Orang Spesial, Cerpen Risen Dhawuh Abdullah

Orang Spesial, Cerpen Risen Dhawuh Abdullah

Siang ini adalah siang yang ke sekian kali Saprawi istirahat. Sedari pagi ia sibuk dengan peralatan kayu, membuat lincak atau kursi panjang yang ada sandaran terbuat dari bambu. Ia sudah bekerja di tempat Haji Soleh sejak tujuh tahun yang lalu. Saprawi menjadi karyawan yang paling lama di sana. Haji Soleh kini mempunyai lima karyawan yang bekerja di pembuatan lincak—Haji Soleh juga mempunyai usaha lain selain produksi lincak.

Di samping Saprawi duduk telah tersedia sebungkus makanan, yang entah isinya makanan apa. Sedari makanan itu datang, ia belum menyentuhnya. Pikiran Saprawi tidak terpaku pada lincak garapannya, yang belum sepenuhnya jadi, meski sekilas pandangannya tertuju ke arah itu. Pikirannya melayang jauh, menemui anaknya Salem yang kini sedang berperang melawan soal-soal ujian seleksi masuk perguruan tinggi.

“Semoga ia diberi kelancaran, aku sangat ingin sekali anakku mengeyam pendidikan perguruan tinggi,” ucap Saprawi dalam hati.

Meski bukan berlatar orang yang berpendidikan—pendidikan Saprawi hanya sampai pada kelas dua SMA—Saprawi tahu apa itu gelar S3. Ia juga mengerti definisi rektor. Dari berbagai sumber, hal itu ia ketahui, mulai dari tetangganya hingga televisi. Dalam tempurung kepala Saprawi, tergambar angan-angan, anaknya dapat merasakan pendidikan S3, lalu menjadi seseorang yang terpandang, entah atas nama pekerjaan apa.

“Hidup kita ini susah terus, Lem. Sebisa mungkin kita menghilangkan pikiran-pikiran negatif yang menyangkut masa depan kehidupan kita, khususnya kamu. Susah ditambah pikiran negatif, apa jadinya? Itu tidak memperbaiki keadaan, alias membuat semakin terpuruk,” tutur Saprawi di suatu sore, di belakang rumah. Sementara Salem hanya menunduk mendengar perkataan bapaknya.

“Kamu jangan pernah berpikir, jika kelak, kamu diterima kuliah, kamu tidak akan selesai kuliah karena masalah biaya. Itu pikiran negatif… Bagaimana kendaraan untuk menempuh perjalanan dari rumah ke tempat menimba ilmu? Bagaimana nanti dengan uang saku? Dan bagaimana-bagaimana lain yang mengarah pada pesimis, semua itu negatif. Hilangkan negatif-negatif itu. Katakan pada diri sendiri, aku pasti bisa menghadapi, Allah selalu bersamaku.”

Salem masih menunduk. Di hatinya pada saat itu, berperang dua pikiran yang membuatnya bimbang. Keduanya sama-sama kuat, tak ada yang pantas untuk dikalahkan. Salem benar-benar dihadapkan pada dua pilihan. Kuliah atau bekerja. Itulah dua pilihan yang sedang beradu dalam hati Salem. Jika melihat keadaan keluarga, lebih rincinya bapaknya, Salem tak tega. Ia ingin segera bekerja untuk membantu bapaknya. Tetapi di sisi lain, bila ia tak melanjutkan pendidikan, ia tak yakin kehidupannya akan berubah.

Salem pernah mengusulkan kepada Saprawi untuk mencoba beasiswa bidikmisi. Saprawi setuju, di pikirannya terlintas kalimat, “siapa tahu lolos”. Hanya saja, ternyata keberuntungan tidak berpihak pada Salem. Ia tidak mendapat beasiswa itu.

“Maka dari itu, bercita-citalah setinggi langit. Munculkan semangat dalam hatimu, dan berontaklah terhadap keadaan sekarang. Kamu bisa merasakan sendiri kan, bagaimana rasanya mencari rezeki, saat kamu meminta izin kepada Pak Soleh untuk bantu-bantu menawarkan lincak kepada orang-orang?”

“Iya, Pak.”

“Nah. Bapak harap kamu mempunyai semangat yang membara, Lem. Pokoknya kamu harus terus berpikir positif. Tanamkan pada dirimu, bahwa aku bisa kuliah, aku harus bisa kuliah. Jika kita sudah mempunyai keinginan dan prinsip yang kuat, akan dahsyat sekali hasilnya. Allah tidak mungkin menutup mata pada hambanya yang keras berjuang. Percaya sama bapak,” kata Saprawi, nada bicaranya kali ini terdengar lebih menggebu.

“Jangan sampai kamu menyesal di kemudian hari, karena apa yang kamu perbuat sekarang. Sesungguhnya, yang menciptakan keadaan itu kita sendiri. Entah keadaan sekarang, entah masa lalu, entah yang akan datang. Kamu paham kan dengan apa yang bapak maksud?”

Salem mengangguk.

Angan-angan Saprawi hanya diisi oleh wajah Salem, hingga membuatnya tak merasa lapar. Pandangan ia alihkan kepada teman bekerjanya sesaat, mereka semua telah selesai menghabiskan jatah makan siang. Saprawi tak tertarik untuk makan. Ia memilih untuk melanjutkan, meski waktu istirahat masih ada. Toh, makan tidak harus saat istirahat seperti ini, kata Saprawi dalam hati. Haji Soleh tidak pernah satu kali pun memarahi karyawannya sebab makan disaat waktu kerja. Ia tidak mempedulikan itu. Tahunya, para karyawannya harus bisa memenuhi target produksi di setiap waktu yang telah ditentukan.

