Hukum Berkurban: Sunnah ‘Ain atau Sunnah Kifayah?
Oleh: Arsyad Arifi
Kurban adalah simbol sakralisme penebusan diri dihadapan Allah SWT. Karena itu kurban menempati posisi yang sangat vital dalam Islam. Karenanya ulama bersilang pendapat terkait hukum kurban. Imam Muhammad bin Abdurrahman al-Dimasyqi al-‘Usmani asy-Syafi’i mengatakan dalam kitabnya ‘Rahmatul Ummah‘ bahwasannya Imam Malik, Syafi’i, Ahmad, dan kedua shahib Abu Hanifah mengatakan kurban itu sunnah muakkadah, sedangkan Imam Abu Hanifah mengatakan wajib.[1] Kebanyakan ulama lebih menarjihkan qaul jumhur yang mengatakan bahwasannya hukum kurban adalah sunnah mu’akkadah.
Setelah mengetahui hukum kurban secara dzatinya, perlu diketahui pula hukum kurban secara cakupan pembebanan hukumnya. Hukum kurban secara cakupan pembebanan hukumnya adalah sunnah ‘ain jika tidak memiliki anggota keluarga dan sunnah kifayah jika memiliki banyak anggota keluarga atau yang biasa disebut ahlul bait[2]. Hal ini disebutkan oleh Imam Khatib asy-Syirbini dalam kitabnya ‘Mughni al-Muhtaj’ :
قال في العدة وهي سنة على الكفاية إن تعدد أهل البيت فإذا فعلها واحد من أهل البيت كفى عن الجميع وإلا فسنة عين
Artinya :
“Dikatakan dalam kitab al-‘Uddah bahwasannya kurban itu sunnah kifayah jika memiliki banyak anggota keluarga atau ahlul bait jika ada salah seorang berkurban dari keluraga tersebut maka cukuplah, dan jika tidak memiliki anggota keluraga maka hukumnya sunnah ‘ain.”[3]
Pertanyaannya adalah apa itu sunnah ‘ain dan sunnah kifayah ?
Imam Zarkasyi menjelaskan dalam kitabnya ‘Bahr al-Muhith’ :
وَكَمَا يَنْقَسِمُ الْفَرْضُ إلَى عَيْنٍ وَكِفَايَةٍ فَكَذَلِكَ السُّنَّةُ. وَسُنَّةُ الْكِفَايَةِ أَنْ يَقَعَ الِامْتِثَالُ لِأَمْرِ الِاسْتِحْبَابِ بِفِعْلِ الْبَعْضِ، وَيَنْقَطِعَ دَلَالَةُ النَّصِّ عَلَى الِاسْتِحْبَابِ فِيمَا زَادَ عَلَى ذَلِكَ وَلَا يَبْقَى مُتَسَحَّبًا بَلْ دَاخِلًا فِي حَيِّزِ الْمُبَاحِ أَوْ غَيْرِهِ، بِخِلَافِ سُنَّةِ الْعَيْنِ فَإِنَّهَا بِفِعْلِ الْبَعْضِ الِاسْتِحْبَابُ مَوْجُودٌ فِي حَقِّ الْبَاقِينَ، كَذَا قَالَهُ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ ابْنُ دَقِيقِ الْعِيدِ فِي ” شَرْحِ الْإِلْمَامِ “[4]
Artinya :
“Sepertihalnya fardhu dibagi menjadi ‘ain dan kifayah begitupula dengan sunnah. Sunnah kifayah adalah suatu perbuatan sunnah yang dihukumi terlaksana jika dikerjakan oleh sebagian orang, dan gugurlah tuntutan kesunnahan dari nash yang menunjukkan hal tersebut terhadap sebagian orang yang lain sehingga perbuatan tersebut tidak sunnah lagi akan tetapi menjadi mubah. Berbeda halnya dengan sunnah ‘ain perbuata tersebut tetap dihukumi sunnah walaupun telah dikerjakan oleh sebagian orang. Seperti inilah yang dikatakan oleh Syekh Taqiy ad-Din Ibn Daqiq al-‘Id dalam Syarh al-Ilmam.”
Jadi dapat disimpulkandari uraian Imam Zarkasyi diatas bahwasannya :
-
Sunnah Ain
Adalah perbuatan sunnah yang ditujukan kepada setiap orang.
-
Sunnah Kifayah
Adalah perbuatan sunnah yang ditujukan kepada suatu golongan tertentu yang apabila dikerjakan oleh sebagian dari golongan tersebut maka gugurlah tuntutan kesunnahan tersebut bagi sebagian yang lain.
Jika dikaitkan dengan kurban, maksud dari kata ‘gugur’ disini bukanlah jika ada satu anggota yang berkurban otomatis semua anggota keluarga mendapat pahalanya, akan tetapi gugur tuntutan untuk berkurban bagi sisa ahlul bait atau anggota keluarganya. Hal ini diperjelas oleh kalam Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya ‘Tuhfatul Muhtaj’ :
ومعنى كونها سنة كفاية مع كونها تسن لكل منهم سقوط الطلب بفعل الغير لا حصول الثواب لمن لم يفعل كصلاة الجنازة
Artinya :
“Adapun makna hukum berkurban sunnah kifayah sedangkan berkurban itu tetap disunnahkan bagi setiap ahlul bait adalah gugurnya tunututan dengan perbuatan yang lain (salah satu anggota keluarganya), bukan sampainya pahala kepada (anggota keluarga) yang tidak melakukakannya, seperti shalat jenazah”[5]
Ketika kita sudah mengetahui apa yang dimaksud sunnah ain dan sunnah kifayah, muncul pertanyaan baru yaitu : “Apa guna kita mengetahui hukum kurban itu sunnah ‘ain dan sunnah kifayah?”
