Idul Adha, Covid-19 dan Ketangguhan Hadapi Krisis
Oleh: Fahmi Salim
SHALAT berjamaah dan sembelih hewan kurban di tanah lapang adalah ciri khas umat Islam ketika merayakan Idul Adha. Sunnah ini tak mungkin lagi dilakukan sejak wabah Covid-19 melanda negeri ini pada awal tahun lalu. Semuanya harus menahan diri untuk tidak berkerumun karena berpotensi menjadi cluster penyebaran virus Covid-19. Bahkan, untuk perayaan Idul Adha tahun ini, karena positive rate Covid-19 makin meroket, pemerintah, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan ormas Islam kembali menyerukan umat untuk tidak menggelar shalat Id berjamaah di masjid atau lapangan.
Dalam surat edarannya, Kementerian Agama dan MUI menjelaskan berbagai ketentuan waktu dan lokasi penyembelihan hewan qurban. Sesuai dengan syariat Islam, penyembelihan bisa dilakukan selama 4 hari, yaitu pada tanggal 10, 11,12 dan 13 Dzulhijjah untuk menghindari kerumunan dan diserahkan ke Rumah Pemotongan Hewan Rumanasia (RPH-R). Karena keterbatasan kapasitas dan jumlah rumah potong, boleh dilakukan di lingkungan masjid dengan tetap mematuhi protokol kesehatan seperti menggunakan masker dan jaga jarak. Begitu pula, ketika mendistribusikan daging qurban.
Dalam tausiahnya, Ketua Umum MUI, KH. Miftahul Akhyar juga menyarankan daging urban disalurkan dalam bentuk olahan untuk mengoptimalkan manfaat daging qurban untuk kemaslahan umat yang terdampak Covid-19. Misalnya diolah dalam bentuk kornet, rendang, atau sejenisnya dan dikemas dalam bentuk kaleng serta didistrubisikan ke daerah di luar lokasi penyembelihan sesuai dengan Fatwa MUI No 37/2019.
Dalam pelaksanaan ibadah qurban, Muhammadiyah dalam surat edarannya juga menjelaskan skala prioritas ibdah sesuai dengan tuntanan Majelis Tarjih dan Tajdid. Pandemi COVID-19 menimbulkan masalah sosial ekonomi dan meningkatnya jumlah kaum dhuafa, karena itu sangat disarankan agar umat Islam yang mampu untuk lebih menguatamakan bersedekah berupa uang daripada menyembelih hewan qurban, atau bagi yang mampu bisa melakukan keduanya. Dana untuk qurban bisa disalurkan ke berbagai amil zakat yang terpercaya untuk melaksankan qurban di daerah tertinggal, terpencil, dan terluar atau bisa didistribuskan dalam bentuk kornet ke kawasan yang lebih membutuhkan.
Inilah sesungguhnya esensi ibadah qurban untuk berbagi dengan sesama. Ketika dana ibadah qurban dikonversikan menjadi dana sosial lainnya, terutama bagi mereka yang terdampak Covid-19 tetap bernilai pahala yang besar. Karena nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda, “Barang siapa membebaskan seorang mukmin dari kesulitan dunia, maka Allah akan membebaskannya dari suatu kesulitan pada hari kiamat. Barang siapa memberi kemudahan kepada orang yang dalam kesulitan, maka Allah akan memberikan baginya kemudahan di dunia dan akhirat. Barang siapa menutup aib seorang Muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan selalu menolong seorang hamba selama hamba tersebut menolong saudaranya sesama Muslim” (HR Muslim).
Tentu yang utama selain melaksanakan ibadah qurban, juga tetap membantu saudara-saudaranya yang tengah mengalami kesulitan hidup. Dimulai dari keluarga terdekat, tetangga terdekat dan orang-orang yang sangat membutuhkan. Yang paling utama lagi, menghayati makna dari ritual ibadah qurban yang merupakan jejak syariat dari Nabi Ibrahim AS.
Ibadah qurban selain berdimensi sosial, juga sesungguhnya untuk memperkokoh tauhid dan pengabdian kepada Alloh Ta’ala, sebagaimana Nabi Ibrahim tunduk dan patuh kepada perintah Alloh, walaupun harus mengorbankan anak kesayangannya, Ismail. Nabi Ibrahim berhasil melewati ujian terberat ini, sehingga layak mendapat gelar khalilulloh (kekasih Alloh). Perintah menyembelih Ismail adalah salah satu fragmen ujian kehidupan terberat yang sangat personal dijalani Nabi Ibrahim, karena mempertaruhkan kasih sayang seorang ayah. Sebelumnya, ia pun telah sukses melewati ujian untuk melawan berbagai kemungkaran penguasa dzolim dan kesesatan kaumnya.
Warisan tauhid yang berdimensi sosial dan humanitarian ini harus kita wujudkan dalam kehidupan nyata. Sesungguhnya bukan hewan qurban yang kita persembahkan, tapi totalitas penghambaan untuk mengikuti semua syariatnya. Dalam menjalani kehidupan di dunia, Alloh memberikan bekal berupa aturan-aturan di alam semesta ini, baik berupa hukum alam dan hukum sosial yang disebut juga dengan sunatulloh (kawniah), dan hukum yang tercantum dalam kitab suci (tasyri’iah). Semuanya sebagai anugerah untuk kemaslahatan umat manusia.
