Kriteria Hewan Kurban (3); Kualitas Fisik
Oleh: Arsyad Arifi
Pada edisi sebelumnya telah dibahas tentang kriteria hewan kurban dipandang dari segi jumlah dan kelamin. Pada kajian kali ini, akan dibahas kriteria hewan kurban yang dipandang dari segi kualitas fisik.
Adapun dari segi fisik maka diwajibkan memilih hewan kurban yang sehat dan tidak cacat. Adapun hewan ternak yang cacat maka tidak sah berkurban dengannya. Hal ini dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam hadisnya,
عن عبيد ابن فيروزسألت البراء بن عازب ما لا يجوز في الأضاحي فقال : قام فينا رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال أربع لا تجزىء في الأضاحي العوراء البين عورها والمريضة البين مرضها والعرجاء البين عرجها والعجفاء التي لا تنقى (رواه أبو داود)
Artinya :
“Diriwayatkan dari Ubaid bin Fairuz, saya bertanya pada al – Barr a bin Azib tentang sifat – sifat apa saja yang menyebabkan tidak bolehnya pada binatang qurban . Ia menjawab : bahwa Rasulullah Saw. berada di antara kami kemudian beliau bersabda : empat macam binatang yang tidak boleh dijadikan binatang Qurban, yaitu binatang yang buta lagi jelas butanya, yang sakit lagi jelas sakitnya, yang pincang lagi jelas kepincangannya, dan binatang yang kurus kering dan tidak bersih” (HR. Abu Dawud)
Para ulama memahami hadis diatas dan menyimpulkan bahwasannya hewan kurban yang sah memiliki kriteria tertentu. Imam Khatib asy-Syirbini dalam ‘Iqna’ mengatakan bahwasannya indikator hewan kurban yang sah adalah
ضابط المجزىء في الأضحية السلامة من عيب ينقص اللحم أو غيره مما يؤكل
Artinya :
“Adapun indikator hewan kurban yang sah adalah hewan kurban yang bebas dari cacat yang mengurangi daging atau selainnya yang dapat dimakan.”[1]
Maka dari itu tidaklah sah berkurban dengan hewan yang memiliki cacat dibawah ini :
- Al-‘Aura’
Yaitu hewan yang tidak bisa melihat dengan salah satu matanya walaupun masih terdapat bola matanya. Adapun yang dimaksud buta sebelah ini adalah yang benar-benar tidak bisa melihat dengan salah satunya. Adapun dalilnya adalah
«أنه – صلى الله عليه وسلم – أمر باستشراف العين والأذن» رواه الترمذي
Artinya :
“Bahwasannya Nabi Saw memerintahkan untuk memeriksa mata dan telinga (supaya tidak ada kekurangan dan cacat)” (HR. Tirmidzi)
Jika hanya kabur dan tidak terlalu parah maka tetap sah. Imam Khatib asy-Syirbini menukil perkataan Imam Syafii :
الشافعي رضي الله تعالى عنه قال أصل العور بياض يغطي الناظر وإذا كان كذلك فتارة يكون يسيرا فلا يضر
Artinya :
“Imam Syafi’i r.a. berkata bahwasannya pada dasarnya penyebab ‘iwar’ adalah selaput putih yang menutup penglihatan jika seperti itu, maka terkadang hanya terdapat selaput tipis saja dan tetap sah.”[2]
- Al-‘Umya’
Yaitu hewan hewan yang tidak bisa melihat dengan kedua matanya walaupun masih terdapat bola matanya atau yang biasa disebut buta. Tidak sah berkurban dengan hewan buta kedua matanya karena diqiyaskan dengan hukum al-aura’ diatas.
- Al-‘Arja’
Yaitu hewan yang pincang. Adapun indikator pincang disini dijelaskan oleh Imam Khatib asy-Syirbini :
بأن يشتد عرجها بحيث تسبقها الماشية إلى المرعى. وتتخلف عن القطيع
Artinya :
“Pincang yang dimaksud adalah pincang yang parah yaitu bilamana segerombolan hewan ternak pergi ke tempat gembala maka ia terdahului dan tertinggal dari rombongannya.”[3]
Adapun pincang ringan yang tidak sampai seperti diatas maka tetap sah kurbannya.
- Al-Maridhah
Yaitu hewan yang sakit. Adapun indikator sakit disini dijelaskan oleh Imam Khatib asy-Syirbini :
بأن يظهر بسببه هزالها وفساد لحمها
Artinya :
“Bilamana nampak kurus dan rusaknya daging dikarenakan sakitnya.” Adapun sakit ringan yang tidak sampai seperti diatas maka tetap sah kurbannya.
