Kapan Waktu Diperbolehkan Berkurban?

moderasi puasa

Foto Dok Ilustrasi

Kapan Waktu Diperbolehkan Berkurban?

Oleh: Arsyad Arifi

Syari’at Allah SWT datang dengan keteraturan dan memiliki cara tertentu. Karena hal itu merupakan bagian kesempurnaan syariat itu sendiri. Kurban termasuk dari syari’at Allah SWT yang sudah ada semenjak zaman Nabi Adam as yang saat ini dilegitimasi oleh syariat Nabi Muhammad SAW. Tentunya, kurban memiliki aturan dan tata cara khusus untuk menjalankannya. Termasuk waktu berkurban telah ditentukan didalamnya. Maka dari itu kapan waktu terbaik untuk berkurban?

Pada kajian ini akan dibagi menjadi dua pembahasan yaitu,

Waktu Berkurban

Pada umumnya kurban dilaksanakan pasca shalat ied al-adha beserta khutbahnya, maka dari itu Rasulullah SAW bersabda,

عن البراء بن عازب قال خطبنا رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم النحر بعد الصلاة فقال من صلى صلاتنا ونسك نسكنا فقد أصاب النسك ومن نسك قبل الصلاة فتلك شاة لحم  (رواه البخاري)

Artinya:

Dari al-Barra’ bin Azib ra berkata Rasulullah SAW berkhutbah pada hari nahr setelah shalat seraya bersabda,”Barangsiapa yang shalat seperti shalat kita ini dan berkurban seperti kurban kita ini maka telah menjalani jalan yang benar, dan barangsiapa yang berkurban sebelum shalat kita maka kambing yang disembelih itu hanyalah sebatas daging” (HR. Bukhari)

{ أول ما نبدأ به في يومنا هذا نصلي ، ثم نرجع فننحر فمن فعل ذلك فقد أصاب سنتنا ، ومن ذبح قبل ذلك ، فإنما هو لحم قدمه لأهله ليس من النسك في شيء }  متفق عليه

Artinya :

Awal mula yang kita lakukan pada hari (nahr) ini adalah dengan shalat lalu kembali dan meyembelih kurban barangsiapa yang melakukan itu telah menjalani jalan yang benar, dan barangsiapa yang berkurban sebelum itu, maka yang disembelih hanyalah sebatas daging yang ia persembahkan kepada keluarganya saja, dan tiada hubungannya dengan kurban sama sekali.”(HR. Bukhari-Muslim)

Hal ini sesuai dengan keputusan Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang tertuang dalam ‘Pengembangan HPT (II) : Tuntunan Idain dan Qurban,

“Waktu yang ditetapkan untuk pelaksanaan penyembelihan hewan Qurban adalah sejak selesai shalat Idul Adha tanggal 10 Dzulhijjah sampai terbenam matahari pada tanggal 13 Dzulhijjah”[1]

Akan tetapi dikarenakan hukum shalat ied menurut mayoritas ulama hukumnya sunnah maka muncul pertanyaan baru, kapan waktu berkurban bagi orang yang tidak melaksanakan shalat ied?

Maka dari itu para ulama beristinbath dari hadis diatas untuk menggali intisari maksud dalam hadis tersebut. Pada akhirnya para ulama berkesimpulan bahwasannya waktu dikatakan sah berkurban bagi orang yang tidak melaksanakan shalat ied adalah ketika masuk waktu diperbolehkannya shalat ied ditambah jeda waktu kira-kira orang dapat melaksanakan shalat dua rakaat berikut khutbah yang ringan atau tidak panjang. Hal ini dikatakan oleh Imam Nawawi dalam Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab,

(ويدخل وقتها إذا مضى بعد دخول وقت صلاة الاضحى قدر ركعتين وخطبتين)[2]

Artinya :

“Adapun waktu diperbolehkan berkurban ketika masuk waktu diperbolehkannya shalat ied ditambah jeda waktu kira-kira orang dapat melaksanakan shalat dua rakaat berikut khutbah yang ringan atau tidak panjang.”

Adapun waktu dimulainya shalat iedul adha adalah ketika terbitnya matahari pada hari nahr atau tanggal 10 Dzulhijjah ditambah jeda waktu sekiranya bisa dilaksanakan dalam waktu tersebut shalat dua rakaat dan khutbah yang ringan. Imam Ibnu al-Qassim al-Ghuzzy berkata,

(و) يدخل (وقت الذبح) للأضحية (من وقت صلاة العيد) أي عيد النحر. وعبارة الروضة وأصلها «يدخل وقت التضحية إذا طلعت الشمس يوم النحر، ومضى قدر ركعتين وخطبتين خفيفتين». انتهى[3]

Artinya :

“Adapun waktu diperbolehkan berkurban ketika masuk waktu diperbolehkannya shalat ied yaitu ied nahr (adha). Adapun perkataan di kitab Raudhah, Adapun waktu diperbolehkan berkurban ketika terbitnya matahari pada hari nahr atau tanggal 10 Dzulhijjah ditambah jeda waktu sekiranya bisa dilaksanakan dalam waktu tersebut shalat dua rakaat dan khutbah yang ringan.

Setelah masuk awal waktu diatas, maka diperbolehkan untuk menyembelih kurban hingga terbenamnya matahari pada hari tasyrik terakahir yaitu tanggal 13 Dzulhijjah. Imam Khatib asy-Syirbini berkata dalam ‘Mughni al-Muhtaj’:

( ويبقى ) وقت التضحية ( حتى تغرب ) الشمس ( آخر ) أيام ( التشريق ) وهي ثلاثة عند الشافعي رحمه الله بعد العاشر[4]

Artinya :

“Dan berlanjut waktu kebolehan menyembelihnya hingga terbenam matahari hari taysriq terakhir. Menurut Imam Syafii hari tasyriq itu tiga hari setelah tanggal sepuluh (Dzulhijjah).”

