Butuh Ventilator, Bukan Dicovidkan

Sejak pandemi ini muncul tahun lalu, banyak sekali persepsi dan kontroversi yang muncul terkait pengananan pasien Covid-19 di RS dan penanganan pandemi di masyarakat.

Ventilator

Foto Dok Istimewa

Butuh Ventilator, Bukan Dicovidkan

Oleh: Dr dr H Hisbullah Amin, SpAn

Foto ini adalah monitor dari salah satu pasien saya di ICU. Buat Bapak/Ibu yang non medis saya jelaskan: yang angka 136 itu adalah denyut jantungnya. Nilai normal denyut jantung adalah antara 60-80 x/menit maksimal 100 kali/menit.

Jika lebih dari 100 disebut takikradi artinya pasien ini mengalami takikradi. Yang angka 40 itu adalah laju napas. Nilai normal laju napas orang dewasa adalah berkisar 12-20 x/menit.

Maksimal yang bisa ditoleransi adalah 35 x/menit dan jika lebih dari itu otot napas pasien jadi lelah dan lama-lama gagal napas. Yang angka 63 itu adalah saturasi oksigen. Nilai normalnya adalah antara 95-100 %.

Jika yang baca status ini diukur saturasinya maka akan tertera 95 sampai 100 %, itu tanpa bantuan oksigen loh. Jika ternyata saturasi anda dibawah 90 % maka cepat-cepat pergi ke RS barangkali anda perlu dirawat.

Nah pada pasien ini suda menggunakan oksigen masker berkantong dengan flow 15 ltr/menit. Artinya dengan pemberian oksigen dengan kadar 100 % pun saturasinya masih jauh dibawah normal. Maka bisa dipastikan pasien ini mengalami kekurangan oksigen di dalam darahnya atau yang di dunia kedokteran lazim disebut dengan hipoksia dan diagnosis klinisnya adalah gagal napas tipe 1 atau gagal napas kausa hipoksia.

Apa penyakit dasar pasien ini?

Dua hari lalu pasien laki-laki usia 48 tahun masuk ke IGD dengan keluhan sesak dan bicara mulai ngaco.

Setelah di tanyakan riwayat penyakit atau lazim kami sebut anamnesis: dua hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh demam dan batuk-batuk.

Rupanya pasien ini baru datang dari jakarta menghadiri acara pernikahan keluarganya. Istri dan anaknya ikut demam. Saat ini istri dirawat di ruang perawatan biasa karena hanya mengeluh demam dan batuk sementara anaknya cukup isolasi mandiri di rumah.

Pada pemeriksaan fisis di UGD Tensi:100/70, denyut nadi 125x/menit, pernapasan 35x/menit dan suhu 38.9. Terdengar suara napas tambahan berupa ronchi yang diffus seluruh paru.

Dilakukan pemeriksaan foto thoraks hasilnya: pneumoni bilateral. Dilakukan CT-Scan thoraks juga menunjukkan lesi yang sangat luas.

Hasil pemeriksaan Swab antigen hasilnya reaktif.
Hasil Swab PCR hasil satu hari kemudian menunjukkan Positif Covid-19.

Dilakukan pemeriksaan analisa gas darah hasilnya: ph: 7.46, PCO2:30, PaO2: 46, HCO3:20, Sa02:79%.
Diagnosis saat ini di ICU adalah: Gagal napas tipe 1 (Hipoksemia) + Peneumoni bilateral + Terkonfirmasi positif Covid-19.

Diagnosis bisa bertambah jika misalnya sdh diperiksa gula darah, kimia darah, koagulasi, pemeriksaan jantung dll. Diagnosis lainnya tergantung comorbid pada pasien dan terapi akan disesuaikan dengan diagnosis yang ada.

Rencana tindakan selanjutnya adalah intubasi dan pasang ventilator jika keluarga setuju.

Pasien dirawat di ICU Isolasi.

Apa yang ingin saya jelaskan di status ini ? banyak …. banyak sekali …. terkait alur pemeriksaan pasien sampai dinyatakan positif covid-19, terkait pilihan terapi yang rasional yang sesuai guide line, terkait keterbatasan ICU, terkait persetujuan pasien dan persepsi masyarakat …. dll dllsbg.

Sejak pandemi ini muncul tahun lalu, banyak sekali persepsi dan kontroversi yang muncul terkait pengananan pasien Covid-19 di RS dan penanganan pandemi di masyarakat.

Banyak sekali istilah yang muncul seperti “pasien sengaja dikopitkan”, “bisnis dibalik pandemi”, “covid tidak berbahaya”, “tidak ada covid” bahkan belakangan ada dokter yang menyatakan virus covid-19 itu tidak ada, penyebab kematian pasien yang terdiagnosis covid di RS bukan karena virus covid tapi karena interaksi obat.

Tentunya saya tidak akan menjawab segala macam stetement itu disamping terlalu panjang dan sudah banyak dibahas oleh pakarnya.

Yang perlu saya jelaskan terkait pasien saya ini adalah:

1. Untuk sampai ke diagnosis saya tadi, telah melalui prosedur diagnostik yang berjenjang, runut dan sistematis

Tidak ada orang yang datang lalu ujug-ujug divonis covid. yang melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis adalah satu dokter, lalu dikonsul ke ahli radiologi, jawabnya Peneumoni, dikonsul ke lab dinyatakan reaktif dan dikirim swab ke luar RS di lab khusus: jawabnya positif.

