Infak adalah mengeluarkan sebagian harta untuk diberikan kepada pihak yang membutuhkan, baik kepada perseorangan seperti fakir miskin maupun kepada lembaga seperti madrasah, masjid, organisasi dan sebagainya
Tafsir Tahliliy ini disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan naskah awal disusun oleh Prof. Dr. Muhammad Zuhri.
وَمَثَلُ الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ وَتَثْبِيتًا مِّنْ أَنفُسِهِمْ كَمَثَلِ جَنَّةٍ بِرَبْوَةٍ أَصَابَهَا وَابِلٌ فَآتَتْ أُكُلَهَا ضِعْفَيْنِ فَإِن لَّمْ يُصِبْهَا وَابِلٌ فَطَلٌّ ۗ وَاللّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ ٢٦٥ أَيَوَدُّ أَحَدُكُمْ أَن تَكُونَ لَهُ جَنَّةٌ مِّن نَّخِيلٍ وَأَعْنَابٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ لَهُ فِيهَا مِن كُلِّ الثَّمَرَاتِ وَأَصَابَهُ الْكِبَرُ وَلَهُ ذُرِّيَّةٌ ضُعَفَاءُ فَأَصَابَهَا إِعْصَارٌ فِيهِ نَارٌ فَاحْتَرَقَتْ ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ ٢٦٦
“Perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat (265)
Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu memikirkannya.” (266).
Ayat 265 dan 266 surah al-Baqarah ini membicarakan gambaran infak yang didasarkan keikhlasan, disebut dengan ibtigha` mardlatillah (ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللّهِ) yang artinya “dengan mengharap keridaan Allah,” dan bahaya orang yang memiliki banyak harta tetapi tidak mau mengambil kesempatan untuk berinfak. Tema infak dibicarakan dengan cukup panjang dan menyeluruh, empat belas ayat dalam surah al-Baqarah yang dimulai dari ayat 261 hingga 274. Dua ayat yang dibicarakan ini merupakan bagian dari deretan ayat infak.
Di beberapa ayat sebelum ayat 261 ini, al-Quran berbicara tentang tema akidah, bagaimana kekuasaan Allah menghidupkan makhluk-Nya untuk meneguhkan iman Nabi Ibrahim. Selanjutnya, setelah selesai berbicara tentang infak, mulai ayat 275 dan beberapa ayat sesudahnya, al-Quran berbicara tentang terkutuknya riba dan terpujinya bersedekah. Al-Quran memberi petunjuk bahwa akidah tentang kekuasaan Allah itu harus diperkuat untuk sandaran hidup. Agar akidah itu tetap kokoh harus diekspresikan dengan amal perbuatan, seperti menginfakkan harta karunia Allah. Bila akidah itu merupakan gambaran koneksi hamba dengan Allah, maka infak merupakan gambaran koneksi antara sesama hamba Allah. Al-Quran memerintahkan agar infak ditumbuhkembangkan, jangan sampai para hamba Allah tergoda mengambil transaksi ribawi.
Infak adalah mengeluarkan sebagian harta untuk diberikan kepada pihak yang membutuhkan, baik kepada perseorangan seperti fakir miskin maupun kepada lembaga seperti madrasah, masjid, organisasi dan sebagainya. Di dalam kehidupan bermasyarakat ada orang yang diberi kelebihan harta pada satu pihak, dan ada pihak lain yang kekurangan harta, sehingga membutuhkan bantuan dari pihak yang berkelebihan. Hal ini merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Dalam kehidupan bermasyarakat dibutuhkan sarana dan prasarana untuk kebersamaan. Infak adalah solusinya.
