Al-‘Aliy, Allah Yang Maha Tinggi
Nama dan sifat Allah al-‘Aliy disebutkan enam kali dalam al-Qur’an, yakni pada surah al-Syura: 4, Luqman: 30, Ghafir: 12, al-Hajj: 62, Saba’: 23, al-Baqarah: 255. Keseluruhannya bermakna Yang Maha Tinggi. Lafaz ini selalu dirangkai dengan asma’ul husna yang lain yakni al-Kabîr (Yang Maha Besar) dan al-‘Adzîm (Yang Maha Agung). Allah berfirman,
لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۖ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
Kepunyaan-Nya-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar (QS. asy-Syura: 4).
ذَٰلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِن دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar (QS. al-Hajj: 62).
Penyebutan lain yang menggambarkan Allah Yang Maha Tinggi di antaranya adalah lafaz al–A’lâ (QS. al-Najm: 7; al-Lail: 20; Thaha: 68; al-A’la: 1; al-Nahl: 60; al-Rum: 27), ta’âlâ (QS. al-Nahl: 3; al-Jinn: 3; al-Naml: 63; al-Mukminun: 116; al-A’raf: 92, 190; Thaha: 114), dan al-muta’âl (QS. al-Ra’du: 9). Seluruh bentuk penyebutan tersebut menggambarkan bahwa Allah adalah Zat Yang Maha Tinggi. Sifat ini mengandung dua arti yakni Allah Maha Tinggi atas segala makhluk-Nya, dan Allah hanyalah satu-satunya tuhan, karena tidak ada yang lebih tinggi derajatnya dari Allah. Allah berfirman,
فَتَعَالَى اللَّهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيمِ
Maka Maha Tinggi Allah, Raja Yang Sebenarnya; tidak ada Tuhan selain Dia, Tuhan (Yang mempunyai) ‘Arsy yang mulia (QS. al-Mukminun: 116).
Berdasarkan penjelasan makna al-‘Aliy tersebut, kita dapat memahami bahwa tidak ada satupun makhluk yang lebih tinggi derajatnya dari Allah. Dengan demikian, kita wajib menjadikan Allah sebagai satu-satunya tempat mengabdi dan sesembahan, dan mengingkari adanya makhluk yang diposisikan sebagai sesembahan. Apapun indah, besar, mengagumkan, dan lain sebagainya, jika dia makhluk, maka derajatnya tetap rendah, sehingga tidak pantas dijadikan sesembahan. Dengan menjadikan Allah Yang Maha Tinggi sebagai tempat mengabdi, maka kita juga akan berada pada posisi tinggi dan mulia di antara makhluk-makhluk lain. Begitu sebaliknya, jika ada orang yang tidak menjadikan Allah sebagai tempat mengabdi, posisi dia sangat rendah di hadapan makhluk lain, terlebih di hadapan Allah. Wallahu a’lam.
Ustadi Hamzah, Department of Religious Studies Faculty of Ushuluddin (Islamic Theology & Thought) State Islamic University Sunan Kalijaga
Sumber: Majalah SM Edisi 15 Tahun 2018