Hukum Memotong Rambut dan Kuku Bagi Sohibul Kurban

Hukum Memotong Rambut dan Kuku Bagi Sohibul Kurban

Oleh: Arsyad Arifi

Berkurban merupakan suatu penebusan diri atas dosa-dosa seorang hamba dihadapan Allah SWT. Maka dari itu ritual ini harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Salah satunya adalah dengan mengikuti seluruh kesunnahannya dan menjauhi kemakruhannya baik sebelum, sesaat atau sesudah berkurban. Diantaranya adalah memotong rambut dan kuku bagi shohibul kurban, bagaimana hukumnya ?

Ulama menjelaskan bahwasannya hukum memotong rambut dan kuku bagi shohibul kurban bagi shohibul kurban jika telah memasuki sepuluh hari awal bulan Dzulhijjah adalah makruh. Kemakruhan tersebut terus bertahan hingga menyembelih hewan yang dikurbankan. Hal ini berasal dari hadis Syh. Ummu Salamah,

عن أم سلمة رضي الله عنها قالت قال رسول الله صلى الله عليه و سلم (إذا دخل العشر و أراد أحدكم أن يضحى فلا يمس من شعره شيئا) رواه مسلم

Artinya

”Apabila telah masuk hari kesepuluh (bulan Dzulhijjah), dan salah seorang darimu ingin berkurban, maka ia tidak memotong rambut dan kukunya”(HR Muslim)

Adapun larangan pada hadis Ummu Salamah ra. diatas bukan bermaksud haram akan tetapi makruh. Karena hadis riwayat Syh. Aisyah ra,

(كنت افتل قلائد هدى رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم يقلده ويبعث به ولا يحرم عليه شئ احله الله له حتى ينحر هديه) (رواه البخاري ومسلم)

Artinya :

Aku memintal kalung hadyu (sembelihan haji) Rasulullah SAW kemudian beliau mengalungkannya lalu mengutusnya dengan kalung itu, dan tidak mengharamkan suatu apapun yang telah dihalalkan oleh Allah SWT sampai menyembelihnya.” (HR. Bukhari-Muslim)

Berkaitan dengan hadis ini Imam Nawawi menukil qiyas Imam Syafii dalam ‘Majmu’,

قال الشافعي البعث بالهدي أكثر من ارادة التضحية فدل على أنه لا يحرم ذلك والله أعلم

Artinya :

“Imam Syafii berkata mengutus dengan hadyu atau sembelihan haji lebih banyak daripada keinginan untuk berkurban (padahal keduanya serupa) maka dari itu hal ini menunjukkan bahwasannya tidak diharamkan memotong kuku dan rambut dalam berkurban.wallahua’lam”[1]

Imam Zarkasyi menekankan bahwasannya orang yang ingin berkurban dan orang yang ingin mengirim hadyu atau sembelihan haji ke Baitullah hukumnya sama karena itu tidak ada keharaman dalam memotong kuku dan rambut dengan dalil hadis diatas,

قال الزركشي : وفي معنى مريد الأضحية من أراد أن يهدي شيئا من النعم إلى البيت بل أولى ، وبه صرح ابن سراقة[2]

Artinya :

“Imam Zarkasyi berkata dalam makna orang yang ngin berkurban adalah orang yang ingin mengirim hadyu atau sembelihan haji ke Baitullah bahkan hukum sembelihan haji lebih ditekankan, pendapat ini disharihkan oleh Ibn Suraqah.”

Adapun yang dimaksud rambut disini adalah semua rambut yang ada di tubuh baik rambut kepala, jenggot, kumis, rambut kemaluan, ketiak, dsb. Hal ini sesuai dengan perkataan Imam Khatib asy-Syirbini,

( أن لا يزيل شعره ولا ظفره في عشر ذي الحجة حتى يضحي ) بل يكره له ذلك ، لقوله صلى الله عليه وسلم : { إذا رأيتم هلال ذي الحجة وأراد أحدكم أن يضحي فليمسك عن شعره وأظفاره } رواه مسلم عن أم سلمة ، وسواء في ذلك شعر الرأس واللحية والشارب والإبط والعانة وغيرها[3]

Artinya :

“Disunnahkan untuk tidak menghilangkan rambutnya dan kukunya pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah sampai ia menyembelih kurban, bahkan hal tersebut makruh hukumnya karena sabda Nabi SAW, Apabila telah masuk hari kesepuluh (bulan Dzulhijjah), dan salah seorang darimu ingin berkurban, maka ia tidak memotong rambut dan kukunya” diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ummu Salamah, rambut disini baik itu rambut kepala,  jenggot, kumis, rambut ketiak, kemaluan, dsb.”