Islam mengajarkan bahwa pada hakikatnya harta yang dilepaskan oleh pemiliknya sebagai infak tidak pernah hilang, justru merupakan investasi yang akan dipetik bukan hanya di akhirat, tetapi juga di dunia sekarang ini. Kesadaran akan konsep ini menimbulkan rasa ikhlas dalam hati ketika mengeluarkan harta untuk infak. Infak menghasilkan ketenangan batin. Sebaliknya, melepaskan harta tanpa dasar ikhlas akan menimbulkan beban perasaan dan pikiran yang berkepanjangan serta kekhawatiran akan kemiskinan. Namun demikian, tidak sedikit orang yang melepaskan banyak harta karena kepentingan tertentu yang berujung kesenangan duniawi, bukan untuk menggapai rida Ilahi. Tasaruf harta terkadang merupakan sebuah kamuflase agar dikatakan orang bahwa pelakunya dermawan. Tasaruf harta dengan cara demikian, cepat atau lambat, akan diketahui sebagai kebaikan semu belaka.
Infak adalah salah satu bentuk ekspresi pengabdian. Benar bahwa orang hidup mengejar kebahagiaan. Masalahnya, ada orang yang mengira akan memperoleh kebahagiaan bila dapat meraup fasilitas, apalagi fasilitasnya jauh lebih banyak dari yang diperoleh orang pada umumnya. Selanjutnya ia merasa keberatan bila orang lain memperoleh fasilitas, sedangkan ia sendiri tidak menerimanya. Padahal kepribadian seperti ini tidak menguntungkan baginya karena mengejar kesenangan sendiri tidak peduli dengan derita orang lain. Pada saatnya ketika ia membutuhkan bantuan orang lain, karena manusia bukan makhluk sempurna, maka bantuan tidak mau datang. Kalaupun berderma, ia ingin disaksikan orang banyak. Sebaliknya, ia enggan berderma dalam keadaan sepi atau tidak terlihat oleh orang lain.
Sementara itu ada orang yang merasa bahagia apabila dapat mengabdi kepada masyarakat dengan cara berinfak. Ia merasa bahagia bisa membahagiakan orang lain, bahagia bila memberi fasilitas untuk kepentingan umum. Dengan ini ia merasa dirinya eksis. Ia merasa eksistensinya berkurang manakala tidak dapat memberi manfaat kepada orang lain. Ia tidak pernah berpikir minta bantuan, sebaliknya selalu berpikir untuk membantu meringankan beban, baik beban perorangan maupun kelompok. Semakin berinfak maka hatinya semakin kuat, semakin optimis dan selalu berharap agar ia memberi manfaat bagi orang lain. Tanpa berkata “saya ikhlas”, dengan sendirinya ia diberi label ikhlas oleh Allah dan disaksikan oleh orang lain. Sebuah hadis yang perlu dipedomani untuk infak dengan ikhlas adalah hadis riwayat al-Bukhari, Muslim, al-Turmudzi, Ibn Majah, Ahmad dan Malik sebagai berikut:
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ الْإِمَامُ الْعَادِلُ وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ أَخْفَى حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
“Ada tujuh golongan manusia yang akan mendapat naungan Allah pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya: pemimpin yang adil; seorang pemuda yang menyibukkan dirinya dengan ibadah kepada Tuhannya; seorang laki-laki yang hatinya terpaut dengan masjid; dua orang laki-laki yang saling mencintai karena Allah, mereka tidak bertemu kecuali karena Allah dan berpisah karena Allah; seorang laki-laki yang diajak berbuat maksiat oleh seorang wanita kaya lagi cantik lalu dia berkata, ‘Aku takut kepada Allah’; dan seorang yang bersedekah dengan menyembunyikannya hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya; serta seorang laki-laki yang berzikir kepada Allah dengan mengasingkan diri hingga kedua matanya basah karena menangis.”
Singkatnya, hadis sahih ini menyatakan bahwa orang yang berinfak secara rahasia akan mendapat perlindungan dari Allah swt pada hari yang tidak ada perlindungan kecuali perlindungan Allah. Berhubung tidak disebut kapan, tidak salah kalau dipahami bahwa masanya itu di dunia ini dan di akhirat kelak. Minimal, perlindungan itu berupa ketenangan batin.
Yang dimaksud dengan infak rahasia adalah infak yang didasari rasa ikhlas. Berinfak secara rahasia itu sulit dilakukan kalau tidak didasari keikhlasan. Namun infak dengan ikhlas tidak harus dilakukan secara rahasia. Terkadang infak yang diketahui banyak orang dapat memberi inspirasi orang lain untuk ikut berinfak.
