Mengembangkan Tradisi Iqra
Oleh Prof Dr. H Haedar Nashir, M.Si.
Muhammadiyah memelopori tradisi berpikir cerdas. Orang Muhammadiyah sejak Kyai Ahmad Dahlan diajari bertanya, memahami, dan memikirkan segala sesuatu dengan kritis dan tidak boleh menerima sesuatu dengan bodoh. Orang Muhammadiyah bahkan diajari cinta dan mengamalkan ilmu sehingga dikenal jargon “ilmu amaliah” dan “amal ilmiah”. Orang Muhammadiyah jangan sampai anti kecerdasan dan anti ilmu.
Di mata masyarakat umum Muhammadiyah dikenal berisi orang-orang cerdas dan berilmu, mereka meneyebutnya orang pandai atau pintar. Hal itu melekat dengan karakter Muhammadiyah dan pendirinya sebagai pembawa misi tajdid atau pembaruan. Pembaruan selalu terkait dengan berpikir cerdas dan berilmu secara melampaui. Menentang berpikir kolot, ortodoks, konservatif, dan takkid atau ikut-ikutan. Inilah tradisi “Iqra” yang melekat dengan aktivitas membaca, memgkaji, memahami, dan merenungkan segala sesuatu dengan kecerdasan dan keilmuan.
Sikap apologi, ikut-ikutan, emosional, dan segala hal yang tidak sejalan dengan ilmu dan objektivitas bukanlah ciri Muhammadiyah. Karenanya, Muhammadiyah dan wadga Persyarikatan penting menjadi uswah hasanah dalam mengedepankan berpikir cerdas dan keilmuan dalam segala lapangan kehidupan kemasyarakatan, keumatan, dan kebangsaan. Sekaligus bermuhasabah, apakah tradisi iqra yang mengutamakan ilmu dan pemikiran cerdas itu masih menjadi bagian dari karakter anggota, kader, dan pimpinan Muhammadiyah?
Tradisi Iqra
Muhammadiyah dalam Tanwir Bengkulu 2019 mengeluarkan “Risalah Pencerahan”, sebagai bagian dari “Beragama yang Mencerahkan” sebagaimana tema Tanwir. Beragama atau bagi umat Islam “berislam yang mencerahkan” dimula dari mengembangkan dan menyebarluaskan tradisi “Iqra”. Iqra merupakan Wahyu atau Risalah pertama Islam yang dibawa Nabi Muhammad dari Gua Hira, yang terkandung dan menjadi bagian dari salah satu Surat dalam Al-Quran Al-Adhim.
Kehadiran Islam yang dibawa risalahnya oleh Muhammad sebagai Nabi akhir zaman sangat revolusioner dan transformasional karena dimulai dari perintah Allah untuk “Iqra”, yakni “Iqra dengan dan atasnama Tuhan”, bukan sembarang iqra tetapi iqra yang bersifat Langit dan profetik. Dalam tradisi iqra bukan hanya keniscayaan setiap muslim untuk membaca ayat-ayat Quran tetapi juga ayat-ayat kauniyah atau semesta.
Iqra membaca ayat-ayat langit, bumi, dan alam raya dengan segala isinya, termasuk iqra tentang manusia dengan segala dimensinya. Iqra menurut para mufasir bukan hanya membaca secara verbal dan tekstual, tetapi keseluruhan makna yang tercakup arti “iqra” dalam bahasa Arab seperti tafakur, tadabbur, tanadhar, tadzakur, serta berbagai aktivitas akal pikiran, kajian keilmuan, dan membaca secara kontekstual secara menyeluruh. Dalam terminologi Tarjih iqra memiliki makna pada pemahaman keislaman secara bayani, burhani, dan irfani secara interkoneksitas.
Tradisi Iqra yang bercorak transformasional itu akan melahirkan pencerahan alam pikiran, keilmuan, dan peradaban. Dalam tradisi Barat modern, tradisi pencerahan (aufklarung, enlightenment) menurut Immanuel Kant dimulai dengan sapere aude, yakni keberanian menggunakan akal pikiran yang mendobrak segala doktrin yang membelenggu, termasuk doktrin agama abad tengah yang mengkerangkeng akal pikiran dan kemajuan ilmu pengetahuan.