Jadi bisa saya jelaskan paling sedikit ada 5 dokter yang terlibat yaitu dr umum di UGD, dr. Spesialis Paru, spesialis radiologi, spesialis patologi klinik di RS dan spesialis PK lainnya di lab PCR dan terakhir spesialis anestesi seperti saya jika di rawat di ICU.

Bisa nambah spesialis lain jika ada penyakit lain atau komorbid. Apakah 5 orang dokter ini bisa kompak ngarang? tidak mungkin lah. Mereka akan menyatakan apa adanya sesuai dengan keilmuannya.

2. Karena pasien jelas gagal napas maka tidak ada pilihan lain kecuali pasang ventilator

Pada titik ini perlu persetujuan keluarga karena ini tindakan medik yang penuh resiko.

Umumnya pasien menolak termasuk keluarganya. Banyak sekali pertimbangan tanya sana sini akhirnya pasien mengalami perburukan. Mereka minta dioptimalkan aja dulu sambil menunggu sapa tahu ada keajaiban.

Ada anggapan kalau diventilator kebanyakan pasien mati, bahkan ada orang yang terang-terangan bilang di medsos bahwa pasien mati justru karena ventilatornya.

Dalam kondisi seperti ini saya berani bilang kalau dibiarkan tanpa ventilator 100 % pasien akan meninggal tapi kalau diventilator peluangnya tidak nol persen untuk hidup.

Keluarga pasien selalu bertanya apakah jika diventilator pasien akan membaik? apakah dia akan sembuh ?

Duh bapak ibu pasti tidak dokter yang bisa menjamin apalagi dengan kondisi yang buruk seperti itu. Kalau tidak ditindaki artinya kita pasrah dan membiarkan dia mati tapi kalau kita tindaki ada harapan meskipun sangat kecil.

Keputusan untuk segera memasang ventilator pada pasien seperti ini akan menentukan prognosis. Pasien-pasien yang akhirnya meninggal mungkin karena sdh gagal organ sdh sangat telambat atau paru-parunya memang sudah rusak.

Jika pasien kayak gini meninggal biasanya ditulis meninggal disebabkan gagal napas ec. Covid-19. Gambaran lengkap atau patofiologinya: virus covid-19 menyerang paru sehingga oksigen sulit melintasi paru. Akibatnya kadar oksigen di daerah sangat rendah. Oksigen yang sangat minim ini pun bisa terhambat hantarannya ke jaringan bila darah mengental atau ada kerusakan di pembuluh darah.

Oksigen adalah sumber kehidupan jadi jika kekurangan oksigen lama-lama organ akan mati. Jadi cukup sederhana untuk menjelaskan bahwa virus covid menyebabkan kematian.

3. Dimana-mana ventilator sangat terbatas khususnya di ICU isolasi

Untung masih ada 1 ventilator yang sisa untuk pasien ini. Sementara ada 2 pasien yang kini pake Hight Flow nasal canul yang harus stand by ventilator setiap saat bisa pasang ventilator.

Saat menulis status ini saya pusing bagaimana kalau ada pasien baru di UGD yang tiba-tiba datang dgn kondisi gagal napas seperti ini?. Dimana diambilkan ventilator?. Sebagai tambahan informasi bahwa di dua RS lainnya tempat saya praktek di ICU Isolasinya sudah penuh, bahkan sudah memakai ekstra bed.

Saat persiapan intubasi barusan saya di telpon oleh keluarga bahwa ada orang tuanya di UGD yang harus intubasi tapi bed ICU Isolasi penuh dan ventilator sdh terpakai semua. Suatu ironi buat saya keluarga sendiri tidak bisa di tolong padahal di RS tempat kerja.

4. Sudah lebih setahun saya bergelut dengan pasien seperti ini

Sdh tidak terhitung pasien positif yang pernah ku intubasi. Jangan tanya yah seperti apa prosedur intubasi itu, bagaimana proses menyedot lendirnya belum lagi kalau akhirnya pasien di pijat jantung.

Saya tidak tahu sampai kapan saya bisa bertahan. Sulit rasanya untuk selalu menjaga diri dari kemungkinan terinfeksi dan bernasib sama dengan pasien ini saat mana pekerjaan saya menuntut jarak wajah saya dengan mulut paeien yang terbuka lebar hanya sejengkal bahkan wajah bisa sampai hampir menyentuh bibir pasien.

Ini bukan keluhan, curhat atau rencana mengibarkan bendera putih tapi harapan kpd kita semua bahwa pencegahan penularan, pemutusan mata rantai penularan harus senantiasa di upayakan. Jaga imun, jaga kesehatan dan lakukan imunisasi.

Saat ini semua sdh serba terbatas, sarana terbatas, tenaga terbatas, alkes dan obat serba mahal dan mulai langka sementara kasus yang berat seperti ini terus meningkat.

5. Kita berdoa bersama semoga kita semua sehat, tidak terinfeksi bisa melewati pandemi ini dengan selamat, Aamiin.

Dr dr H Hisbullah Amin, SpAn, Spesialis Anestesi, Konsultan ICU, Ketua Majelis Pembina Kesehatan dan PKU Muhammadiyah Sulawesi Selatan

Exit mobile version