Alangkah bahagia orang yang ikhlas berinfak seperti ini sebagaimana digambarkan dalam surah al-Baqarah ayat 265. Infak itu dilukiskan bagai orang yang mempunyai kebun indah di dataran tinggi yang siraman airnya berlimpah. Bagi penerima infak, harta itu membawa berkah, memberi kesenangan dan kekuatan kepada banyak orang. Sekiranya dipergunakan untuk membangun sekolah, ia dapat mencerdaskan umat, baik cerdas pikiran maupun batin. Sekolah menjadi tempat mencetak generasi yang berakhlak mulia, mengedepankan kepentingan orang banyak daripada kepentingan pribadi. Singkatnya, infak yang didasari keikhlasan akan mendatangkan kemaslahatan ganda.
Sebaliknya, ada infak yang tidak didasari keikhlasan, tetapi karena riya. Pelakunya ingin dipuji sebagai dermawan. Untuk mendapatkan pujian duniawi ia bersedia mengeluarkan banyak harta yang sebenarnya memberatkan hatinya. Ia menyangka bahwa tindakan infaknya akan dapat dipetik di kemudian hari. Ia tidak menyadari bahwa perilaku infak seperti ini tidak berguna.
Infak semacam ini dilakukan oleh orang yang dalam benaknya ada kontradiksi, antara keberatan kehilangan harta dengan tuntutan untuk memperoleh nama “harum”. Hatinya gelisah karena ada ganjalan di dalamnya. Hal ini dapat muncul kapan saja. Infak ini tidak dimaksudkan untuk kepentingan pihak penerima, tetapi lebih untuk diri sendiri. Sehubungan dengan itu, dalam ayat 266 dilukiskan bahwa infak tanpa keikhlasan bagaikan orang yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; yang dalam kebun itu segala macam buah-buahan ada. Kemudian ketika masa tuanya tiba dan kekayaannya pada saatnya diwarisi oleh keturunan yang masih kecil-kecil, maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu kebun itu terbakar. Generasi yang seharusnya menikmati buah tanaman subur nan indah itu kehilangan semua harapannya, karena semua habis diterpa angin kencang berapi. Apa yang ia bina tempo dulu menjadi sia-sia, karena masa depan yang dibayangkan itu hancur akibat kesalahan sendiri. Ayat ini mengingatkan kita agar tidak mengeluarkan infak dengan motif kesombongan dan mengharap pujian dari orang lain. Infak seharusnya dimaksudkan untuk mencari rida Allah.
Infak dan Zakat ayat 267
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ اٰمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِاٰخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu infakkan darinya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji” (267)
Pokok pikiran yang dapat dipetik dari ayat ini meliputi (1) perintah berinfak; (2) harta infak berasal dari rezeki yang baik atau thayyibat, baik dari hasil usaha maupun yang keluar dari perut bumi; dan (3) larangan menginfakkan barang-barang yang memiliki nilai dan kualitas yang buruk.
Perintah Berinfak
Dalam ayat ini Allah memerintahkan orang-orang mukmin mengeluarkan sebagian harta yang disebut infak. Dalam menafsirkan ayat 267 al-Baqarah ini al-Qurthubi menyebutkan bahwa ulama berbeda pendapat tentang hukum yang diakibatkan oleh perintah dalam ayat ini. Ada yang menyatakan bahwa perintah itu dipahami sebagai infak wajib, dan ada yang menyatakannya sebagai infak sunah. Kemudian ia mengutip pendapat Ali bin Abu Thalib, Ubaidah al-Salmani dan Ibnu Sirin, bahwa infak dalam ayat ini maksudnya sedekah wajib (Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Jilid III (Kairo: Dar al-Kutub al- mishriyah, 1964), Cet. II, hlm. 320).