- Al-Haima’
Yaitu hewan yang selalu kebingungan atau stres yang ditunjukkan dengan gerakan yang selalu berpindah-pindah dan tak menetap dalam tempat tertentu. Salah satu pertanda kambing yang stress pada umumnya adalah tidak mau makan secara mendadak, dsb. Hal ini lebih diketahui mendalam oleh dokter hewan. Tidak sah berkurban dengan al-haima’ karena hukumnya diqiyaskan dengan hewan sakit.
- Al-‘Ajfa’
Yaitu hewan yang kurus kering dan tidak memiliki banyak daging. Adapun indikator kurus disini dijelaskan oleh Imam Ibnu Hajar al-Haitami :
بحيث لا يرغب في لحمها غالب طالبي اللحم في الرخاء
Artinya :
“Bilamana para penghobi daging tidak menyukai daging tersebut pada waktu normal.”[4]
- Al-Majnunah
Yaitu hewan yang hilang akalnya, bilamana digembalakan hanya berputar-putar tanpa tujuan yang jelas dan tidak makan karenanya menjadi kurus.[5] Hal ini bisa dibayangkan ketika ada hewan ternak yang semula diam, tiba-tiba berlari dan menanduk tembok tanpa ada hal yang membuatnya harus melakukan demikian. Hal ini lebih diketahui mendalam oleh dokter hewan. Hukum majnunah diqiyaskan dengan hukum sakit.
- Al-Jarba’
Yaitu hewan yang memiliki penyakit kulit atau yang sering disebut kudis walaupun hanya sedikit. Hal ini dijelaskan oleh Imam Khatib asy-Syirbini:
الجرباء، وإن كان الجرب يسيرا على الأصح المنصوص. لأنه يفسد اللحم والودك
Artinya :
“(Dan hewan yang tidak sah untuk berkurban) adalah hewan yang terkena penyakit kulit atau kudis walaupun hanya sedikit dalam qaul yang paling benar karena hal tersebut merusak daging dan lemak.”[6]
Para ulama juga mengatakan bahwasannya hewan yang memiliki bisul dan luka-luka tidak sah diqiyaskan dengan yang memiliki penyakit kulit. Ibnu Hajar al-Haitami berkata dalam Tuhfah :
وألحق به البثور والقروح
Artinya :
“Dan diqiyaskan ketidaksahannya dengannya (yang berpenyakit kulit) hewan yang memiliki bisul dan luka-luka”[7]
Semua hukum diatas diqiyaskan dengan hukum sakit.
- Al-Hamil
Yaitu hewan yang hamil menurut Syekh Bujairomi dalam ‘Hasyiyah Bujairomi ‘ala al-Khatib’ karena kehamilan itu mengurangi daging.[8]
- Al-Maqthu’ Ba’dhu al-Udzun
Yaitu hewan yang terpotong sebagian telinganya walaupun hanya sedikit karena hal tersebut menghilangkan bagian yang bisa dimakan. Adapun dalilnya adalah
عن علي بن أبي طالب قال أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم أن نستشرف العين والأذن وأن لا نضحي بمقابلة ولا مدابرة ولا شرقاء ولا خرقاء حدثنا الحسن بن علي حدثنا عبيد الله بن موسى أخبرنا إسرائيل عن أبي إسحق عن شريح بن النعمان عن علي عن النبي صلى الله عليه وسلم مثله وزاد قال المقابلة ما قطع طرف أذنها والمدابرة ما قطع من جانب الأذن والشرقاء المشقوقة والخرقاء المثقوبة
Artinya :
Dari Sy. Ali bin ABi Thalib r.a. berkata “Bahwasannya Rasululah Saw memerintahkan kami untuk memeriksa mata dan telinga (supaya tidak ada kekurangan dan cacat) dan memerintahkan kami untuk tidak menyembelih muqobalah, mudabarah, syarqa, dan kharqa’” Diriwayatkan dari al-Hasan bin Ali dari Ubaidillah bin Musa dari Israil dari Abu Ishaq dari Syuraih bin an-Nu’man dari Sy. Ali bin Abi Thalib mengatakan seperti hadis diatas dan menambahkan bahwasannya “muqabalah itu yang terpotong ujung daun telinganya, mudabarah itu yang terpotong dari pinggir daun telinga, asy-Syarqa’ adalah yang memiliki daun telinga retak atau sobek, dan al-kharqa’ adalah yang daun telinganya berlubang.” (HR. Tirmidzi)
Selain itu tidak sah berkurban dengan hewan yang tercipta tanpa telinga dan yang telinga tersebut mengalami lumpuh jika menjadikannya tidak bisa dimakan. Imam Khatib asy-Syirbini dalam ‘Mughni al-Muhtaj’ mengatakan :
