Kapan Waktu Terbaik Berkurban?

Nabi Muhammad keislaman

Foto Dok Ilustrasi

Kapan Waktu Terbaik Berkurban?

Oleh: Arsyad Arifi

Kurban merupakan ibadah mahdhah yang telah diatur detailnya dalam syari’at Islam. Mulai dari orang yang disunnahkan, jenis hewan, cara penyembelihannya dan masih banyak lagi. Salah satu yang diatur dalam kurban ini adalah waktu penyembelihan kurban. Adapun waktu menyembelih kurban berbeda-beda sesuai dengan keutamaan waktu tersebut para ulama membaginya menjadi tiga bagian,

Waktu Jawaz

Yaitu apabila kita menyembelih kurban di waktu tersebut, maka kurban kita sah. Waktu tersebut adalah yang diterangkan oleh Imam Ibnu al-Qassim diatas,

«يدخل وقت التضحية إذا طلعت الشمس يوم النحر، ومضى قدر ركعتين وخطبتين خفيفتين». انتهى[1]

Artinya :

Adapun waktu diperbolehkan berkurban ketika terbitnya matahari pada hari nahr atau tanggal 10 Dzulhijjah ditambah jeda waktu sekiranya bisa dilaksanakan dalam waktu tersebut shalat dua rakaat dan khutbah yang ringan.

Waktu Fadhilah

Yaitu apabila kita menyembelih  kurban di waktu tersebut maka kurban kita sah dan mendapat keutamaan yang lebih. Waktunya adalah ketika meningginya matahari setinggi tombak setelah terbit ditambah jeda waktu sekiranya bisa dilaksanakan dalam waktu tersebut shalat dua rakaat dan khutbah yang ringan. Hal ini dikatakan oleh Imam Nawawi dalam Minhaj,

ويدخل وقتها إذا ارتفعت الشمس كرمح يوم النحر ثم مضى قدر ركعتين وخطبتين خفيفتين ويبقى حتى تغرب آخر التشريق .قلت : ارتفاع الشمس فضيلة ، والشرط طلوعها ثم مضي قدر الركعتين والخطبتين ، والله أعلم .

Artinya :

Adapun waktu diperbolehkan berkurban ketika meningginya matahari setelah terbitnya setinggi tombak pada hari nahr atau tanggal 10 Dzulhijjah ditambah jeda waktu sekiranya bisa dilaksanakan dalam waktu tersebut shalat dua rakaat dan khutbah yang ringan. “Dan berlanjut waktu kebolehan menyembelihnya hingga terbenam matahari hari taysriq terakhir. Aku (Imam Nawawi) berkata,meningginya matahari adalah waktu fadhilah adapun waktu yang disyaratkan untuk sahnya kurban didalamnya adalah ketika terbitnya matahari ditambah jeda waktu sekiranya bisa dilaksanakan dalam waktu tersebut shalat dua rakaat dan khutbah yang ringan. wallahua’lam.

Adapun yang dimaksud setinggi tombak dijelaskan oleh Seyyeidi Syekh al-‘Allamah Muhammad bin Ali Ba’athiyyah dalam kitabnya ‘Ghayat al-Muna’ yaitu setinggi tujuh hasta[2]. Sedangkan satu hasta menurut hitungan modern adalah 48 cm. Jadi Total tinggi tombak sekitar 336 cm.[3] Syekh Hasan al-Kaff dalam kitabnya ‘Taqrirat Sadidah’ mengatakan bahwasannya jangka waktu dari matahari terbit hingga setinggi tombak addalah sekitar 16 menit.[4] Karena kadar tinggi tombak adalah empat derajat sedangkan satu derajatnya adalah empat menit.