Dengan kaidah yang berbunyi ‘pada dasarnya perintah itu menunjuk pada hukum wajib’ maka infak yang disebut dalam ayat ini adalah infak yang hukumnya wajib. Kalau kita kembali pada hukum fikih, di sana ditemukan bahwa perbuatan mengeluarkan harta yang hukumnya wajib terdapat pada zakat. Dengan demikian, melaksanakan perintah berinfak sebagaimana ditunjuk dalam ayat ini berarti melaksanakan zakat. Agar ajaran agama mudah dimengerti dan tidak membingungkan, para ulama fikih dalam kitab-kitabnya menyatakan bahwa pengeluaran harta yang hukumnya wajib disebut zakat, sedangkan yang disebut sedekah dan infak hukumnya sunah. Ketika ditelusuri petunjuk al-Quran tentang zakat, terdapat ayat yang menyebut istilah sedekah (shadaqah) dipahami sebagai zakat, seperti surah al-Taubah ayat 60,
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللّهِ وَاللّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Sesungguhnya shadaqah itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Delapan golongan yang berhak menerima zakat sebagaimana dikenal dalam kitab-kitab fikih sebenarnya dirujuk dari ayat ini, yaitu menyebut istilah shadaqat (الصَّدَقَاتُ), tidak dirujuk dari ayat yang menggunakan istilah zakat. Begitu juga dengan ayat yang diyakini memerintahkan Rasulullah agar memungut zakat, menyebut istilah shadaqah yang kemudian dipahami sebagai zakat, sebagai berikut:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا
“Ambillah shadaqah dari sebagian harta mereka, dengannya kamu membersihkan dan mensucikan mereka.”
Dengan demikian, pengeluaran zakat itu dalam al-Quran terkadang disebut dengan istilah zakat, terkadang shadaqah, dan terkadang infak. Karenanya tidak mengapa bila istilah “infak” dalam ayat 267 al-Baqarah ini dipahami sebagai perintah mengeluarkan zakat sebagaimana dibicarakan dalam kitab-kitab fikih. Selanjutnya, bagi orang mukmin yang memiliki harta cukup (dalam istilah fikih disebut memiliki nishab), perintah ini bersifat memaksa, sedangkan bagi orang mukmin yang kekuatan ekonominya kurang dari itu, perintah ini bersifat himbauan.
Harta Infak Berasal dari Rezeki yang Baik
Al-Quran menggariskan bahwa harta infak atau zakat berasal dari rezeki yang baik atau thayyibat, yaitu harta yang zatnya halal dan diperoleh dengan cara yang halal, serta tidak menjijikkan dan tidak berbahaya bagi kesehatan. Dalam buku fikih, benda yang dizakati dijabarkan sebagai hewan ternak, perdagangan dan zuru’ (tanaman yang dipanen). Itu semua merupakan penjabaran dari “harta yang diusahakan” yang disebutkan dalam ayat 267 ini. Adapun harta yang keluar dari perut bumi disebut sebagai barang tambang berupa emas dan perak.
Sebenarnya penjabaran jenis harta yang dizakati itu berkaitan dengan profesi, seperti profesi dagang, pertanian atau perkebunan dan peternakan. Hanya saja tempo dulu istilah profesi tidak ditonjolkan meskipun teks ayat berbunyi min thayyibati ma kasabtum (مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ). Agaknya lebih tepat pemahaman ayat ini diorientasikan pada profesi sehingga tidak terbatas jenis harta zakatnya. Imbauan mengeluarkan zakat profesi akhir-akhir ini, seperti kontraktor, pengacara (lawyer), pejabat publik dan lain sebagainya, bukanlah hal yang mengada-ada dan bukan pula berdasarkan analogi, tetapi merujuk kepada nas langsung. Barang tambang yang tempo dulu hanya emas dan perak yang dipandang memiliki nilai ekonomi, kini dapat ditambah dengan minyak dan sebagainya.