وأفهم كلام المصنف منع كل الأذن بطريق الأولى ومنع المخلوقة بلا أذن ، وهو ما اقتصر عليه الرافعي . . . . . . بحث بعض المتأخرين أن شلل الأذن كفقدها وهو ظاهر إن خرج عن كونه مأكولا
Artinya :
“Dapat dipahami dari kalam penulis (Imam Nawawi) bahwasannya lebih tidak sah jika terpotong seluruh telinga daripada sebagian dan juga tidak sah dengan hewan ternak yang tercipta tanpa telinga, inilah pendapat dari Imam ar-Rafi’i. Sebagian ulama muta’akkhir bahwasannya hukum lumpuhnya telinga sama seperti tidak adanya telinga (tidak sah) jika membuatnya tidak bisa dimakan.” [9]
Adapun hewan yang telinganya sobek atau pecah-pecah dan yang berlubang tetap sah menurut pendapat yang paling benar dengan syarat tidak mengurangi daging. Imam Khatib asy-Syirbini mengatakan,
( وكذا ) لا يضر ( شق أذن و ) لا ( خرقها و ) لا ( ثقبها في الأصح ) بشرط أن لا يسقط من الأذن شيء بذلك كما علم مما مر ؛ لأنه لا ينقص بذلك من لحمها شيء ، والنهي الوارد عن التضحية بالشرقاء ، وهي مشقوقة الأذن محمول على كراهة التنزيه أو على ما أبين منه شيء بالشرق ، والثاني يضر لظاهر النهي المذكور[10]
Artinya :
“Dan tetap sah berkurban dengan hewan kurban yang sobek teinganya dan yang berlubang menurut pendapat yang paling benar dengan syarat tidak mengurangi daging dari telinga tersebut, karena hal tersebut tidak mengurangi daging sedikitpun, adapun larangan untuk menyembelih dengan asy-syarqa maksudnya adalah larangan yang bersifat makruh atau yang sobeknya parah. Sedangkan menurut pendapat yang lemah tidak sah karena hadis (tirmidzi) diatas.”
- Al-Maqthu’ Ba’dhu adz-Dzanab.
Yaitu hewan yang terpotong sebagian telinganya walaupun hanya sedikit karena hal tersebut menghilangkan bagian yang bisa dimakan
- Al-Maqthu’ al-Lisan
Yaitu hewan yang terpotong sebagian telinganya walaupun hanya sedikit karena hal tersebut menghilangkan bagian yang bisa dimakan. Imam Khatib berkata :
بقطع بعض لسان فإنه يضر لحدوث ما يؤثر في نقص اللحم[11]
Artinya :
“Dan dengan terpotongnya lidah maka berkurban dengannya tidak sah karena hal tersebut mengurangi daging.”
Setelah mengetahui tentang kriteria hewan kurban mari kita siapkan hewan kurban yang terbaik, dipersembahkan di hari yang terbaik, dan ditunjukkan kepada yang Maha Baik. Wallahua’lambishawab
Arsyad Arifi, Ketua PCIM Yaman
[1] Imam Khatib asy-Syirbini,” al-Iqna’ fi Halli Alfadhi Abi Syujak”; Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, 2011, jilid 2, hlm. 570.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Syekh Abdul Hamid asy-Syarwani dan Syekh Ahmad bin Qasim al-‘Abbadi, Hawasyi Syarwani wa Ibn Qasim al-‘Abbadi ‘ala Tuhfah al-Muhtaj bisyarh al-Minhaj; Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 2007, Juz 12 hlm. 259.
[5] Imam al-Khatib asy-Syirbini, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani al-Minhaj; Dar al-Ihya wa at-Turats, Beirut juz 6, hlm.168.
[6] Syekh Sulaiman bin Muhammad al-Bujairami asy-Syafii, Tuhfat al-Habib ‘ala Syarh al-Khatib; Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut, 2011, Juz 5, hlmn. 245.
[7] Syekh Abdul Hamid asy-Syarwani dan Syekh Ahmad bin Qasim al-‘Abbadi, Hawasyi Syarwani wa Ibn Qasim al-‘Abbadi ‘ala Tuhfah al-Muhtaj bisyarh al-Minhaj; Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 2007, Juz 12 hlm. 263..
[8] Syekh Sulaiman bin Muhammad al-Bujairami asy-Syafii, Tuhfat al-Habib ‘ala Syarh al-Khatib; Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut, 2011, Juz 5, hlmn. 245.
[9] Imam al-Khatib asy-Syirbini, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani al-Minhaj; Dar al-Ihya wa at-Turats, Beirut juz 6, hlm.168-169.
[10] Ibid.
[11] Ibid.