Sementara menurut Horatius sapere aude bermakna “beranilah menjadi bijak”. Kyai Dahlan menyerukan penggunaan “akal yang suci-murni”, sedangkan dalam Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiuah dikemal “akal pikiran yang sesuai dengan jiwa ajaran Islam”. Islam adalah ajaran yang pro-akal pikiran, pro-ilmu pengetahuan, dan segala kegiatan berpikir dan berdzikir yang melahirkan generasi ulul-albab serta melahirkan kemajuan peradaban dunia di era kejayaan Islam.
Maka penting dikembangkan kebiasaan membaca, mengkaji, mengaji, diskusi, seminar, bedah buku, berwacana, dan berbagai kegiatan keilmuan dan tradisi iqra untuk mengembangkan tajdid sebagaimana karakter Muhammadiyah. Terbiasalah menghadapi keragaman pemikiran, tentu bagi warga Muhammadiyah dengan rujukan pemikiran Islam dan ideologi Muhammadiyah yang benar dan tidak ditafsirkan sendiri. Asah kemampuan memahami Islam dengan bayani, burhani, dan irfani sebagaimana rujukan tarjih.
Jadilah anggota, kader, dan pimpinan Muhammadiyah yang memiliki sifat ulul-ulbab sebagaimana dipesankan Allah dalam Al-Quran yang artinya: “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal” (QS. Az-Zumar : 18). Kayi Dahlan mengkaji ayat ini, beliau sering berpesan agar orang Islam termasuk ulamanya harus berkemajuan: “dadiyo kyai sing kemajuan, lan aja kesel-kesel anggonmu nyambut gawe kanggo Muhammadiyah”, artinya, “jadilah ulama yang berpikiran maju, dan jangan berhenti bekerja keras untuk kepentingan Muhammadiyah”.
Karakter Muhammadiyah
Muhammadiyah dengan tradisi iqra memiliki watak kemajuan. Istilah “kemajuan”, “maju”, “memajukan”, dan “berkemajuan” telah melekat dalam pergerakan Muhammadiyah sejak awal berdiri hingga dalam perjalanan berikutnya. Dalam Statuten pertama kali tahun 1912, tercantum kata “memajukan” dalam frasa tujuan Muhammadiyah, yaitu “…b. Memajoekan hal Igama kepada anggauta-anggautanja”. Kyai Dahlan, seringkali mengungkapkan pentingnya berkemajuan. Menjadi kyai, jadilah kyai yang maju, ujar Kyai. Pikiran-pikiran dasar dan langkah-langkah awal Kyai Dahlan sejak meluruskan arah kiblat sampai mendirikan lembaga pendidikan Islam, mengajarkan dan mempraktikkan Al-Ma’un, dan membentuk pranata-pranata amaliah sosial Islam yang bersifat modern, semuanya menunjukkan pada watak Islam yang berkemajuan.
Dalam tulisan utuh Kyai Dahlan dalam bahasa Jawa tahun 1921 dan menurut informasi sebagai satu-satunya tulisan lengkap yang diwariskan pendiri Muhammadiyah ini, yang berjudul “Tali Pengikat Hidup Manusia” (terjemahan Syukriyanto AE & A. Munir Mulkhan) istilah “kemajuan” juga sempat diulas. Kyai mengulas tentang pentingnya para pemimpin umat bersatu hati, dan di frasa itu menunjuk apa yang disebut “… pemimpin kemajuan Islam…”. Dalam tulisan itu, selain mengupas tentang persatuan pemimpin dan manusia sebagai makhluk Allah, yang menarik hampir lebih separuh dari tulisan itu menguraikan tentang akal, pendidikan akal, kesempurnaan akal, kebutuhan manusia, orang yang mempunyai akal, dan perbedaan antara pintar dengan bodoh” (Syukriyanto & Mulkhan, 1985: 1-9).