Larangan Menginfakkan Barang-Barang yang Memiliki Nilai dan Kualitas Buruk
Ibnu Katsir dan al-Qurtubi mengutip beberapa hadis yang terkait dengan turunnya ayat 267 ini (Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Jilid III, hlm. 325; Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, Jilid I (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1419 H), hlm. 536). Uraian yang panjang dan banyak versi itu dapat diringkas, bahwa di Madinah kala itu ada orang yang memiliki sekian banyak kurma, ada yang bagus kualitasnya dan ada pula yang sudah tidak layak dikonsumsi. Namun demikian si pemilik justru memilih kurma jelek untuk diberikan kepada orang lain sebagai infaknya. Sehubungan dengan itu, Allah memerintahkan agar infak hanya diambil dari harta yang baik atau thayyibat dan menekankan “janganlah kamu memilih dari harta yang khabits (الْخَبِيثَ) yang nilai dan kualitasnya rendah.
Pesan yang terkandung dalam ayat ini sejalan dengan semangat yang terdapat dalam ayat 92 surah Ali Imran,
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللّهَ بِهِ عَلِيمٌ
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”
Kita sedang berada di zaman yang terdapat banyak orang yang saking semangatnya mengejar kekayaan, semua cara ditempuh, halal dan haram diabaikan. Korupsi yang diperagakan oleh banyak pemimpin membuktikan keadaan ini. Memperoleh penghasilan yang besarannya tidak wajar, yang menyimpang dari semangat menyejahterakan rakyat, sebenarnya termasuk hal terlarang. Kalaupun itu dianggap legal, legalitasnya mereka sendiri yang membuat, orang luar tidak dapat mencampuri urusannya, hanya bisa mengelus dada. Apa pun yang mereka kilahkan, publik mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Selanjutnya, operasi pasar yang dilakukan pihak pemerintah menangkap banyak pedagang nakal yang menjual bangkai ayam, yang dikenal dengan istilah tiren (ayam mati kemarin), merupakan bukti lain atas ketidakpedulian terhadap hukum agama.
Orang-orang kaya yang harta kekayaannya diperoleh dengan cara haram pun ikut meramaikan infak ini. Tidak terelakkan, infak diambil dari harta yang dipertanyakan kehalalannya itu. Ada pihak yang berkilah bahwa dengan infak itu ia memperoleh balasan berlipat. Mereka berharap bahwa dengan infak seperti ini dapat membersihkan harta haram yang dikumpulkan, sehingga harta “kotor” dapat dibersihkan dengan cara ini.
Situasi ini lebih parah dari apa yang ditunjukkan oleh ayat 267 ini. Ayat ini mengingatkan agar seseorang tidak berinfak dengan harta yang buruk yang dia sendiri tidak mau menggunakannya karena merasa jijik. Artinya, pelaku infak masih memiliki harta yang nilai dan kualitasnya bagus. Fakta yang kita hadapi saat ini lebih parah dari apa yang digambarkan dalam ayat ini. Mereka tidak mampu lagi memilih harta yang halal. Di sini kita melihat betapa lembut al-Quran bertutur. Orang yang masih punya peluang untuk memilih yang baik dari yang buruk saja, sudah mendapat peringatan, apalagi yang kesulitan memilih harta yang baik, tentu harus dibayangkan ada ancaman berat, meskipun tidak disebutkan dalam ayat ini.
Sebenarnya larangan memilih harta buruk untuk disedekahkan itu mengingatkan, bahwa banyak orang yang hartanya bercampur antara yang baik dan yang buruk, lalu untuk berinfak memilih yang buruknya. Hal ini mengisyaratkan, bahwa karena infak itu hanya dengan harta yang baik, maka dalam proses mengumpulkan harta pun mesti ditempuh dengan cara yang benar.
Godaan Enggan Berinfak Ayat 268-269
الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُم بِالْفَحْشَاءِ ۖ وَاللّهُ يَعِدُكُم مَّغْفِرَةً مِّنْهُ وَفَضْلًا ۗ وَاللّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ ٢٦٨ يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ ٢٦٩
“Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan dan karunia-Nya. Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui (268) Allah menganugerahkan al-hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa yang dianugerahi al-hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Hanya orang-orang yang berakal yang dapat mengambil pelajaran” (269)
Kata al-hikmah (الحِكْمَة) biasa diterjemah dengan “bijaksana”. Kata ini dapat dibentuk menjadiالحُكْم (al-hukm), bisa pula menjadi الحَكِيْم (al-hakim) yang bermakna yang bijaksana atau orang yang banyak pengetahuan. Dalam bahasa Indonesia kata “hakim” bermakna orang yang bertugas mengadili perkara dalam pengadilan, yang dalam bahasa Arab disebut qadhi. Agaknya ada maksud agar qadhi itu bijaksana. Filsuf pun disebut dengan al-hakim dalam bahasa Arab. Dengan demikian, istilah hikmah mempunyai makna pengetahuan dan kesadaran spiritual tentang kebenaran yang mendalam.