Setidaknya jawabannya terdapat pada beberapa poin :
- Jika kita tidak berkeluarga atau tidak memiliki ahlul bait maka cukuplah kurban diniatkan untuk diri sendiri. Karena pahala dan keutamaan kurban akan kembali kepada diri sendiri.
- Jika kita berkeluarga atau memiliki ahlul bait maka perlu diperhatikan hendaknya ahlul kurban meniatkan kurban ini dari dirinya sendiri dan dari keluarganya. Jika tidak diniatkan demikian maka pahala dan keutamaan berkurban akan kembali kepada shohibul kurban saja tidak kepada ahlul baitnya seperti yang diulas diatas. Hal ini telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW :
عن جابر بن عبد الله صليت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم عيد الأضحى فلما انصرف أتى بكبش فذبحه فقال : بسم الله والله أكبر اللهم هذا عني وعمن لم يضح من أمتي (رواه أحمد و أبو داود و الترمذي)
Artinya :
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah r.a. “Saya shalat ‘Idul Adlha bersama Rasulullah saw, kemudian setelah selesai, kep ada beliau diberikan seekor kibasy (kambing yang besar) lalu beliau menyembelihnya seraya berdoa: Bismillahi wallahu akbar, Allahumma hadza ‘anniy wa ‘an man lam yudlahhi min ummatiy (Dengan menyebut nama Allah, Allah Maha Besar, Wahai Allah, ini dariku dan dari orang yang tidak berqurban dari umatku).” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Turmudzi)
Berkenaan dengan hadis ini Imam Ibnu Qassim al-Abbadi berkata dalam Hasyiyahnya atas Kitab Tuhfah :
وخبر: «اللهم هذا عن أمتي» وفي رواية عمن لم يضح من أمتي محمول لنص البويطي على أن من نواها عنه وعن أهل بيته أجزأه على الشركة في الثواب اهـ[6]
Artinya :
“Dan hadis “Allahumma hadza ‘an ummati” (Ya Allah ini kurban dari umatku) fan dalam riwayat lain menyebutkan “‘amman lam yudhahhi min ummati” (ini qurban dari sesiapa yang belum menyembelih dari umatku) sesuai dengan pendapat al-Buwaithi yang mengatakan bahwasannya barangsiapa yang meniatkan kurban itu dari dirinya dan dari ahlul baitnya bersamaan maka sah dan terhitung dalam pahalanya untuk bersama.”
Terkait niat tentu tidak ada cara baku, akan tetapi Imam ‘Ali Syibramalisy menyontohkan dalam Hasyiyah ‘Ala Nihayah :
( قَوْلُهُ : أَنَّهُ لَوْ أَشْرَكَ غَيْرَهُ ) أَيْ كَأَنْ يَقُولَ : أَشْرَكْتُك أَوْ فُلَانًا فِي ثَوَابِهَا وَظَاهِرُهُ وَلَوْ بَعْدَ نِيَّةِ التَّضْحِيَةِ لِنَفْسِهِ وَهُوَ قَرِيبٌ[7]
Artinya :
“Seperti berkata : Aku mengikutkan dirimu atau fulan dalam pahala kurban ini” Secara dhahirnya sah mengikutkan orang lain dala pahala walaupun setelah niatnya kurban untuknya sendiri.”
Setelah mengetahui perihal diatas mari kita makin mawas diri terhadap kurban yang akan kita laksanakan. Terutama jika memiliki keluarga jangan lupa untuk meniatkan kurban demi keluarganya. Karena kurban merupakan momen syukur dan suka cita maka hendaknya dirayakan secara bersama. Wallahua’lambishawab.
Arsyad Arifi, Ketua PCIM Yaman
[1] Imam Muhammad bin Abdurrahman al-Dimasyqi al-‘Usmani asy-Syafi’I, Rahmah al-Ummah fi ikhtilaf al-A’immah; Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut 1995, hlm. 114.
[2] Ulama berbeda pendapat tentag konteks Ahlul Bait dalam perspektif hokum kurban ini. Imam Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan setidaknya ada tiga pendapat yaitu :
- Kerabat laki-laki dan perempuan
- Orang-orang yang terkumpul dibawah nafkah seseorang.
- Orang yang menempati suatu rumah tertentu walaupun tidak memiliki hubungan kekerabatan.
Syekh Abdul Hamid asy-Syarwani dan Syekh Ahmad bin Qasim al-‘Abbadi, Hawasyi Syarwani wa Ibn Qasim al-‘Abbadi ‘ala Tuhfah al-Muhtaj bisyarh al-Minhaj; Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 2007, Juz 12 hlm. 247-249.
[3] Imam al-Khatib asy-Syirbini, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani al-Minhaj; Dar al-Ihya wa at-Turats, Beirut juz 6, hlm.162.
[4] Imam Abu Abdillah Badruddin Muhammad bin Abdullah az-Zarkasyi, Bahr al-Muhith fi Ushul al-Fiqh; Dar al-Kutubi, t.t., 1994, Juz. 1,. Hlm. 388.
[5] Syekh Abdul Hamid asy-Syarwani dan Syekh Ahmad bin Qasim al-‘Abbadi, Hawasyi Syarwani wa Ibn Qasim al-‘Abbadi ‘ala Tuhfah al-Muhtaj bisyarh al-Minhaj; Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 2007, Juz 12 hlm. 248.
[6] Ibid.
[7] Syekh Ali bin Ali Syibramalisy, Hasyiyah Ali Syibramalisy ‘ala Nihayat al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj; Dar al-Fikr, Beirut, 2009, Juz. 8 hlm. 151.