturunan raja, hulubalang, atau keturunan bajak laut dan perompak lanun yang kemudian ditakdirkan menjadi raja, sultan, amir, dan dianggap suci oleh sebagian orang akan runtuh berkeping-keping berhadapan dengan penegasan ayat Al-Qur’an,” tulisnya dalam Memoar Seorang Anak Kampung (2013). Surat Al-Hujurat ayat 13 merubah pandangan masyarakat jahiliyah yang mengagungkan kemuliaan (karim) karena keturunan/kebangsawanan menjadi kemuliaan karena ketakwaan di hadapan Tuhan dan egaliter di hadapan manusia.

Sumber: Majalah SM Edisi 24 Tahun 2020

Tags: HabibPediamu
Suara Muhammadiyah

Suara Muhammadiyah

Related Posts

Muhammadiyah Rawalumbu Gelar Shalat Idul Adha, Berikut Daftar Lokasinya
Pediamu

Gerakan Dakwah

8 Juli, 2023
Dahlan Rais darul arqam
Pediamu

Sejarah Darul Arqam

4 Mei, 2023
Tanfidz Muktamar ke-48
Pediamu

Mengenal Tanfidz di Muhammadiyah

8 Maret, 2023
Next Post
Infak

Pahala Melakukan Infak di Jalan Allah; Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 261-264

Please login to join discussion
  • Kotak Pos
  • Privacy Policy
  • Disclaimer
  • Pedoman Media

© SM 2021

No Result
View All Result
  • Home
  • Berita
  • Khazanah
  • Hadlarah
  • Khutbah
  • Tanya Jawab Agama
  • Wawasan
  • Humaniora

© SM 2021

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In