Pada ayat sebelumnya ditunjukkan nuansa indah tentang beramal dalam bimbingan ajaran yang benar, berinfak secara ikhlas karena Allah dan memilih harta yang berkualitas tinggi. Dengan larangan yang tercantum pada ayat 267 “Janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu infakkan darinya”, ayat tersebut menyiratkan agar niat berinfak tidak ditunggangi oleh hawa nafsu karena bujukan setan.
الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُم بِالْفَحْشَاءِ ۖ وَاللّهُ يَعِدُكُم مَّغْفِرَةً مِّنْهُ وَفَضْلًا ۗ وَاللّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ ٢٦٨ يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ ٢٦٩
“Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan dan karunia-Nya. Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui (268) Allah menganugerahkan al-hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa yang dianugerahi al-hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Hanya orang-orang yang berakal yang dapat mengambil pelajaran” (269)
Selanjutnya ayat 268 yang sedang kita bicarakan ini menegaskan bahwa setan selalu membuntuti orang berinfak dengan selalu mengontrolnya, agar salah niat sehingga masuk ke neraka. Setan membisikkan dalam hati dengan cara menakut-nakuti orang berinfak itu bahwa hartanya akan semakin berkurang dan akhirnya ia akan hidup melarat. Seolah-olah setan mengingatkan bahwa harta itu simbol kemuliaan, dikumpulkan dengan susah payah, diperuntukkan melindungi kelestarian diri sendiri dan keluarga. Orang lain menjadi miskin karena kebodohan dan kemalasan, karenanya tidak perlu disantuni. Mengeluarkan harta dengan cuma-cuma itu tidak bisa dimengerti. Menuruti kebutuhan orang miskin tidak ada habisnya, sebaliknya, dapat menguras harta sehingga menjadikan pemilik harta menjadi miskin. Itu sebabnya orang pada umumnya semakin melimpah hartanya semakin tidak mau bersedekah karena dalam kontrol setan yang sepertinya logikanya masuk akal.
Kalimat lanjutan ayat ini mengingatkan bahwa selain menakut-nakuti orang dengan membisikkan bahwa ia akan jatuh miskin karena sedekah, setan juga menyuruh melakukan perbuatan keji. Para ahli tafsir memaknai fahsya` (perbuatan keji) pada ayat ini dengan makna bakhil, pelit, atau kikir. Agar terhindar dari kontrol setan, kalimat berikutnya pada ayat itu mengingatkan bahwa Allah dengan ajaran-Nya menjanjikan ampunan dan karunia. Artinya, bila kita dalam berinfak dapat terlepas dari gangguan setan, maka dapat dipastikan mendapatkan limpahan karunia ilahi. Di banyak ayat diterangkan bahwa sebenarnya setan itu berada pada posisi lemah dan tak berdaya ketika manusia dalam keadaan connected atau menjalani hubungan yang baik dengan Allah.
