Idul Adha, Negara, Pandemi, dan Yatim Piatu
Oleh: Babay Parid Wazdi
Pada tahun ini, dua kali sudah kita merayakan Idul Adha dalam suasana pandemi. Idul Adha yang biasanya kita rayakan dengan gempita takbir di masjid dan lingkungan, dua tahun ini kita merayakannya dalam kekhidmatan dan kekhusyukan di rumah masing-masing. Kita merasakan daya keagungannya dalam keheningan dan kesunyian.
Tetapi, makna Idul Adha yang kita jalani tidak pernah berkurang. Justru semakin menebal dan menguat. Idul Adha adalah waktu di mana kita merayakan keteladanan keluarga Nabi Ibrahim sebagai seorang ayah, Siti Hajar sebagai seorang istri sekaligus ibu, dan Nabi Ismail sebagai seorang anak. Mereka bertiga meneladankan kepada kita tentang makna kemanusiaan, tentang makna keluarga yang sebenarnya. Keluarga yang berjuang menghadapi badai dan bisa berhasil membangun peradaban.
Nabi Ibrahim sendiri mulai mendapatkan putra ketika beliau sudah tidak lagi muda. Beliau berdoa agar diberi keturunan. Allah menjawabnya sebagaimana tercatat dalam al-Quran, “Maka Kami beri kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang sangat sabar (Ismail).” (QS. Ash-Shaffat, 101).
Begitu Siti Hajar melahirkan Nabi Ismail, mereka pindah ke sebuah daerah yang sangat gersang dan penuh gunung berbatu. Itulah cikal bekal kota Mekkah. Di Mekkah, Siti Hajar dan Nabi Ismail membangun kehidupan. Dibantu Nabi Ibrahim. Dengan tugas Nabi Ibrahim yang berat sebagai seorang nabi yang harus berdakwah ke berbagai daerah, kehadirannya di rumah sangat terbatas. Hanya berdua Siti Hajar dan Nabi Ismail membangun Mekkah sebagai daerah yang layak huni. Memperbaiki sumur Zamzam dan mencukupi berbagai kebutuhan dasar. Nabi Ibrahim datang untuk membantu mereka. Dalam salah satu kunjungan, Nabi Ibrahim mendapatkan wahyu lewat mimpi untuk mengorbankan anak tercintanya, Nabi Ismail. Agar Nabi Ismail disembelih untuk dijadikan korban. Maka mari kita simak dialog dalam Surah Ash-Shaffat ayat 102: “Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.”
Nabi Ibrahim memeluk putra tercintanya. Perintah dari Allah itu adalah ujian. Untuk melihat sejauh mana keimanan keluarga itu. Ketika akhirnya hendak dilaksanakan, Allah mengganti Nabi Ismail dengan seekor domba yang sangat gemuk. Nabi Ibrahim senang; keimanan mereka begitu suci dan tebal, dan putranya tetap bisa bersamanya. Bahkan, setelah agak dewasa mereka berdua membangun Ka’bah. Sejak itu, Mekkah menjadi sumber peradaban dan makin meluas di tangan keturunannya, Nabi Muhammad saw.
Nabi Muhammad mensyariatkan kurban Idul Adha pada tahun kedua hijriah. Sejak itu, setiap kali Idul Adha, takbir terus berkumandang ke berbagai penjuru dunia. Hingga sekarang kita meneladaninya. Tetapi pada masa pandemi ini apa yang bisa kita pelajari dan teladani dari kisah di atas?
Pertama, pendidikan keluarga menjadi faktor penting dalam pembangunan peradaban. Bila keluarga memiliki komitmen yang kuat untuk menerapkan keimanan dalam praktik, maka membangun peradaban hanya tinggal menunggu waktu. Sebagaimana Nabi Ibrahim menanamkan keimanan kepada keluarganya dan kemudian dilanjutkan keturunannya dan hingga menjadi peradaban Islam yang begitu agung.
Kedua, kolaborasi, saling membantu dan saling support. Kuncinya adalah saling mendukung. Nabi Ibrahim, Siti Hajar dan Nabi Ismail berkolaborasi membangun peradaban kota Mekkah. Pada masa pandemi kita memang mengalami banyak keterbatasan. Tetapi, upaya kolaborasi antara pemerintah dan warga terus terjalin. Misalnya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membuka Kolaborasi Sosial Berskala Besar untuk bersama-sama mengatasi pandemi ini. Warga terus bergotong royong membantu mereka yang membutuhkan. Ada dapur umum, ada pembagian sembako, dan lain sebagainya .
Ketiga, kehadiran negara. Mengapa demikian? Kondisi kita berbeda dengan era Nabi Ibrahim yang belum mengenal konsep kenegaraan modern. Indonesia merdeka berkat para pejuang kemerdekaan, demi mendirikan negara yang bisa memberikan perlindungan kepada warganya. Karena itu, melindungi segenap tumpah darah menjadi janji kemerdekaan yang tercantum dalam konstitusi kita.
Salah satu perlindungan negara saat ini adalah perlindungan terhadap anak-anak yang menjadi Yatim karena wabah covid-19. Bagaimana negara berperan dan memastikan keberlangsungan pendidikan bagi mereka. Bila para anak yatim piatu akibat pandemi ini tidak mendapatkan perhatian dari negara sejak sekarang, mereka akan kesulitan menentukan masa depan mereka. Untuk itu negara harus hadir untuk memberikan dan memastikan masa depan para anak yatim korban pandemi sebagai implementasi Pasal 34 ayat 1 UUD 45.
Di Jakarta, mereka ini segera bisa mendaftarkan diri sebagai penerima Kartu Jakarta Pintar Plus (untuk tingkat SD-SMA) dan Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul (KJMU) untuk mahasiswa. Untuk konteks Jakarta, ini bisa segera dilaksanakan karena semua data di Jakarta tertampung dalam satu data, sehingga bisa dengan mudah mengidentifikasi siapa saja warga Jakarta yang wafat pada masa pandemi ini. Ini tentu masih belum cukup, karena itu perlu ada program khusus dan terobosan baru secara nasional yang dirancang untuk menyelamatkan kondisi anak-anak yatim dari keterpurukan.
Program penjamin sosial ini penting untuk menyiapkan agar para anak yatim-piatu ini bersiap memasuki gerbang kesuksesan di masa depan. Bagaimana pun mereka adalah anak bangsa yang harus mendapatkan perhatian lebih. Apalagi dalam konstitusi kita dijabarkan bahwa negara ini hadir untuk melindungi fakir miskin yang tentu saja banyak anak yatim menjadi bagian dari fakir miskin.
Bila Nabi Ismail yang mendapatkan pendidikan dari Siti Hajar di rumahnya dan mendapatkan pelajaran dari ayahnya, Nabi Ibrahim, bisa menjelma sebagai tokoh besar; begitu pun anak-anak yatim-piatu ini kelak bisa ikut mengharumkan bangsa kita karena negara hadir berkolaborasi dengan masyarakat, hadir menyelamatkan masa depan mereka.
Inilah di antara refleksi dan makna yang bisa kita ambil pada Idul Adha kali ini.
Babay Parid Wazdi, Bankir Senior & Dewan Pembina MES DKI