Berguru Kepada Bang Said Tuhuleley
Ungaran suatu pagi. Saya turun dari bis jurusan Semarang. Masuk gapura komplek pendidikan dan pelatihan sebuah departemen. Jalan menurun.
Ketemu panitia dari Majelis Tabligh PP Muhammadiyah. Saya mendaftar sebagai wartawan Suara Muhamadiyah yang bertugas meliput kegiatan sosialisasi pembuatan Peta Dakwah di daerah-daerah.
“Pak Mustofa nanti istirahatnya di kamar no ini,” kata panitia sambil menunjuk arah kamar itu.
“Saya dengan siapa?” tanyaku.
“Pak Mustofa menemani Pak Munir Mulkhan dan Bang Said Tuhuleley,” jawab panitia.
Saya lega. Mengenal dua beliau ini. Tokoh Muhammadiyah yang punya pemikiran unik dan mendalam. Pak Munir dikenal sebagai Syekh Siti Jenarnya Muhammadiyah. Bang Said, tokoh mahasiswa kritis yang kemampuan berbicara setara dengan kemampuan menulisnya.
Saya mengucapkan salam dan masuk ke kamar istirahat yang disediakan panitia. Kamar khusus untuk personil PP.
Pak Munir dan Bang Said Tuhuleley menyambut saya dengan hangat, mereka juga lega melihat siapa yang datang menemani. Mungkin saya dianggap bisa ngemong dan bisa mengimbangi perbincangan mereka. Pak Munir lukisan filsafat yang bicaranya melangit tetapi penuh simpati dan empati kepada wong cilik Jawa. Dia yang kemudian mendalami sosiologi umat ini analisisnya kadang rumit. Sedangkan Bang Said pemikirannya model teologi pembebasan dikemas dengan teori sosial profetiknya Pak Kuntowijoyo yang dioplos dengan Tauhid Sosialnya pak Amien Rais. Jadi kedua tokoh ini punya titik temu di pendekatan empiris kaum dhuafa. Sedangkan saya, saksi zaman. Sebagai wartawan yang sastrawan yang aktif di penerbit buku dan pernah menggemari pemikiran kritis Ali Syariati mudah memasuki alam pikiran pak Munir Mulkhan dan Bang Said Tuhuleley.
Sebagai saksi zaman bagi dinamika jurnalistik, dinamika sastra dan dinamika perbukuan ternyata posisi yang menguntungkan. Sebab saya bisa berguru kepada para tokoh yang hadir di tiga dunia tersebut. Bang Said Tuhuleley yang ketika mahasiswa aktif di pers mahasiswa, menjadi pemimpin redaksi Derap Mahasiswa IKIP Negeri Karangmalang Yogyakarta dapat dijadikan contoh.
Pemikiran kritis dia diolah dan diproses dari sini. Karena kalau kita baca terbitan pers zaman ini terbacalah arus pemikiran kritis mahasiswa berbasis kasus nyata di masyarakat. Pers kampus sebagaimana yang ditekuni Bang Said Tuhuleley bukanlah pers bisu yang hanya membicarakan peristiwa secara steril tanpa pemihakan, tetapi pers yang berbicara lantang tentang penyimpangan dan ketidakadilan yang sering disembunyikan di bawah karpet sukses pembangunan misalnya.
Di kemudian hari, ketika Bang Said mengemudikan jurnal inovasi terbitan LP3M UMY dia masih memelihara bahkan mengembangkan semangat kritis dalam berfikir dan menulis. Untuk ini Bang Said Tuhuleley termasuk generasi perfeks. Kalau isi jurnal belum lengkap dan komprehensif dengan laporan mendalam dan tulisan tajam serta kajian buku yang relevan dengan topik atau isu utama jurnal Inovasi dan dilengkapi foto ilustrasi yang menggugah kesadaran, naskah jurnal belum dilepas ke percetakan.
