Manakah Hewan Kurban Paling Afdhal? (1); Sudut Pandang Jenis Hewan Kurban
Oleh: Arsyad Arifi
Hewan kurban merupakan investasi kita dihadapan Allah SWT. Hewan kurban juga merupakan wasilah untuk meebus diri kita di hadirat-Nya, karena kurban pada hakikatnya adaah penebusan diri, sepertihalnya yang telah dikisahkan oleh Nabi Ibrahim dan Ismail ‘alaihima as-salam. Rasulullah SAW bersabda bahwasannya hewan kurban kita adalah tunggangan kita di akhirat kelak untuk menuju surga-Nya,
«عظموا ضحاياكم فإنها على الصراط مطاياكم»[1]
Artinya :
“Perbaguslah hewan kurbanmu maka sesungguhnya hewan kurbanmulah kendaraanmu untuk melintasi shirath.” (HR. Al-‘Ajluni dalam Kasyf al-Khafa’ (1/94) dan Ibnu Hajar dalam Talkhis al-Khabir 4/138)
Maka dari itu, demi mencapai keutamaan yang maksimal perlula kiranya kita berkurban dengan hewan kurban yang paling afdhal. Apa kriteria hewan kurban yang paling afdhal?
Menyikapi pertanyaan tersebut para ulama mengklasifikasikan hewan kurban menurut keutamaannya dari berbagai sudut pandang:
Jenis Hewan Kurban
Adapun jenis hewan kurban yang paling afdhal bisa diurutkan sesuai urutan berikut,
Tujuh Ekor Kambing
Yaitu berkurban dengan tujuh kambing lebih afdhal dari pada satu ekor unta dan satu ekor sapi. Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tuhfat al-Muhtaj mengatakan,
(وسبع شياه أفضل من بعير ) ومن بقرة وإن كان كل من هذين أكثر لحما من السبع ؛ لأن لحمهن أطيب مع تعدد إراقة الدم
Artinya
“Adapun tujuh ekor kambing lebih afdhal daripada satu ekor unta dan satu ekor sapi walaupun sapi walaupun keduanya lebih banyak dagingnya daripada tujuh ekor kambing hal ini dikarenakan daging tujuh ekor kambing tersebut lebih lezat dan penyembelihan kurbannya dihitung lebih banyak.”[2]
Satu Ekor Unta
Berkurban dengan satu ekor unta lebih afdhal dari pada satu ekor sapi. Imam Khatib asy-Syirbini dalam ‘Mughni al-Muhtaj’ mengatakan,
( وأفضلها ) أي أنواع الأضحية بالنظر لإقامة شعارها ( بعير ) أي بدنة ؛ لأنه أكثر لحما ، والقصد التوسعة على الفقراء ( ثم بقرة ) ؛ لأن لحم البدنة أكثر من لحم البقرة غالبا ، وفي الخبر { من اغتسل يوم الجمعة ، ثم راح في الساعة الأولى فكأنما قرب بدنة ، ومن راح في الساعة الثانية فكأنما قرب بقرة }[3] .
Artinya :
“Adapun jenis hewan kurban yang paling afdhal dipandang dari penegakkan syi’arnya adalah satu ekor unta karena dagingnya lebih banyak, dan maksud dari kurban adalah membagikan dagingnya seluas-luasnya kepada kaum fakir miskin, setelah itu baru sapi dikarenakan dagingnya lebih banyak dari daging sapi secara umumnya. Hal ini ditunjukkan oleh hadis Rasulullah SAW, “Baragsiapa yang mandi pada hari jum’at lalu pergi ke masjid untuk menunaikan shalat jum’at pada jam-jam pertama, maka seakan-akan ia sedang berkurban dengan unta dan barangsiapa pergi ke masjid untuk menunaikan shalat jum’at pada jam-jam kedua maka maka seakan-akan ia sedang berkurban dengan sapi.”