Imam Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan tolak ukur fadhilah disini disebabkan karena menghindari khilaf[5]. Karena Imam al-Ghazali dalam al-Wajiz mengatakan bahwasannya masuknya waktu diperbolehkannya berkurban adalah dimulai saat selesainya waktu dimakruhkan shalat setelah terbit matahari ditambah jeda waktu sekiranya biasa dilaksanakan dalam waktu tersebut shalat dua rakaat dan khutbah yang ringan. Atau dalam kata lain dimulainya waktunya ketika matahari sudah meninggi setinggi tombak (336 cm) karena waktu dimakruhkan shalat (sunnah tanpa sebab atau memiliki sebab yang mutaakhir) adalah dari terbitnya matahari sampai meningginya matahari setinggi tombak.[6] Imam Ghazali berkata,

وَأَوَّلُ الوَقْتِ بِانقِضَاءِ وَقْتِ الكَرَاهَةِ بَعْدَ طُلُوعِ الشَّمْسِ يَوْمَ العِيدِ بَعْدَ مِقْدَارِ خُطْبَتَيْنِ وَرَكعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ

Artinya :

“Awal masuknya waktu diperbolehkannya berkurban adalah dimulai saat selesainya waktu dimakruhkan shalat setelah terbit matahari ditambah jeda waktu sekiranya biasa dilaksanakan dalam waktu tersebut shalat dua rakaat dan khutbah yang ringan”

Pendapat Imam Ghazali ini bukanlah pendapat yang paling benar, akan tetapi demi sahnya berkurban dari semua pihak maka disunnahkan untuk mengikuti pendapatnya, yaitu mengakhirkannya sampai waktu tersebut untuk menghindari khilaf. Karena menghindari khilaf adalah sunnah.

Waktu Karahah

Adalah waktu dimakruhkan kita untuk menyembelih kurban di waktu tersebut. Yaitu ketika malam hari tanpa ada hajat atau udzur tertentu yang menghalanginya untuk berkurban di waktu siang. Hal ini karena hadis :

عن ابن عباس أنه -صلى الله عليه وسلم- نهى عن الذَّبْحِ لَيْلا  أخرجه الطبراني [11458]

Artinya:

“Dari Sy. Abdullah bin Abbas ra. bahwasannya Nabi SAW melarang untuk menyembelih di malam hari” (HR. Thabrani)

Adapun hikmah dimakruhkan menyembelih di malam hari telah disebutkan oleh Imam Syafi’I dalam kitabnya al-Umm:

وإنما كرهنا أن يضحى بالليل على نحو ما كرهنا من الحداد بالليل لان الليل سكن والنهار ينتشر فيه لطلب المعاش فأحببنا ان يحضر من يحتاج إلى لحوم الضحايا لان ذلك أجزل عن المتصدق . . . . . .مع أن الذى يلى الضحايا يليها بالنهار أخف عليه وأحرى أن لا يصيب نفسه بأذى ولا يفسد من الضحية شيئا[7]

Artinya :

“Adapun alasan kita makruhkan menyembelih kurban di malam hari seperti alasan kita memakruhkan menempa besi di malam hari karena malam itu waktunya untuk beristirahat dan siang orang-orang bersibuk diri untuk mencari rezeki demi memenuhi kebutuhan hidup. Maka dari itu kami menyukai untuk orang yang membutuhkan daging itu untuk hadir karena hal itu lebih mudah untuk orang yang ingin bersedekah. Juga karena orang-orang yang mengurusi kurban dapat bekerja mengurusinya di waktu siang hari yang mana hal itu lebih ringan untuk mereka, serta lebih aman dari resiko kecelakaan dan tidak merusak suatu hal dari hewan kurban.”

