Muhammadiyah dan Jepang dalam Lintasan Sejarah

Muhammadiyah dan Jepang dalam Lintasan Sejarah

Oleh: Muhammad Yuanda Zara

Mendengar kata ‘Muhammadiyah dan Jepang’, pikiran orang agaknya akan segera tertuju setidaknya pada dua aspek; pertama, pada Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Jepang; dan kedua, pada seorang akademisi kenamaan Jepang yang dikenal karena studi rincinya tentang aktivitas Muhammadiyah di Kotagede, Prof. Mitsuo Nakamura. Padahal, dalam kenyataannya, hubungan antara Muhammadiyah dengan Jepang jauh lebih kompleks dan telah berlangsung lama.

Muhammadiyah dan Jepang punya relasi yang turun-naik. Yang dimaksud dengan Jepang di sini adalah segala representasi yang berkaitan dengan Jepang sebagai sebuah konsep—negara, pasukan pendudukan, kaum Muslim, hingga kalangan akademisinya. Tulisan ini akan secara ringkas mengetengahkan tentang bagaimana hubungan antara Muhammadiyah dan Jepang dalam beberapa dekade pada sekitar pertengahan abad ke-20.

Interaksi awal Muhammadiyah dan Jepang terjadi pada masa pendudukan Jepang (1942-1945). Jepang berada di Hindia Belanda dalam usahanya mendapatkan sumber daya untuk mendukung perang mereka di Asia dan Pasifik. Mulanya kedatangan Jepang disambut penduduk Indonesia, namun dengan segera tampak bahwa Jepang adalah penguasa yang kejam. Jepang melarang pergerakan politik, menutup media, dan memaksa petani menyerahkan padi pada mereka.

Majalah resmi Muhammadiyah, Suara Muhammadiyah, sempat berhenti terbit pada masa pendudukan Jepang. Barulah setelah beberapa tahun, ketika Jepang kian intensif mendekati umat Islam guna mendapatkan dukungan, majalah Suara Muhammadiyah dapat terbit kembali. Majalah ini tidak terbit antara Januari 1942 hingga Juni 1944. Pada Juli 1944 (Radjab 1363) akhirnya Suara Muhammadiyah dapat muncul kembali, itupun atas izin Gunseikanbu (Administrasi Militer Pusat Jepang) pada tanggal 20 Desember 2603 (1943). Izin ini berarti juga bahwa Jepang memonitor isi majalah ini.

Di samping itu, ada bentuk lain relasi Muhammadiyah dengan Jepang di masa ini, yakni dimasukkannya tokoh Muhammadiyah dalam usaha propaganda Jepang. Pada tahun 1943 Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera), lembaga yang dipimpin para pemimpin Indonesia dengan tujuan untuk membantu Jepang dalam melawan Sekutu. Pimpinan badan ini dikenal sebagai Empat Serangkai, dan mencerminkan kombinasi antara kalangan nasionalis dan Islam. Dari kalangan nasionalis ada Soekarno, Mohammad Hatta dan Ki Hajar Dewantoro, sementara kalangan Islam diwakili K.H. Mas Mansur. Mas Mansur adalah Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah dari tahun 1937-1942 dan dikenal pula sebagai aktivis pergerakan nasional dengan keterlibatannya di Sarekat Islam pada masa kolonial.

Pascakekalahan Jepang di Perang Dunia Kedua dan Indonesia menjadi sebuah negara merdeka, relasi antara Muhammadiyah dan Jepang masih berlanjut, namun dalam bentuk yang benar-benar berbeda. Di dekade 1970an, Muhammadiyah kembali hadir dalam memori orang Jepang, dan kehadiran Muhammadiyah itu bahkan terasa di Negeri Jepang sendiri. Pada Maret 1977, Wakil Ketua IV PP Muhammadiyah, H. dr. Kusnadi, berkunjung ke Tokyo.

Tujuannya adalah ke kantor Japan Islamic Congress (JIC), sebuah organisasi Islam yang dikelola oleh kaum Muslim Jepang. Di sana ia bersua dan berbincang-bincang dengan Presiden JIC, dr. H. Shawqi Hedio Futaki. Pertemuan ini mencerminkan besarnya atensi dan apresiasi pihak di luar Muhammadiyah terhadap kontribusi persyarikatan di berbagai bidang, baik keagamaan, kesehatan maupun pendidikan.

