YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Pemilu serantak yang rencanya dan pastinya akan diselenggaran di tahun 2024 mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan. Baik dari akademisi, politisi, dan organisasi. Salah satunya adalah bidang Hikmah PK IMM Fisipol UMY. Yang kemudian sebagai bentuk keresahan mareka dan pada saat ini bangsa Indonesia sedang dalam ujian pandemi Covid-19 yang sampai sekarang belum berakhir, maka sebagai ortom Muhammadiyah (IMM) melakukan sebuah kajian.
Diskusi publik digelar secara online pada tanggal 9 juli 2021 tentang Catatan Demokrasi Menuju Pemilu Serentak 2024. Anggota DPD RI Afnan Hadikusumo mengungkapkan perjalanan demokrasi bangsa Indonesia tidak bisa didirikan dengan semangat kapitalistik. “Karena dengan demokrasi yang liberal seperti saat ini akan memunculkan oligarki kekuasaan, yang pada sekarang ini kita rasakan,” tuturnya.
Afnan mencontohkan seperti cost politik yang mahal ketika pemilihan kepala daerah, legislatif, dan pilpres. Kemudian jika ingin untuk memperbaiki (partai politik), harus menampilkan calon kepala daerah, anggota dewan yang benar-benar berkualitas. Disamping orang yang berkualitas sistim politik (UU) juga harus diubah.
Kaprodi UPS Tegal Dwian H.A.P. Eldo mengungkapkan bahwa kondisi pada saat ini, masyarakat sedang menghadapi pandemi yang telah membuat krisis di segala aspek kehidupan manusia. Bagi partai politik, fenomena tersebut merupakan peluang untuk dijadikan sebuah alat untuk mencari massa guna menyambut pemilu serentak 2024.
“Berbeda dengan hal dengan presiden atau gubernur yang kini sedangn menjabat, adanya fenomena pandemi tersebut menjadikan sebuah ujian untuk mereka apakah mereka masih cocok untuk menjabat atau tidak. Apabila mereka mampu mengahadapi kriris di masa pandemi ini, maka akan menjadi sebuah peluang yang besar untuk pemilu di masa yang akan datang,” ujar Eldo.
Dwian menyampaikan penyelenggaran pemilu serentak 2024 sangat menarik dibahas, pasalnya pemilu tersebut akan menguras banyak sekali tenaga. Bahkan dapat menyebabkan konflik antar partai politik. Hal tersebut dapat berkaca pada pemilu 2019 yang mana telah meyebabkan berbagai dinamika konflik dan kematian para relawaan atau petugas KPPS.
Senada disampaikan Kordinator Komonitas Independen Sadar Pemilu (KISP) Moch. Edward Trias Pahlevi bahwa hal yang perlu ditekankan adalah pesoalan regulasi pemilu. Pada pemilu 2019, MK memberikan enam opsi skema pemilihan umum, dan salah satu yang digunakan adalah pemilihan umum serentak dengan menggunakan lima kotak suara. Pilihan untuk tidak melakukan revisi UU 7 Tahun 2017 membawa konsekuensi pemilu lima kotak kembali dilaksanakan. Sikap ini tidak sejalan dengan Amanah putusan MK No 55/PUU-XVII/2019.
Persiapan electoral 2024, maka seluruh regulasi yang menimbulkan persoalan, masyarakat sipil dan pemangku kebijakan mesti segera disisir dan diambil langkah penyelesaiannya.
Masyarakat sipil harus mendorong penyelenggara pemilu untuk segera melakukan simulasi secara detail, sebelum mengambil keputusan merumuskan manajemen tahapan pelaksanaan pemilu 2024. “Pendekatan beban kerja penyelenggara dan kemudahan pemilih mesti jadi pertimbangan utama. Dan yang terakhir pilkada sebaiknya memang tidak dilaksanakan di tahun 2024, dan sedapat mungkin penataanya dapat disingkronkan dengan penataan jadwal pemilu DPRD,” ujar Edwar. (Supryadi Lilo)