Terkait dengan hadis tersebut para ulama berijtihad dan mengambil pendapat bahwasannya menghilangkan anggota tubuh selain kuku dan rambut juga makruh. Karena maksud dari kuku dan rambut disini adalah anggota tubuh, maka dari itu anggota tubuh selain rambut dan kuku diqiyaskan hukumnya dengan rambut dan kuku. Hal ini dikatakan Imam Nawawi dalam kitab (Ziyadah) Raudhah ath-Thalibin dari Imam Ibrahim al-Marwazi.[4] Karena hikmah disini adalah terliputinya seluruh tubuh dari maghfirah atau ampunan dan pembebasan dari neraka seperti yang dikatakan Imam Ibnu Hajar al-Haitami pada kitabnya ‘Tuhfat al-Muhtaj’[5]. Maka dari itu dimakruhkan menghilangkan anggota tubuh lainnya agar semua anggota tubuh terliputi ampunan dan terbebas dari api neraka.

Adapun yang dilarang memotong disini adalah orang yang ingin berkurban atau biasa disebut shohibul kurban, bukan anggota keluarganya, bukan pula orang lain yang termasuk ahlul baitnya, apalagi hewannya. Selain shohibul kurban tidak dimakruhkan memotong rambut dan kuku. Hal ini dikatakan oleh Syekh Sa’id bin Muhammad Ba’ishn dalam kitabnya ‘Busyra al-Karim’ :

أمَّا من لم يرد التضحية .. فلا يكره له إزالة نحو شعره وإن سقط عنه الطلب بفعل غيره من أهل بيته.[6]

Artinya :

“Sedangkan barangsiapa yang tidak ingin berkurban (atau bukan shohibul kurban) maka tidak dimakruhkan untuk menghilangkan rambutnya, walaupun orang itu termasuk yang gugur tuntutannya untuk berkurban dengan perbuatan orang lain dari ahlul baitnya.”

Akan tetapi dalam kemakruhan memotong anggota terdapat beberapa kasus pengecualian, yaitu :

Jika tidak memotongnya akan memberi mudharat

Hal ini seperti dalam beberapa kasus disebut ‘cantangen’ (baca : jawa) atau gangguan kuku yang menyebabkan bernanah. Maka dari itu dibolehkan untuk memotong bagian tersebut, hingga hilang sakitnya. Hal ini dijelaskan oleh Imam Ramli dalam kitabnya ‘Nihayat al-Muhtaj’,

ومحل ذلك فيما لا يضر ، أما نحو ظفر وجلدة تضر فلا [7]

Artinya :

“Dan kemakruhan tersebut berlaku jika tidak ada kemudharatan yang muncul karenanya, jika ada kuku dan kulit yang memberikan mudharat jika dipelihara maka hukumnya tidak makruh” 

Jika anggota tubuh yang akan dihilangkan itu wajib hukumnya untuk dihilangkan

Hal ini seperti dalam kasus khitan laki-laki yang baligh, potong tangan seorang pencuri atau qisas jika diminta tuntut balas. Hal ini dijelaskan oleh Imam Khatib dalam Mughni,

واستثنى من ذلك ما كانت إزالته واجبة كختان البالغ وقطع يد السارق ، والجاني بعد الطلب[8]

Artinya

“Dan dikecualikan dari kemakruhan tersebut Jika anggota tubuh yang akan dihilangkan itu wajib hukumnya untuk dihilangkan seperti dalam kasus khitan laki-laki yang baligh, potong tangan seorang pencuri atau qisas jika dituntut balas”

Jika anggota tubuh yang akan dihilangkan itu sunnah hukumnya untuk dihilangkan

Hal ini seperti dalam kasus khitan anak kecil yang belum baligh. Maka hukumnya adalah sunnah. Hal ini dijelaskan oleh Imam Khatib dalam Mughni,

وما كانت إزالته مستحبة كختان الصبي[9] .

Artinya

“Dan dikecualikan dari kemakruhan tersebut Jika anggota tubuh yang akan dihilangkan itu sunnah hukumnya untuk dihilangkan seperti dalam kasus khitan laki-laki yang belum baligh.

Orang yang sedang berihram untuk haji atau umrah

Adapun hukum memotong rambut atau kuku bagi mereka adalah haram. Karena hal tersebut merupakan hal-hal yang diharamkan dalam berihram. Hal ini dijelaskan oleh Imam Khatib,

أما المحرم فيحرم عليه إزالة الشعر والظفر[10]

Artinya :

“Adapun orang yang sedang berihram maka haram baginya untuk memotong rambut dan kuku.”