Adapun jika memiliki udzur seperti kesibukan kerja di siang hari atau orang-orang hanya bisa berkumpul di malam hari seperti yang ada di berbagai daerah maka hilanglah kemakruhan menyembelih kurban di malam hari karena hajat tersebut. Syekh Abdul Hamid asy-Syarwani mengatakan,

( قوله : إلا لحاجة ) كاشتغاله نهارا بما يمنعه من التضحية أو مصلحة كتيسر الفقراء ليلا أو سهولة حضورهم ا هـ .[8]

Artinya :

“Adapun maksud perkataan Ibnu Hajar kecuali dengan hajat, adalah seperti kesibukannya di siang hari yang membuatnya tidak bisa berkurban di siang hari atau karena ada maslahat seperti memudahkan orang-orang fakir di malam hari atau mengumpulkan mereka di malam hari lebih mudah.”

Setelah mengetahui waktu kurban dan pembagiannya berdasarkan keuatamaannya. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwasannya waktu terbaik untuk kurban adalah waktu fadhilah seperti yang telah dijelaskan diatas. Maka dari itu marilah kita semua berkurban di waktu terbaik, dengan hewan terbaik dan dipersembahkan kepada yang maha baik. Wallahua’lambishawab.

Arsyad Arifi, Ketua PCIM Yaman

[1] Imam asy-Syekh Ibrahim Baijuri, Hasyiyah asy-Syekh Ibrahim al-Baijuri ‘ala Syar hal-‘Allamah ibn al-Qasim al-Ghuzzy ‘ala Matn asy-Syekh Abi Syuja’; Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, 2002. Juz 2, hlm. 562-563..

[2] Beliau berkata dalam Ghayat al-Muna,

(قدر رمح) أي برأي العين وهو سبع أذرع بذراع الآدمي تقريبا

Artinya : “Adapun yang dimaksud seukuran tombak adalah dengan penglihatan mata sahaja (bukan secara hakiki) yaitu sepanjang kurang lebih tujuh hasta manusia”. Lihat  Seyyidi Syekh Muhammad bin Ali bin Muhammad Ba’athiyyah, Ghayat al-Muna bisyarhi Safinat an-Naja’, Dar al-Fath 365.

[3] Beliau berkata dalam Ghayat al-Muna,

والذراع شبران من معتدل الخلقة ومقداره بالمقاييس الحديثة ثمانية وأربعون سنتيمترا

Artinya : “Adapun satu hasta itu seukuran dua jengkal stardar orang normal, sedangkan panjangnya dengan ukuran modern adalah 48cm.” Lihat Ibid. hlm. 163.

[4] Syekh Hasan bin Ahmad bin Muhammad al-Kaff, Taqrirat Sadidah fi al-Masail al-Mufidah, Dar al-Mirats an-Nabawi, Tarim, t.t., hlm. 192.

[5] Berkaitan dengan shalat Idul Fitri Imam Ibnu Hajar berkata dalam Tuhfah,

المعتمد ندب تأخير ذلك حتى ترتفع كرمح خروجا من الخلاف

Artinya :

“Adapun menurut pendapat yang paling benar disunnahkan untuk mengakhirkan shalat ied hingga matahari meninggi setinggi tombak untuk menghindari khilaf.” Lihat Syekh Abdul Hamid asy-Syarwani dan Syekh Ahmad bin Qasim al-‘Abbadi, Hawasyi Syarwani wa Ibn Qasim al-‘Abbadi ‘ala Tuhfah al-Muhtaj bisyarh al-Minhaj; Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 2007, Juz 12 hlm. 256-257.

[6] Al-Imam Abu al-Qasim Abdu al-Karim bin Muhammad bin Abdu al-Karim ar-Rafi’I, al-‘Aziz Syarh al-Wajiz, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1997, jilid 12, hlm. 73.

[7] Al-Imam Abi Abdillah Muhammad bin Idris asy-Syafi’I, al-Umm, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 2009, jilid. 2, hlmn. 346.

[8] Syekh Abdul Hamid asy-Syarwani dan Syekh Ahmad bin Qasim al-‘Abbadi, Hawasyi Syarwani wa Ibn Qasim al-‘Abbadi ‘ala Tuhfah al-Muhtaj bisyarh al-Minhaj; Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 2007, Juz 12 hlm. 256-257.

Exit mobile version