Memang manusia yang perfeksionis dalam isi media kadang kurang perfeks dalam mengelola waktu penerbitan. Untung, jurnal termasuk terbitan berkala dengan interval waktu terbit yang longgar tidak seperti koran atau majalah. Risikonya jurnal terbit ketika pembaca hampir bosan menunggu. Untung ini terbayar ketika jurnal terbit. Pembaca bisa berpesta ide sampai otaknya kekenyangan. Bang Said Tuhuleley sering menggoda pembaca dengan pola penerbitan jurnal Inovasi ini.
Berbeda dengan ketika Bang Said mentransformasi diri menjadi manusia aksi dan manusia gerakan. Ketika di Majelis Tabligh dengan mengembangkan pemikiran tentang laboratorium dakwah dan peta dakwah. Karena berdakwah seperti memasuki medan perang maka perpaduan langkah teknis, taktis dan strategis menjadi amat penting dan fungsional demi suksesnya dakwah ini sendiri.
Dalam hal ini kampus pada zaman itu memiliki tiga pilar pendidikan karakter gerakan kritis. Pilar pertama adalah perkuliahan dengan dosen yang memiliki pemikiran kritis dan tidak terpenjara oleh teori dan buku teks saja. Pilar kedua adalah organisasi ekstra mahasiswa yang memberikan pelatihan kepemimpinan mahasiswa sekaligus tajam dalam membuat agenda gerakan. Ketika pers kampus yang dilengkapi lembaga diskusi dan penelitian lapangan yang relevan dan urgen dengan isu kekinian.
Dalam hal ini Bang Said pernah aktif di tiga pilar pendidikan karakter mahasiswa kampus. Kuliah dia lancar sampai kemudian menempuh S2 dan karena mengamalkan ilmunya untuk pengembangan masyarakat dan terbukti bisa mengubah masyarakat sasaran aksinya, Bang Said mendapatkan gelar DR HC dari Universitas Muhamadiyah Malang dengan promotor pak Abdul Malik Fadjar.
Bang Said ketika waktu pelajar aktif di PII dilanjut aktif di HMI ketika kuliah di IKIP Karangmalang membuat tertempa semangat juang dan militansinya. Ditambah lagi dia aktif di pers kampus dan kelompok diskusi mahasiswa. Ketika menjadi Sekretaris Majelis Dikti, Warta PTM pun terus terbit.
Dan ketika di Majelis Tabligh dan Majelis Pengembangan Masyarakat kentara sekali gairah advokasi ke Muhamadiyah dan masyarakat umum. Konsep laboratorium dakwah dan peta dakwah adalah bentuk advokasi dia agar dakwah tabligh Muhamadiyah makin berdaya dan bergaya. Waktu di pertemuan di Ungaran, di forum atau ketika ngobrol di kamar istirahat bersama Pak Abdul Munir Mulkhan, terasa sekali kalau gairah advokasi terhadap dakwah Muhammadiyah menjadi obsesi dia. Saya memperoleh bahan banyak untuk ditulis.
Volume suara Bang Said kalau bicara sedang-sedang saja. Intonasi dan temponya terjaga. Diksi dipilih yang efektif yang dalam ilmu balaghoh disebut berkualitas fasih. Ini menandakan kematangan jiwa.
Suatu hari saya naik mobil PP Muhammadiyah ikut rombongan Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) ke Malang. Setelah mendaftar ke panitia Rakernas MPM saya diantar pakai mobil ke Rusunawa di belakang. Saya diberi nomor kamar saya.
“Ee, penyair kita. Kita bertemu lagi,” begitu sambutan Bang Said ketika tahu saya satu kamar dengan dia.
Bang Said kalau ketemu saya selalu menanyakan keadaan Cak Nun. Selalu saya jawab baik baik saja. Dia senang. Beberapa kali MPM mengundang Cak Nun dalam seminar atau dialog. Tentang ketahanan pangan dan persoalan pertanahan rakyat misalnya.