Jika kita hidup tanpa mengikuti petunjuk dari agama yang hanif, maka akan terjadi kekacauan dan disorientasi hidup. Karena akal manusia yang terbatas ini tak cukup dijadikan sebagai panduan atau sandaran, misalnya dalam menghadapi pandemi Covid-19. Salah satu jejak Nabi Ibrahim sebagaimana diabadikan dalam Al-Quran, untuk menghilangkan segala macam penyakit, ia berkata, “Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkanku” (QS Asy-Syu’ara: 80). Obat, vaksinasi dan terapi pencegahan hanyalah sarana ibadah kepada Allah, namun ketetapan akhir semua ditentukan Allah Yang Maha Penyembuh (As-Syaafii).
Orang yang kokoh tauhidnya, maka ia tidak akan limbung dan goyang untuk mengatasi berbagai persoalan hidup karena sudah mendapat petunjuk dari Tuhannya, sebagaimana Nabi Ibrahim berkata, “(Tuhan) yang telah menciptakan aku, maka Dialah yang menunjuki aku” (QS Syua’ara: 78). Apalagi kesulitan ekonomi yang kita hadapi sekarang, karenanya Nabi Ibrahim pun pernah berkata, “Dan Tuhanku yang memberi makan dan minum kepadaku” (QS Asy-Syua’ara: 79). Lalu, apa lagi yang harus dirisaukan jika Alloh satu-satunya yang menjadi pelindung kita semua?
Ibadah qurban juga mengingatkan fondasi utama kehidupan yaitu ketahanan keluarga. Karena kekuatan itulah, Nabi Ibrahim mampu mewariskan nilai-nilai tauhid kepada keluarganya, istrinya, Hajar dan putranya, Ismail meskipun mereka jarang berjumpa. Dialog antara Nabi Ibrahim dan Ismail menjadi bukti teladan sang ayahnya telah tertanam kuat dalam diri putranya, seperti dikisahkan dalam Al-Quran: Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, “Hai Anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Dia menjawab, “Hai Ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah, engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS Ash-Shaaffaat: 102).
Jika sunnah perayaan Idul Adha ini ada yang hilang, maka ketahuilah bahwa keagungan Idul Adha sudah dimulai sejak kita memasuki tanggal 1 bulan Dzulhijjah. Karena, Rasululloh sudah mewasiatkan dalam sabdanya, “Tidak ada amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan selama 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah.” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak pula jihad, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun.” (HR. Abu Daud).
Awal Dzulhijjah tahun ini bertepatan dengan 11 Juli 2021. Karena itulah, kita dianjurkan mengisinya dengan berpuasa di siang hari terutama Hari Arafah (9 Dzulhijjah yang jatuh pada tanggal 19 Juli), bertahajud di malam hari dan memperbanyak pada hari-hari itu bacaan tahlil, takbir dan tahmid. Memaksimalkan ibadah pada 10 hari di awal bulan Dzulhijjah setara dengan kemuliaan 10 malam terakhir bulan Ramadhan. Inilah yang paling utama daripada kita meributkan kebijakan PPKM Darurat yang mengalihkan kegiatan ibadah di masjid ke rumah untuk sementara di zona merah, apalagi larut dalam perdebatan media sosial yang tidak produktif.
Pimpinan dan warga Muhammadiyah hendaknya mematuhi fatwa para ulama yang memiliki otoritas dalam hukum Islam. Karena, salah satu tujuan syariat itu untuk menjaga jiwa dan keselamatan umat dari bahaya, apalagi sudah ditegaskan oleh Rasululloh dalam sabdanya, “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain.” Orang yang menjalankan ibadah qurban dengan meneladani jejak Nabi Ibrahim, maka ia tak cukup mengorbankan hartanya untuk berkurban dan berbagi dengan sesama, namun juga mengorbankan egoisme yang menjebaknya dalam fanatisme dan perasaan paling benar tanpa dasar ilmu yang kokoh.
Wabah covid-19 adalah ujian, siapa di antara kita yang masih kokoh memegang keimanannya dan bersandar hanya kepada-Nya. Sekaligus ujian, siapa yang masih mau memperkokoh tali persaudaraan di antara kita. Semuanya bisa diraih dengan menjadikan ibadah qurban sebagai momentum untuk menjadi pribadi yang bertaqwa dan rela berkorban untuk sesama. Kemampuan kita keluar dari krisis ini ditentukan oleh kekuatan tauhid ibadah, tauhid sosial dan tauhid saintifik kita yang seimbang (tawazun). Semoga kita semua dapat selamat melewati badai corona ini dengan panduan sunnatullah yang teguh dan mencerahkan. Wallohu A’lam.
Fahmi Salim, Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah dan Dosen Fakultas Agama Islam UHAMKA