Muhammadiyah juga merajihkan pendapat Imam Syafi’I yang mengatakan bahwasannya hari tasyrik itu tiga hari seperti yang tertuang dalam Pengembangan HPT diatas. Penyembelihan hingga hari tasyriq terakhir ini berdasarkan hadis Rasulullah SAW,

{ عرفة كلها موقف وأيام التشريق كلها منحر } رواه البيهقي وصححه ابن حبان ، وفي رواية لابن حبان { في كل أيام التشريق ذبح }

Artinya

“Hari arafah pada semua waktunya adalah waktu untuk wuquf dan hari tasyrik semua waktunya adalah waktu untuk berkurban.” (HR. al-Baihaqi dan dishahihkan Ibnu Hibban) Pada riwayat Ibnu Hibban beliau bersabda, ”Di Semua hari tasyrik diperbolehkan untuk menyembelih kurban”

Konsekuensi berkurban berdasarkan waktunya

Berkurban dalam jangka waktu di atas

Adapun konsekuensi jika menyembelih kurban pada waktunya, maka kurban tersebut dinyatakan sah sebagai penyembelihan kurban dan mendapat fadhilah berkurban. Hal ini dijelaskan oleh Rasulllah SAW pada hadis riwayat Bukhari-Muslim diatas.

Berkurban sebelum masuk waktunya

Adapun konsekuensi jika menyembelih kurban sebelum waktunya, maka kurban tersebut dinyatakan tidak sah sebagai penyembelihan kurban, akan tetapi dihitung seperti sedekah sunnah saja. Hal ini berdasarkan hadis riwayat Bukhari-Muslim diatas. Imam Ibnu Hajar al-Haitami menegaskan hal ini dalam ‘Tuhfah’,

فإن ذبح قبل ذلك لم يجزئ وكان تطوعا كما في الخبر المتفق عليه[5]

Artinya

“Jika menyembelih sebelum waktu tersebut maka tidak sah kurbannnya dan dianggap sedekah tathawwu’ atau sunnah sahaja seperti yang termaktub dalam hadis Bukhari-Muslim.”

Berkurban sesudah lewat waktunya

Adapun konsekuensi jika menyembelih kurban sesudah lewat waktunya, maka ada dua kemungkinan :

Maka tidak sah kurban setelahnya dan hilanglah kesempatan untuk berkurban pada tahun tersebut.

Maka wajib baginya untuk tetap menyembelih karena telah bernadzar dan dihitung qadha kurban.

Hal ini dikatakan oleh Imam Nawawi dalam Majmu’,

قال أصحابنا فان ضحى قبل الوقت لم تصح التضحية بلا خلاف بل تكون شاة لحم فأما إذا لم يضح حتى فات الوقت فان كان تطوعا لم يضح بل قد فاتت التضحية هذه السنة فان ضحى في السنة الثانية في الوقت وقع عن السنة الثانية لا عن الاولى وان كان منذورا لزمه أن يضحى لما ذكره المصنف والله أعلم[6]

Artinya :

“Para Ashab kita (Syafiiyah) berkata jika menyembelih sebelum waktu tersebut maka tidak sah kurbannya tanpa khilaf akan tetapi kambing hanya dihitung sebagai menyembelih untuk mendapat daging biasa. Adapun jika tidak menyembelih hingga terlewat waktunya, jika kurban tersebut sunnah maka tidak sah menyembelih setelahnya dan hilang kesempatan untuk berkurban tahun tersebut. Bahkan jika menyembelih pada tahun kedua pada waktu diperbolehkan berkurban tetap dihitung kurban pada tahun kedua bukan menutup kekurangan kurban tahun lalu. Jika kurban tersebut kurban nadzar maka wajib baginya untuk menyembelih kurban walaupun telah lewat waktunya dan dihitung sebagai qadha’”   

Setelah kita mengetahui kapan diperbolehkannya berkurban maka mari kita bersama-sama menyiapkan hewan kurban dan bertekad untuk berkurban tepat waktu sesuai yang telah digariskan oleh Rasulullah SAW dan dijelaskan oleh para pewarisnya. Wallahua’lambishawab.

Arsyad Arifi, Ketua PCIM Yaman

[1] Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pengembangan HPT (II) : Tuntunan Idain dan Qurban, t.t., hlm. 23.

[2] Imam Muhyiddin Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, t.t., jilid 8, hlmn. 357.

[3] Imam asy-Syekh Ibrahim Baijuri, Hasyiyah asy-Syekh Ibrahim al-Baijuri ‘ala Syar hal-‘Allamah ibn al-Qasim al-Ghuzzy ‘ala Matn asy-Syekh Abi Syuja’; Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, 2002. Juz 2, hlm. 562-563..

[4] Imam al-Khatib asy-Syirbini, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani al-Minhaj; Dar al-Ihya wa at-Turats, Beirut, juz 6, hlm. 169-170.

[5] Syekh Abdul Hamid asy-Syarwani dan Syekh Ahmad bin Qasim al-‘Abbadi, Hawasyi Syarwani wa Ibn Qasim al-‘Abbadi ‘ala Tuhfah al-Muhtaj bisyarh al-Minhaj; Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 2012, Juz 12 hlm. 264.

[6] Imam Muhyiddin Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, t.t., jilid 8, hlmn. 358.

Exit mobile version