Ayat 269 menerangkan keadaan orang yang dapat menghindarkan diri dari kontrol setan. Allah akan memberi hikmah kepada siapa saja yang Ia kehendaki. Hikmah biasa diartikan dengan kebijaksanaan. Ia juga disebutkan untuk arti pengetahuan yang mendalam. Agaknya hikmah itu sebuah pengetahuan yang kompleks, dicapai oleh pikiran dan perasaan yang mendalam, dicapai secara rasional dan secara spiritual. Pengetahuan yang hanya dicapai oleh akal saja sering kali dapat disalahgunakan. Sementara, bila ia dicapai dengan akal dan dicerna oleh spiritualitas, ia akan diaplikasikan dalam kebenaran. Bila Allah memberi hikmah kepada seseorang, maka dapat diyakini bahwa ia dibimbing di jalan yang benar sehingga semua perilakunya berbuah kebaikan. Orang semacam ini digolongkan sebagai ulul albab yang digambarkan dalam surah Ali Imran ayat 190-191,
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِّأُولِي الْأَلْبَابِ ١٩٠ الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ ١٩١
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Wahai Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”
Hal yang menjadi fokus ayat 191 surah Ali Imran ini adalah ciri pokok ulul albab, yaitu keseimbangan dalam berzikir dan berpikir. Ulul albab senantiasa mengingat Allah atau berzikir dalam keadaan seperti apa pun, dan berpikir tentang penciptaan, serta menyadari bahwa semuanya tidak ada yang sia-sia dengan ucapan subhanallah. Inilah orang yang mendapat hikmah Allah, kebijaksanaan sejati.
Untuk mengakhiri pembicaraan ayat ini ada hal penting untuk dicatat, yakni bahwa sebenarnya ada kesinambungan pesan pada topik-topik yang dibicarakan pada ayat 265 dan 266 yang dilanjutkan dengan ayat 267 dan diakhiri dengan ayat 268 dan 269 pada surah al-Baqarah ini. Pesan yang dimaksud adalah perumpamaan berinfak dengan keikhlasan pada ayat 265, perintah infak dengan harta yang baik atau thayyibat pada ayat 267, dan janji Allah untuk memberi hikmah bagi orang yang berinfak secara benar dengan diberi label ulul albab pada ayat 269.
Pesan utuhnya adalah bahwa manusia, bukan hanya sebagai pribadi, tetapi juga secara kolektif, dituntut untuk menjunjung tinggi etika dan moral dalam mencari nafkah atau mengumpulkan harta. Dampaknya, infak yang dikeluarkannya akan mendatangkan manfaat, tidak membahayakan seperti yang diberi label khabits karena fahsya’.
Dewasa ini pada masyarakat Indonesia tampak ada pergeseran orientasi perjuangan memimpin bangsa. Pemimpin pada awal kemerdekaan Republik ini tampil dengan gaya hidup sederhana dan tidak terlintas dalam pikiran mereka untuk memperkaya diri, keluarga dan golongannya dengan tidak mempedulikan masyarakat luas. Beberapa dekade ini orientasi sejumlah pemimpin berubah jadi mengabaikan rakyat dengan mengutamakan kesejahteraan pribadi dan keluarga, ditandai dengan amat banyak mantan pemimpin yang dipenjara karena korupsi.
Relevansi ayat yang kita bicarakan tafsirnya dengan keadaan zaman kita menjadi terasa karena ia dibicarakan di tengah-tengah umat Islam yang dilanda krisis etika dan moral dalam mengumpulkan rezeki. Kemerosotan etik dan moral yang masif dan kolektif, utamanya yang diperankan oleh banyak tokoh terkemuka harus dilawan dengan gerakan yang disemangati oleh pesan moral ayat yang kita diskusikan tafsirnya ini. Rakyat sudah lelah ketika dalam derita menyaksikan sikap hedonisme yang disebabkan oleh kepongahan dan keserakahan para pemimpin. Memang masih ada juga pemimpin yang masih konsisten berpegang pada ajaran agama, tetapi kiprah mereka belum sanggup melawan kemungkaran yang begitu kuat dan sistematis itu.
Bila kita membaca ulang permulaan ayat 268 al-Baqarah yang berbunyi “Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan” kita semakin merasakan bahwa mengumpulkan rezeki itu senantiasa diiringi godaan setan. Orang yang tidak menyadari hal ini akan terseret ke tempat yang amat hina, dan kemudian menjadi figur yang mengabaikan etika dan moral seperti disebut di atas.
Tafsir Tahliliy ini disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan naskah awal disusun oleh Prof. Dr. Salman Harun.
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 19-22 Tahun 2019