Manakah Hewan Kurban Paling Afdhal? (2); Bobot, Warna, dan Jenis Kelamin
Oleh: Arsyad Arifi
Dalam kajian sebelumnya telah dibahas tentang tingkatan hewan kurban yang paling afdhal dalam aspek jenis hewan kurban. Pada kajian kali ini akan dibahas tentang hewan kurban yang paling afdhal dari aspek bobot, warna, dan kelamin.
Aspek Bobot
Disunnahkan untuk menyembelih hewan kurban yang lebih gemuk daripada hewan yang kurus meskipun banyak selama dagingnya lebih sedikit. Imam Nawawi dalam Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab mengatakan,[1]
(الثالثة) يستحب التضحية بالاسمن الاكمل قال البغوي وغيره حتى أن التضحية بشاة سمينة أفضل من شاتين دونها قالوا وقد قال الشافعي رحمه الله استكثار القيمة في الاضحية أفضل من استكثار العدد.
Artinya :
“Ketiga, Disunnahkan untuk menyembelih hewan kurban yang lebih gemuk dan syang lebih sempurna sampai Imam al-Baghawi dan ulama lainnya berkata bahwasannya menyembelih hewan kurban dengan satu ekor kambing yang gemuk lebih afdhal daripada dua ekor kambing yang dagingnya jika ditotal lebih sedikit. Imam Syafi’I rahimahullah berkata bahwasannya menambah kualitas dalam berkurban lebih afdhal daripada menambah kuantitas atau jumlah.”
Hal ini berlandaskan pada penafsiran turjuman al-qur’an Sayyidina Abdullah bin Abbas, Imam Syairozi berkata dalam al-Muhadzdzab,
روي عن ابن عباس في قوله تعالى (ومن يعظم شعائر الله) قال تعظيمها استسمانها واستحسانها[2] Artinya :
“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas pada fieman Allah swt, “Barangsiapa yang mengagungkan ritual keagamaan Allah” cara mengagungkannya adalah dengan menggemukannya dan mempercantiknya.”
Selain itu juga berlandas dari khabar Imam Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu ketika berkhutbah,
وخطب علي كرم الله وجهه قال . . . . واستسمن فان أكلت أكلت طيبا وان أطعمت أطعمت طيبا[3]
Artinya :
“Imam Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah berkhutbah seraya berkata dan carilah hewan kurban yang gemuk jika engkau memakannya maka kau memakan maknan yang lezat jika kau memberi makan orang lain maka kau memberi makan orang lain yang lezat pula.”
Maka dari itu disunnahkan pula untuk menggemukkan hewan kurban supaya mencapai hasil yang maksimal. Imam Nawawi berkata,
واختلفوا في استحباب تسمينها فمذهبنا ومذهب الجمهور استحبابه [4]
Artinya :
“Para ulama berselisih atas kesunnahan penggemukan hewan kurban, adapun madzhab kita (syafiiyah) dan madzhab jumhur disunnahkan.”
Hal ini berlandaskan dari hadis Abu Umamah ash-Shahabi,
عن أبي أمامة الصحابي رضى الله عنه قال (كنا نسمن الاضحية وكان المسلمون يسمنون) (رواه البخاري)
Artinya ;
Dari Abu Umamah ash-Shahabi ra. berkata, “Kami menggemukkan hewan kurban dan orang-orang muslim juga menggemukannya” (HR. Bukhari)
Dalam pembahasan ini hewan yang banyak dagingnya lebih unggul daripada hewan yang banyak lemaknya kecuali kalau dagingnya tidak berkualitas maka lebih afdhal yang berlemak, Imam Nawawi berkata,
قال أصحابنا كثرة اللحم أفضل من كثرة الشحم الا أن يكون لحما رديئا[5]
Artinya :
“Para Ashab kita (syafiiyah) berkata bahwasannya yang banyak dagingnya lebih afdhal daripada yang banyak lemaknya kecuali kalau dagingnya tidak berkualitas.”
Aspek Jenis Kelamin
Ulama berbeda pendapat dalam menentukannya, menurut pendapat yang mu’tamad yang paling afdhal adalah kambing jantan jika tidak banyak menaiki betina untuk kawin atau yang disebut dalam bahasa arab ‘nazwat’ karena dagingnya lebih lezat, jika sebaliknya maka betina yang belum beranak lebih afdhal karena menurut para ahli, hal tersebut mempengaruhi lezatnya daging. Imam Ramli dalam ‘Nihayat al-Muhtaj’ berkata,
الذكر ولو بلون مفضول فيما يظهر أفضل لأن لحمه أطيب ، إلا أن يكثر نزواته فالأنثى التي لم تلد أفضل منه حينئذ ، وعلى ذلك حمل قول الشافعي والأنثى أحب إلي[6]
Artinya :
“Kambing jantan walaupun dengan warna yang kalah unggul lebih afdhal karena dagingnya lebih lezat kecuali jika banyak menaiki betina untuk kawin, jika demikian maka betina yang belum beranak lebih afdhal, pada pemahaman inilah perkataan Imam Syafii dan kambing betina lebih aku sukai”
Adapun kambing yang memiliki kelamin ganda, atau yang biasa disebut “khuntsa” dijelaskan oleh Imam Khatib asy-Syirbini dalam ‘Mughni al-Muhtaj’,
والقياس على ما قاله الرافعي : تفضيل الذكر عليه لاحتمال الأنوثة ، وتفضيله على الأنثى لاحتمال الذكورة[7] .