Satu Ekor Sapi
Berkurban dengan satu ekor sapi lebih afdhal daripada satu ekor kambing. Imam Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan dalam tuhfah,
( ثم بقرة ) لأنها أكثرها لحما مما بعدها[4]
Artinya
“Hewan kurban yang afdhal setelah unta adalah sapi karena dagingnya lebih banyak daripada martabat dibawahnya (kambing)”
Satu Ekor Domba atau Biri-biri
Berkurban dengan satu ekor domba lebih afdhal daripada seekor kambing kacang. Imam Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, mengatakan,
والضأن افضل من المعز لما روى عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال (خير الاضحية الكبش الاقرن) وقالت أم سلمة (لان أضحي بالجذع من الضأن أحب الي من أن أضحي بالمسنة من المعز) ولان لحم الضأن أطيب
Artinya :
“Dan domba lebih afdhal daripada kambing kacang karena diriwayatkan dari Ubadah bin Shamit bahwasannya Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik hewan kurban adalah domba jantan atau biri-biri bertanduk bagus. Juga karena Ummu Salamah berkata, “Karena menyembelih kurban dengan yang patah giginya dari domba lebih aku sukai daripada dengan kambing kacang ‘musinnah’. Serta karena daging domba lebih lezat.” [5]
Satu Kambing Kacang
Berkurban dengan satu ekor kambing kacang lebih afdhal daripada berkurban dengan ikut berpatisipasi dalam tujuh jatah dalam seekor unta atau sapi. Imam Ramli berkata dalam ‘Nihayat al-Muhtaj’,
(وَشَاةٌ أَفْضَلُ مِنْ مُشَارَكَةٍ فِي بَعِيرٍ) لِلِانْفِرَادِ بِإِرَاقَةِ الدَّمِ وَلِطِيبِ اللَّحْمِ
Artinya :
“Berkurban dengan satu ekor kambing lebih afdhal daripada berkurban dengan ikut berpatisipasi dalam tujuh jatah dalam seekor unta atau sapi karenanya terhitung menyembelih satu kambing secara penuh atas namanya sendiri dan karena dagingnya lebih lezat daripada unta dan sapi”[6]
Berpartisipasi dalam tujuh jatah dalam seekor unta atau sapi
Adapun tingkatan kurban yang paling rendah adalah Berpartisipasi dalam tujuh jatah dalam seekor unta atau sapi. Karena tidak terhitung menyembelih satu hewan kurban tersebut secara penuh atas namanya sendiri dan karena daging kambing lebih lezat daripada unta dan sapi.
Bersambung . . . .
Arsyad Arifi, Ketua PCIM Yaman
[1] Berkaitan dengan hadis ini para ulama mempermasalahkannya karena hadis tersebut dhaif. Ibnu Shalah mengatakan bahwasannya hadis ini tidak ada dasarnya. Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata dalam Talkhis Khabir, “Aku (al-Hafizh) katakan : Hadis ini dikeluarkan oleh penulis musnad al-Firdaus dari Ibnu al-Mubarak, dari Yahya bin Ubaidillah bin Mauhib dari bapaknya dari Abu Hurairah secara marfu’ :
استفرهوا ضحاياكم فإنها مطاياكم على الصراط
Artinya :
“Pilihlah oleh kalian hewan kurban yang terbaik karena sesungguhnya itu adalah tunggangan kalian meniti shirath.”
Dan Yahya disini adalah rawi yang dhaif jiddan (lemah sekali). Lihat Talkhis Khabir 4/138 no.2364. Akan tetapi dalam konteks ini dibolehkan beramal hadis tersebut karena ranahnya adalah fadhailul a’mal. Imam Nawawi dalam dalam kitabnya al-Adzkar mengatakan, “Boleh bahkan disunnahkan beramal dalam fadha’il, targhib dan tarhib dengan hadis dhaif selama belum mencapai derajat maudhu.” Lihat al-Adzkar dan Syarah Ibnu ‘Alan jilid 1 hlm. 86.
[2] Syekh Abdul Hamid asy-Syarwani dan Syekh Ahmad bin Qasim al-‘Abbadi, Hawasyi Syarwani wa Ibn Qasim al-‘Abbadi ‘ala Tuhfah al-Muhtaj bisyarh al-Minhaj; Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 2007, Juz 12 hlm. 256-257.
[3] Imam al-Khatib asy-Syirbini, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani al-Minhaj; Maktabah Dar al-Baz, Makkah al-Mukarromah, juz 6, hlm. 127.
[4] Syekh Abdul Hamid asy-Syarwani dan Syekh Ahmad bin Qasim al-‘Abbadi, Hawasyi Syarwani wa Ibn Qasim al-‘Abbadi ‘ala Tuhfah al-Muhtaj bisyarh al-Minhaj; Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 2007, Juz 12 hlm. 256-257.
[5] Imam Muhyiddin Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, t.t., jilid 8, hlmn. 368-372.
[6] Imam Syamsu ad-Din Muhammad bin Ahmad ar-Ramli, Nihayat al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, Dar al-Fikr, Beirut, 2009, jilid 8, hlm. 154.