Dari Membaca, Matematika hingga Berdoa: Kurikulum TK ABA di Awal 1950an

Dari Membaca, Matematika hingga Berdoa: Kurikulum TK ABA di Awal 1950an

Oleh: Muhammad Yuanda Zara

Sebagai lembaga pendidikan yang tahun 2019 ini memasuki usia satu abad, TK ABA telah memberikan berbagai kontribusi dalam pendidikan anak-anak di Indonesia. Awalnya, TK ABA dikenal sebagai Siswa Praja Wanita (SPW), dan hanya dilangsungkan di sebuah rumah di kampung Kauman Yogyakarta. Anak-anak kecil diajarkan cara beribadah yang benar, cara membaca huruf hijaiyyah serta membaca surat pendek. Seiring dengan perkembangan ‘Aisyiyah ke seluruh Indonesia, TK ABA turut berkembang pula, hingga dewasa ini jumlahnya telah mencapai angka 20.000 di antero Indonesia.

Sementara sudah cukup banyak tulisan yang mengulas tentang sejarah kelahiran TK ABA, masih belum banyak yang diungkap perihal kurikulum pendidikan di TK ABA sendiri, khususnya dari perspektif sejarah. Program pembelajaran untuk murid TK ABA ini merupakan salah satu elemen krusial yang menentukan keberhasilan peserta didik di masa depan. Tak hanya itu, mengetahui kurikulum TK ABA, termasuk dalam hal ini sejarahnya, akan melahirkan pemahaman tentang jenis-jenis tantangan yang dihadapi oleh TK ABA dari masa ke masa, yang tentunya berbeda-beda.

Salah satu periode yang menarik untuk diulas di sini adalah pada awal tahun 1950an. Apa tantangan yang dihadapi masyarakat Indonesia kala itu? Dan, seperti apa kurikulum TK ABA kala itu dalam merespon tuntutan zaman?

Di awal tahun 1950an, Indonesia berada di sebuah titik persimpangan. Masa lalu bernama kolonialisme dan pendudukan asing baru saja usai. Namun, kehidupan negara baru bernama Indonesia itu masih jauh dari sempurna. Ada banyak problem sosial berat yang dihadapi Indonesia saat itu, yang sebagian besarnya diakibatkan oleh penjajahan. Salah satu di antaranya adalah rendahnya tingkat pendidikan penduduknya.

Berbagai lembaga pendidikan yang diusahakan Muhammadiyah telah membantu usaha untuk mendidik anak-anak dan mempersiapkan mereka untuk masa depan. Demikian pula TK ABA, berusaha untuk mempersiapkan anak-anak Indonesia di dekade 1950an yang penuh tantangan itu. Ini bisa dilihat dari kurikulum TK ini kala itu. Sejak 17 November 1951, TK ABA memakai kurikulum baru, yang dinamakan “Rentjana Peladjaran Bustanul-Atfal (Probelschool)” [sic]. Kurikulum ini disusun oleh Pusat Pimpinan ‘Aisjijah (kini: Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah) dan menjadi landasan bagi kurikulum-kurikulum TK ABA selanjutnya.

Kurikulum tahun 1951 tersebut dibagi menjadi enam bagian, dan mencerminkan pandangan ‘Aisyiyah terhadap kompetensi apa saja yang dibutuhkan anak-anak pada saat itu: 1) Bercakap-cakap, 2) Menggambar, 3) Bermain-main, 4) Menyanyi dan Frobelen, 5) Berhitung dan menulis, serta 6) Agama.

Pelajaran pertama ialah “Bercakap-cakap”. Dari perspektif orang dewasa, pelajaran ini terlihat sangat sederhana. Tapi ini adalah tahap penting bagi anak-anak. Pelajaran bercakap-cakap membuat mereka mendapatkan perbendaharaan kata yang baru serta melatih mereka melafalkannya dengan benar. Dengan menguasai cara bercakap-cakap, anak-anak bisa membangun komunikasi, sebuah elemen penting dalam proses tumbuh kembang mereka. Dalam pelajaran ini, di TK ABA ditekankan usaha untuk membiarkan anak-anak berbicara sendiri dan kemudian berlatih melafalkan kata-kata (dalam istilah waktu itu: uitspraakoefening). Tahap selanjutnya adalah mengajarkan agar anak bisa mendengar dan lalu mengerti apa yang disampaikan oleh guru.