Pertemuan berlangsung dengan hangat. Shawqi menjelaskan tentang konsep dan wujud usaha JIC dalam mengembangkan Islam di Jepang. Di sisi lain, Kusnadi menerangkan tentang kegiatan Muhammadiyah dalam mendakwahkan Islam di Indonesia. Keduanya sepakat untuk saling mendukung dalam usaha penyiaran Islam dan bekerja sama secara keorganisasian guna memajukan Islam.

Tiga tahun kemudian, tepatnya pada Februari 1980, Muhammadiyah menunjukkan penghargaan lebih besar pada JIC. Bentuknya adalah dengan menempatkan foto H. Dr. A. Haaqim Yoshida (Sekjen JIC) dan HA Kareem Shoji Nakamura (imam Masjid Shinjuku, Tokyo) sebagai kover di sampul depan Suara Muhammadiyah edisi bulan itu. Kover depan adalah halaman pertama yang dilihat pembaca, dan penempatan dua tokoh JIC di kover Suara Muhammadiyah—yang biasanya diisi oleh wajah tokoh Muhammadiyah atau tokoh nasional—adalah sebuah penegasan dan wujud tentang betapa dekatnya hubungan antara Muhammadiyah dan JIC.

Mereka datang ke Indonesia karena diundang oleh Menteri Agama H. Alamsyah Ratu Prawiranegara. Selain Jakarta, mereka juga mengunjungi Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatera Barat guna meninjau fasilitas dan aktivitas keagamaan dan publik yang dikelola oleh umat Islam di Indonesia. Di Yogyakarta, tujuan kunjungan mereka adalah kantor PP Muhammadiyah dan RS PKU Muhammadiyah. Para tokoh Muhammadiyah, seperti HAR Fakhruddin, Prof. Kasman Singodimedjo, Djarnawi Hadikusuma, dan HS Prodjokusumo menyambut mereka.

Dalam pidato sambutannya, Ketua Umum PP Muhammadiyah HAR Fakhruddin menyebut bahwa Islam, iman dan persaudaraan adalah landasan pertemuan kedua belah pihak. Pak AR mendoakan ketabahan bagi umat Islam Jepang, yang jumlahnya minoritas, dalam menjalankan ibadah. Di sisi lain, perwakilan JIC sangat berharap agar kunjungannya ke Indonesia dapat memberi mereka pengetahuan lain tentang bagaimana mendakwahkan Islam, yang nantinya akan mereka gunakan untuk syiar Islam di Jepang.

Di akhir pertemuan, Pak AR menyerahkan kenang-kenangan berupa kalender Muhammadiyah tahun 1980 dan brosur berjudul A Short Introduction to Muhammadiyah. Tak hanya itu, satu bundel Suara Muhammadiyah tahun 1979, majalah Suara Muhammadiyah edisi terbaru di tahun 1980 dan sejumlah brosur yang berkaitan dengan Muhammadiyah diserahkan sebagai tanda mata oleh Pemred Suara Muhammadiyah, HA Basuni, kepada dua tamu dari Jepang itu. Dengan demikian, tak cuma Muhammadiyah yang hadir di dalam ingatan kaum Muslim Jepang, tetapi juga majalah Suara Muhammadiyah.

Pendidikan tinggi adalah bidang lain yang memperlihatkan adanya kerja sama antara Muhammadiyah dan Jepang. Orientasi perguruan tinggi Muhammadiyah (PTM) ke kancah global, yang kini didengungkan di berbagai PTM, sebenarnya bukanlah hal yang baru. Bahkan, bila dilacak akarnya, orientasi semacam itu sudah berusia lebih dari empat dekade. Pada tahun 1977, umpamanya, Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), sudah mulai bekerja sama dengan Sagami Institute of Technology, Jepang. Kerja sama ini disepakati oleh Ismail Sunny (Rektor UMJ) dan Megumi Takeda (Rektor Sagami Institute of Technology). Bentuk kerja sama yang disepakati kedua belah pihak antara lain adalah pertukaran dosen, pertukaran mahasiswa, pemberian beasiswa, dan saling membantu dalam bidang penelitian dan karya ilmiah.

Muhammad Yuanda Zara, Dosen Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta

Sumber: Majalah SM Edisi 23 Tahun 2019

Exit mobile version