Artinya :
“Sedangkan qiyas terhadap perkataan Imam ar-Rafi’I adalah mengunggulkan jantan atas yang berkelamin ganda karenanya memiliki kemungkinan berkelamin betina, sedangkan yang berkelamin ganda lebih afdhal daripada betina, karena memiliki kemungkinan bahwasannya berkelamin jantan.”
Jadi kesimpulan dari pembahasan ini yang lebih afdhal adalah jantan kemudian yang berkelamin ganda kemudian betina dengan ketentuan khusus seperti diatas.
Aspek Warna
Dalam aspek ini diunggulkan yang berwarna putih, lalu kuning, lalu al-‘afra’(yang tidak murni putihnya), lalu, merah, lalu balqa’(yang berwarna hitam putih), lalu hitam. Hal ini berdasar pada hadis,
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- ضَحَّى بِكَبْشَيْنِ أَقْرَنَيْنِ أَمْلَحَيْن (رواه أبو داود)
Artinya :
“Dari Anas bin Malik ra. berkata bahwasannya Nabi saw berkurban dengan dua domba jantan yang bertanduk dan berwarna putih.”
Imam Syairozi menukil khabar dalam al-Muhadzdzab,
وقال أبو هريرة دم البيضاء في الاضحية أفضل من دم سوداوين * وقال ابن عباس تعظيمها استحسانها والبيض احسن
Artinya
“Shahabat Abu Hurairah berkata bahwasannya menyembelih seekor hewan berwarna putih dalam berkurban lebih afdhal daripada dua ekor hewan yang berwarna hitam. Dan Imam Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwasannya mengagungkan ritual agama adalah dengan memperbagusnya, dan yang berwarna putih itu lebih bagus.”
Tolak ukur afdhal disini adalah semakin dekat dengan warna putih maka semakin afdhal seperti yang dikatakan oleh Imam Ali Syibramalisy. Dengannya juga kita bisa lebih bertasyabbuh atau menyerupai apa yang dilakukan Rasulullah saw dalam menyembelih kambing yang berwarna putih. Ulama berbeda pendapat sebab adanya pentafdhilan dalam warna ini. Ada yang mengatakan karena ta’abbudi, ada juga yang mengatakan karena lebih cantik ada juga yang mengatakan karena dagingnya lebih lezat.
Telah kita ketahui hewan kurban yang paling afdhal dari ketiga aspek diatas. Akan tetapi jika ketiga-tiganya bertentangan, seperti kambing gemuk tapi warna hitam dengan kambing kurus tapi warna putih maka bagaimana ? Ali Syibramalisy menjawab,
( قوله : نعم يقدم السمن على اللون عند تعارضهما ) أي وعلى الذكورة أيضا[8]
Artinya :
“Benar kualitas atau kegemukan lebih diunggulkan atas warna dan jenis kelamin ketika saling bertentangan”
Hal ini dapat dipahami karena maksud dan tujuan dari kurban sendiri seperti yang dikatakan oleh Imam Ibnu Hajar[9] adalah mencukupi para fakir miskin. Maka dari itu semakin banyak daging maka semakin banyak kaum fakir miskin yang tercukupi.
Lalu bagaimana jika warna dan jenis kelamin bertentangan ? Maka yang didahulukan adalah jenis kelamin. Jadi lebih dikedepankan pejantan yang berwarna hitam daripada betina yang berwarna putih. Hal ini sesuai perkataan Imam Ali Syibramalisy,
وأما قول شيخنا الزيادي عن حج : ويظهر عند تعارضهما تقديم السمن كالذكورة ، فمعناه أن كلا من السمن والذكورة يقدم على اللون الفاضل فيقدم الذكر الأسود على الأنثى البيضاء[10]
Artinya :
“Adapun pendapat guru kami az-Ziyadi dari Ibnu Hajar maka nampaklah ketika saling bertentangan mengunggulkan yang gemuk seperti mengunggulkan yang jantan, maka maknanya adalah setiap dari yang gemuk dan yang jantan (walaupun kalah unggul) tetap diunggulkan atas warna yang lebih unggul. Maka dari itu diunggulkan pejantan yang berwarna hitam atas betina yang berwarna putih,”
Setelah mengetahui hewan kurban yang paling afdhal mari kita berkurban dan memilih hewan kurban yang paling afdhal demi menyuguhkan suatu kurban terbaik, agar kita senantiasa mendapat balasan dari Allah SWT yang terbaik. Maka dari itu apa kurbanmu tahun ini ?
Wallahua’lam Bishawab.
[1] Imam Muhyiddin Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, t.t., jilid 8, hlmn. 368-369.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Imam Syamsu ad-Din Muhammad bin Ahmad ar-Ramli, Nihayat al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, Dar al-Fikr, Beirut, 2009, jilid 8, hlm. 153.
[7] Imam al-Khatib asy-Syirbini, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani al-Minhaj; Maktabah Dar al-Baz, Makkah al-Mukarromah, juz 6, hlm. 128.
[8] Imam Abi Dhiya’ Nur ad-Din Ali bin Ali asy-Syibramalisy, Hasyiyah Ali Syibramalisy ala Nihayat al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, Dar al-Fikr, Beirut, 2009, jilid 8, hlm. 155.
[9] Syekh Abdul Hamid asy-Syarwani dan Syekh Ahmad bin Qasim al-‘Abbadi, Hawasyi Syarwani wa Ibn Qasim al-‘Abbadi ‘ala Tuhfah al-Muhtaj bisyarh al-Minhaj; Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 2007, Juz 12 hlm. 256-257.
[10] Imam Abi Dhiya’ Nur ad-Din Ali bin Ali asy-Syibramalisy, Hasyiyah Ali Syibramalisy ala Nihayat al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, Dar al-Fikr, Beirut, 2009, jilid 8, hlm. 155.