Pelajaran “Bercakap-cakap” di TK ABA tahun 1950an harus disampaikan dengan alamiah dan mudah. Kepada murid ditanyakan hal-hal sederhana untuk mendorong mereka berkomunikasi. Pertanyaannya antara lain tentang nama anak, ajakan untuk maju ke hadapan guru atau untuk duduk di kursi. Kepada mereka juga disampaikan berbagai cerita. Selepas mendengar guru berkisah, anak diharapkan bisa menceritakannya lagi, tentu sesuai pemahaman masing-masing (dalam istilah waktu itu: navertellen). Ada satu larangan bagi guru TK ABA yang tertuang dalam kurikulum 1951 itu: tidak boleh menegur atau mengejek anak yang bicaranya belum lancar.

Pelajaran kedua adalah “Menggambar”. Bagi anak, menggambar akan melatih motorik serta ingatan mereka serta, yang tak kalah penting, kesabaran mereka. Bagi TK ABA tahun 1950an, menggambar juga merupakan metode untuk mengajak anak mengenali lingkungan sekitarnya. Maka, tak heran bila objek yang diajarkan untuk digambar oleh siswa TK ABA adalah objek yang ditemui anak sehari-hari, seperti bentuk bidang (bulat dan persegi), binatang (misalnya ayam dan kucing) dan suasana alam (seperti gunung dan pohon).

Tapi anak juga diajarkan membuat gambar yang mengandung cerita dan nilai moral, umpamanya menggambar anak yang berperilaku nakal. Ini seperti komik mini, karena terdiri atas beberapa seri gambar (dalam istilah waktu itu: serietekening). Yang tak kalah penting adalah pelajaran menggambar, dalam bahasa kurikulum TK ABA waktu itu, “sekehendaknja sendiri (vrijtekening)”, atau istilah zaman kini, menggambar bebas. Tujuannya adalah untuk melatih kreativitas dan eksplorasi ide anak.

Pelajaran ketiga ialah “Bermain-main”. Sudah karakteristik anak untuk senang bermain, karena dengan bermain mereka menggerakkan badan dan menggunakan otaknya dengan menyenangkan. Dan ini mendapat tempat penting dalam kurikulum TK ABA tahun 1951 itu. Permainan yang diajarkan antara lain dalam bentuk barisan ataupun gerak badan. Tapi, guru TK ABA harus memastikan bahwa anak-anak bermain tanpa membuat gaduh suasana kelompok.

Pelajaran keempat adalah “Menyanyi dan Frobelen”. Guru menyampaikan teks lagu dan mengajak anak bernyanyi. Untuk Frobelen, siswa diajarkan bagaimana melipat dengan kertas, baik kertas koran maupun kertas marmer. Mereka juga diajarkan untuk membuat anyaman bambu.

Pelajaran kelima adalah “Berhitung dan menulis”. Untuk memudahkan anak belajar, guru TK ABA diinstruksikan untuk menggunakan contoh dari dunia nyata, seperti lidi, dadu atau kelereng. Mengingat bahwa anak-anak ini usianya masih sangat dini, pelajaran berhitung diharapkan tidak terlalu berat, dan maksimal hanya sampai angka 10. Namun kepada mereka juga mesti diperkenalkan empat konsep dasar dalam berhitung, yakni tambah, kurang, kali dan bagi. Adapun untuk pelajaran menulis, anak diajarkan untuk mengenal alat tulis dan mengetahui cara menulis yang benar.

Adapun pelajaran terakhir, yang juga sama krusialnya, ialah pelajaran agama. Ada tiga elemen dalam pelajaran keenam ini. Pertama, mengenalkan anak pada Tuhan melalui cerita, lagu dan doa. Tujuannya, muncul kecintaan pada Tuhan dalam diri anak. Kedua, fikih. Fikih yang diajarkan masih dalam taraf sederhana, seperti tentang tata cara berwudhu sebelum shalat. Ketiga, mengajarkan kepada anak-anak berbagai perilaku manusia yang dibenci oleh Tuhan, di antaranya berbohong, melawan orang tua, marah dan malas. Mengingat anak senang mendengar cerita, maka pengenalan sifat-sifat buruk tersebut sebaiknya dilakukan dengan kisah dan contoh.

Di luar keenam pelajaran di atas, kurikulum TK ABA tahun 1951 juga menekankan satu aspek lainnya. Aspek ini berada di luar sekolah namun penting bagi perkembangan anak: para guru TK ABA diharapkan memiliki relasi yang baik dengan orang tua anak sehingga perkembangan anak sama-sama dimonitor oleh guru dan orang tua. Ini diwujudkan dalam bentuk pertemuan antara guru TK ABA dan orang tua murid TK ABA. Dalam pertemuan itu guru dapat berbincang-bincang dengan orang tua siswa. Kesempatan itu juga dapat dipakai untuk menunjukkan kepada orang tua anak berbagai keterampilan yang telah diperoleh anak selama berada di di TK ABA.

Muhammad Yuanda Zara, Dosen Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta

Sumber: Majalah SM Edisi 21 Tahun 2019

Exit mobile version