Kyai Dahlan menulis, kenapa orang mengabaikan atau menolak kebenaran, hal itu karena lima sebab yaitu: (1) Bodoh, ini yang banyak sekali, (2) Tidak setuju kepada orang yang ketempatan (membawa) kebenaran, (3) Sudah mempunyai kebiasaan sendiri dari nenek moyangnya, (4) Khawatir tercerai dengan sanak-saudara dan teman-temannya, dan (5) Khawatir kalau berkurang atau kehilangan kemuliaan, pangkat, kebesaran, kesenangannya, dan seagainya.
Karenanya Kyai mengingatkan agar menjadi pemikiran seputar lima hal yaitu; (1) Orang itu perlu dan harus beragama, (2) Agama itu pada mulanya bercahaya, berkilau-kilauan, akan tetapi makin lama makin suram, padahal yang suram bukan agamanya, akan tetapi manusianya yang memakai agama, (3) Orang itu harus menurut aturan dari syarat yang sah dan yang sudah sesuai dengan pikiran yang suci, jangan sampai membuat keputusan sendiri, (4) Orang itu harus dan wajib mencari tambahan pengetahuan, jangan sekali-kali merasa cukup dengan pengetahuannya sendiri, apalagi menolak pengetahuan orang lain, dan (5) Orang itu perlu dan wajib menjalankan pengetahuannya yang utama, jangan sampai hanya tinggal pengetahuan saja. (Syukriyanto & Mulkhan, 1985 : 4).
Dalam pejaran keempat sebagaimana dinukil Kyai Hadjid, Kyai Dahlan menyatakan, “Manusia perlu digolongkan menjadi satu dalam kebenaran, harus bersama-sama menggunakan akal fikirannya, untuk memikir, bagaimana sebenarnya hakikat dan tujuan manusia hidup di dunia. Apakah perlunya? Hidup di dunia harus mengerjakan apa? Dan mencari apa? Dan apa yang dituju? Manusia harus menggunakan fikirannya untuk mengoreksi soal i’tikad dan keyakinannya, tujuan hidup dan tingkahlakunya, mencari kebenaran yang sejati. Karena kalau hidup di dunia hanya sekali ini sampai sesat, akibatnya akan celaka, dan sengsara selamanya”.
Pendapat tersebut dikaitkan dengan ayat ke-44 Surat Al-Furqan, yang artinya: “Apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)”. Pada pelajaran kelima, Kyai Dahlan melanjutkan, bahwa “Setelah manusia mendengarkan pelajaran-pelajaran fatwa yang bermacam-macam, memikir-mikir,menimbang-nimbang, membanding-banding kesana-kemari, barulah mereka itu mendapat keputusan, memperoleh barang benar yang sesungguhnya. Dengan akal-fikirannya sendiri dapat mengetahui dan menetapkan, inilah perbuatan yang benar.”. (Hadjid, t.t.: 15).
Dalam Majalah Suara Muhammadiyah tahun 1922, ditulis dalam bahasa Jawa, tentang pentingnya Islam sebagai “agami nalar”, artinya agama yang berkemajuan dalam pemikiran umatnya. Pak Djarnawi Hadikusuma dalam buku Matahari-Matahari Muhammadiyah, ketika menjelaskan penisbahan Muhammadiyah dengan nama Nabi Muhammad memberikan uraian sebagai berikut: ”Dengan nama itu dia bermaksud untuk menjelaskan bahwa pendukung organisasi itu ialah umat Muhammad, dan asasnya adalah ajaran Nabi Muhammad saw, yaitu Islam.
Dan tujuannya ialah memahami dan melaksanakan agama Islam sebagai yang memang ajaran yang serta dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, agar supaya dapat menjalani kehidupan dunia sepanjang kemauan agama Islam. Dengan demikian ajaran Islam yang suci dan benar itu dapat memberi napas bagi kemajuan umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya.”. Dengan spirit agama nalar, iqra, dan kemajuan maka Muhammadiyah secara kelembagaan maupun anggotanya dalam menyikapi segala sesuatu dan menjalani kehidupan niscaya mengedepankan akal pikiran jernih, objektif, cerdas, hikmah, dan berilmu!
Sumber: Majalah SM Edisi 10 Tahun 2019