Tempat Saprawi beserta karyawan lain bekerja, yang memproduksi lincak terletak di utara rumah Haji Soleh yang tampilannya menandakan, ia orang yang kaya. Sebuah mobil memasuki halaman rumah Haji Soleh. Setelah mengambil gergaji, Saprawi memperhatikan mobil, hingga kendaraan roda empat itu berhenti. Seorang lelaki berpakaian necis keluar dari mobil. Ia celingukan. Haji Soleh muncul dari pintu rumahnya. Lalu mata Saprawi menangkap senyum yang mengembang dari bibir lelaki itu. Kedua lelaki itu sama-sama saling mendekat. Saprawi kemudian asyik dengan gergajinya.

Seperginya lelaki berpakaian necis, setelah beberapa menit Haji Soleh berbincang-bincang di teras rumah, Haji Soleh menghampiri Saprawi. Haji Soleh menyuruh Saprawi untuk memberhentikan aktivitasnya.

“Ada apa, Pak?”

“Begini Pak Saprawi, saya hendak menyampaikan sesuatu. Lincak yang sedang Pak Saprawi garap, ketika sudah jadi langsung diantar ke rumah orang yang tadi datang, bersama Karjo atau Agus. Itu teman saya. Nanti saya beri alamat rumahnya,” ucap Haji Soleh. Sontak, ujaran lelaki berusia enam puluh tahun itu langsung membuat kening Saprawi berkerut.

“Lho, bukankah lincak yang sedang saya selesaikan ini pesanan teman bapak yang dua hari lalu datang?”

“Sudah itu nanti bisa diatur. Saya nanti yang urus semuanya, toh teman saya orangnya tidak mau rumit-rumit. Pemesan kali ini spesial sekali. Ia bukan orang sembarangan.” Dari wajah Haji Soleh terpancar semacam kebanggaan.

“Memangnya itu siapa, Pak? Kok spesial?” tanya Saprawi penuh penasaran.

“Ia rektor di salah satu universitas yang ada di provinsi kita ini,” jawab Haji Soleh dengan mantap.

 

 

***

 

Betapa senangnya hati Salem setelah tahu ia dinyatakan diterima di sebuah perguruan tinggi. Dari warung internet gegas ia mengayuh sepeda ontel tuanya menuju rumah. Ia tidak peduli dengan panas matahari yang begitu menyengat. Bayangan-bayangan dunia kampus, meski masih samar-samar tergambar di benaknya. Sebelum pengumuman, Salem sesungguhnya tidak yakin akan diterima, sebab banyak soal yang tidak ia kerjakan lantaran tidak dapat mengerjakan.

Masalah tentang masalah yang harus dihadapi selanjutnya, sama sekali tidak terlintas di benaknya. Yang ada hanya bahagia dan bahagia. Di sebuah tikungan, Salem hampir saja bertabrakan dengan pengendara sepeda motor dan seketika terdengar teriakan-teriakan.

Tentu menjadi dambaan setiap orang, kehidupan yang lebih baik di masa datang, meskipun Tuhan berkehendak lain di masa yang akan datang. Alangkah gembiranya Saprawi dan istrinya, saat diberitahu Salem. Tidak ketinggalan pula, beberapa saudara dari pihak Saprawi maupun istrinya diberitahu. Bahkan, ada yang mau membantu biaya kuliah Salem nantinya, asalkan Salem sungguh-sungguh dalam mengarungi dunia kampus.

Sebagai orang yang pernah pesimis ; tidak akan diterima di perguruan tinggi, Salem tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini, karena mengingat banyak juga di luar sana yang ingin melanjutkan pendidikan. Tidak henti-hentinya ia bersyukur kepada pemberi hidup. Salah satu wujud syukur itu ialah berangkat ospek dengan tepat waktu atau sebelum tepat waktu—rencana Salem seperti itu. Ospek dilaksanakan selama lima hari. Dimulai dari jam empat pagi hingga lima sore setiap harinya. Tapi ternyata Salem bisa selalu datang sebelum tepat waktu, yaitu pukul setengah tiga pagi.

Di hari terakhir ospek, program studi Salem memberikan beberapa penghargaan kepada mahasiswa baru. Salah satunya kategori mahasiswa baru yang berangkat paling awal dan konsisten. Penghargaan itu diberikan kepada Salem. Dan pada saat acara penutupan, siapa yang mendapatkan penghargaan berkesempatan foto dengan rektor. Sayangnya, kamera hp Salem tidak begitu bagus. Ia pun meminta tolong temannya untuk mengambilkan gambar.

Singkat cerita, Salem berhasil foto dengan rektor. Foto itu dihasilkan dari hp temannya yang kemudian dikirimkan kepadanya via WA. Sampai rumah dengan bangganya, Salem memamerkan foto itu kepada Saprawi. Ibunya sedang di dapur menyiapkan makan.

“Lho, lho, sebentar…” kata Saprawi setelah melihat gambar yang ada di hp Salem. “Bukankah ini orang yang datang ke rumah Pak Soleh beberapa hari yang lalu memesan lincak?”

“Hah?”

“Iya, ini orang yang datang ke rumah Pak Soleh. Tidak salah lagi. Pak Soleh memberitahu bapak, bahwa ia seorang rektor. Bapak tidak menyangka jika ia akan menjadi rektormu.”

 

Bantul, 2019

Risen Dhawuh Abdullah, lahir di Sleman, 29 September 1998. Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan (UAD) angkatan 2017. Anggota Komunitas Jejak Imaji dan Luar Ruang. Bermukim di Bantul, Yogyakarta.

 

Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM No 18 Tahun 2019

Exit mobile version