Meski kelihatan lebih tua dibandingkan ketika bertemu di Ungaran dulu, tetapi semangat Bang Sa’id membela kaum dhuafa tidak pernah tua. Selalu muda, seperti ketika masih kuliah dulu. Dan dia pandai merayu atau mengundang orang kampus yang punya kompetensi di bidang pertanian, peternakan dan kesehatan. Salah satu doktor ahli ilmu pertanian ketika jalan kaki dari Rusunawa menuju aula tempat pertemuan Rakernas MPM melewati beberapa kotak sawah.
Dia langsung mengomentari tanaman padi yang menurut mata awam saya tidak ada masalah. Tetapi di mata seorang ahli ada masalah dengan padi itu dan sebenarnya kualitasnya dapat ditingkatkan. Jadi orang yang diajak Bang Said Tuhuleley bergabung di MPM memang memiliki kapasitas dan kualitas di bidangnya. Dalam pertemuan MPM yang lain saya ketemu ahli kerajinan dan pengorganisasian petani atau perajin yang memang ahli di bidangnya. Dia tokoh LSM lawasan sih.
Kecenderungan kerja perfeks atau nyaris sempurna memang menjadi kecenderungan para tokoh demonstrasi mahasiswa tahun tujuh puluhan akhir. Saya kenal baik mereka yang pernah ‘satu kampus di tahanan militer’ itu. Salah satunya Bang Said ini.
Nah, ketika Bang Said Tuhuleley dengan MPM-nya mengangkat derajat petani di banyak desa, dia harus perfeksionis dalam hal waktu. Sebab durasi pembenihan padi, penanaman, pemupukan, panen sudah jelas. Tatakala petani ini tidak boleh ditabrak karena memang harus ketat, ada semacam deadline.
Saya banyak mengikuti panen raya padi, ada yang sekaligus panen raya ikan dan pengembangan ternak yang dilakukan MPM. Acaranya ketat waktu sekaligus meriah karena Bang Said Tuhuleley selalu menyertakan komunitas seni budaya setempat untuk tampil. Kepekaan dalam memilih grup kesenian yang ditampilkan ternyata dia peroleh sejak muda. Bang Said Tuhuleley pernah menjadi aktivis HSBI (Himpunan Seniman Budayawan Islam) Maluku ketika masih tinggal di Saparua.
Saya gembira dan bahagia serta dapat belajar banyak ketika mengikuti acara panen raya ini. Saya cukup terkesan dengan panen raya di Sidareja Cilacap yang sekaligus panen ikan. Waktu itu rombongan tim liputan SM mengikuti rombongan Pak Din Syamsuddin yang sehari sebelumnya melakukan peresmian Rumah Sakit PKU di Pekajangan Pekalongan. Malam sebelum panen raya kami menginap di sebuah kota kecamatan yang asyik.
Pengalaman meliput kegiatan MPM yang juga asyik adalah ketika peresmian Pusat Pelatihan Pertanian dan Peternakan di Sawangan Magelang. Sawangan yang menjadi pusat beras enak di Jawa Tengah bagian barat (kalau Jawa Tengah bagian timur beras enaknya dari Delanggu) memang daerah subur. Air melimpah dan pemandangan menanam atau tandur benih unggul yang diresmikan MPM merupakan pemandangan yang indah.
Melihat pemandangan indah ini saya jadi ingat dan mengakui kalau hidup dan kehidupan yang dijalani Bang Said Tuhuleley memang indah juga. Ketulusan itu indah. Dari ketulusan Bang Said Tuhuleley ini saya belajar banyak. Termasuk ketika saya mendapat tugas dari Bang Said Tuhuleley untuk menulis buku biografi Pak Muchlas Abror, guru dan pembimbing jurnalistik saya di Harian Masa Kini. (Mustofa W Hasyim)