Adapun selain keempat hal tersebut maka hukumnya makruh bila memotongnya. Jika tetap memotongnya meskipun mengetahui hukumnya makruh, maka kemakruhan tersebut akan tetap berlangsung hingga disembelihnya hewan kurban. Hal ini dijelaskan oleh Imam Ramli,

فإن خالف كره وتستمر الكراهة لمريدها إلى انقضاء زمن الأضحية [11]

Artinya :

Jika tetap memotongnya, maka kemakruhan tersebut akan tetap berlangsung hingga disembelihnya hewan kurban

Jika sembelihan kurbannya banyak maka hilang kemakruhan tersebut dengan menyembelih hewan kurban pertama. Hal ini dijelaskan Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tuhfah,

ولو تعددت أضحيته انتفت الكراهة بالأول على الأوجه أيضا بناء على الأصح عند الأصوليين أن الحكم المعلق على معنى كلي يكفي فيه أدنى المراتب لتحقيق المسمى فيه [12]

Artinya :

Jika sembelihan kurbannya banyak maka hilang kemakruhan tersebut dengan menyembelih hewan kurban pertama karena kaidah ushul fikih yang paling benar yang mengatakan bahwasannya hukum yang digantungkan dengan makna universal maka dinyatakan cukup dengan pelaksanaan tingkatan terbawahnya untuk mewujudkan makna dari kata universal tersebut.” 

Kesunnahan ini sangatlah ditekankan bahkan Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah menghukumi haram jika memotongnya. Bahkan yang menariknya, jika kuku tersebut tidak dipotong dan terus dipelihara hingga kurban tahun depan maka tetap disunnahkan untuk tidak memotongnya. Imam Ibnu Qassim al-Abbadi dalam ‘Hasyiyah ‘Ala Tuhfah’ berkata,

تنبيه لو لم يزل نحو شعره بعد التضحية بل أبقاه إلى العام الثاني وأراد التضحية أيضا فظاهر أنه يسن له أن لا يزيله في عشر ذي الحجة من العام الثاني حتى يضحي خلافا لما توهم أنه لا يطلب ترك إزالته في العام الثاني لشمول المغفرة له في العام الأول فإن هذا فاسد لأنه زاد زيادة لم تشملها المغفرة وتجددت ذنوب في العام الثاني تحتاج للمغفرة على أن المغفرة في العام الأول غير قطعية[13]

Artinya :

Perhatian jika kuku tersebut tidak dipotong dan terus dipelihara hingga ingin kurban tahun di tahun setelahnya maka tetap disunnahkan untuk tidak memotongnya pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, pendapat ini berbeda dari pendapat yang menyatakan jika kuku tersebut tidak dipotong dan terus dipelihara hingga ingin kurban tahun di tahun setelahnya maka tidak disunnahkan karena kuku tersebut telah terliputi oleh ampunan pada tahun pertama maka sesunguhnya pendapat tersebut fasid karena kukunya bertambah panjang dan ada bagian yang belum terliputi ampunan pada tahun pertama maka dari itu dibutuhkan ampunan kembali karena ampunan di tahun awal juga belum pasti terwujud.

Maka dari itu, mari kita bersama tegakkan sunnah berkurban termasuk menahan diri dari memotong sesuatu dari anggota badan pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhujjah ini. Karena dengan ittiba’ Rasulullah SAW kita dapat menegakkan syari’atnya dan mendapat mahabbahnya hingga kita diberi syafaatnya kelak. Masihkah ingin memotong kuku dan rambut? Wallahua’lambishawab

Arsyad Arifi, Ketua PCIM Yaman

[1] Imam Muhyiddin Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, t.t., jilid 8, hlmn. 364.

[2] Imam al-Khatib asy-Syirbini, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani al-Minhaj; Dar al-Ihya wa at-Turats, Beirut juz 6, hlm.163.

[3] Ibid.

[4] Ibid.

[5] Syekh Abdul Hamid asy-Syarwani dan Syekh Ahmad bin Qasim al-‘Abbadi, Hawasyi Syarwani wa Ibn Qasim al-‘Abbadi ‘ala Tuhfah al-Muhtaj bisyarh al-Minhaj; Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 2007, Juz 12 hlm. 250-251.

[6] Syekh Sa’id bin Muhammad Ba’ishn, Busyra al-Karim, Dar al-Minhaj, Jeddah, 2008, hlm. 697.

[7] Imam Syamsu ad-Din Muhammad bin Ahmad ar-Ramli, Nihayat al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, Dar al-Fikr, Beirut, 2009, jilid 8, hlm. 152.

[8] Imam al-Khatib asy-Syirbini, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani al-Minhaj; Dar al-Ihya wa at-Turats, Beirut juz 6, hlm.163.

[9] Ibid.

[10] Ibid.

[11] Imam Syamsu ad-Din Muhammad bin Ahmad ar-Ramli, Nihayat al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, Dar al-Fikr, Beirut, 2009, jilid 8, hlm. 152.

[12] Ibid.

[13] Syekh Abdul Hamid asy-Syarwani dan Syekh Ahmad bin Qasim al-‘Abbadi, Hawasyi Syarwani wa Ibn Qasim al-‘Abbadi ‘ala Tuhfah al-Muhtaj bisyarh al-Minhaj; Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 2007, Juz 12 hlm. 252.

Exit mobile version