Milad ke-112, Mencukupkan Muhammadiyah sebagai Tempat Berlabuh
Oleh: Akhmad Faozan
Milad ke-112 tahun hijriyah terhitung dari 8 Dzulhijjah 1330H – 8 Dzulhijjah 1442H adalah momentum untuk bersyukur atas nikmat dan karunia Allah Swt. yang telah memberikan jalan mudah dari yang terjal. Mudah mendapatkan jalan untuk membesarkan Amal Usaha yang semakin hari semakin besar. Allah menampakkan jalan kemudahan untuk melangkah mesyiarkan kebaikan Islam lewat Muhammadiyah. Ini semua karena ke-tsiqah-an dan kemantapan dalam ber-din lewat Muhammadiyah.
Apakah mulus begitu saja sampai terlihat dengan penampakan Amal Usaha sedemikian besar aset yang dimiliki Muhammadiyah? Tentu jawabannya, tidak. Muhammadiyah hari ini menghadapi tantangan yang sangat luar biasa besarnya. Dari luar (eksternal) Muhammadiyah sudah sangat jelas terpaan fitnah, anggapan dan pandangan negatif yang ditujukan kepada Muhammadiyah maupun dari dalam (internal) sendiri.
Adanya “ketidaknyamanan” dari kelompok komunitas dengan adanya gerakan berupa makin masifnya pertumbuhan Muhammadiyah berupa aset bergerak maupun yang tidak bergerak. Jutaan hektar tanah wakaf legal bernama Persyarikatan Muhammadiyah dan dengan nilai aset trilyunan rupiah seakan banyak yang melirik Muhammadiyah. Mereka sah-sah saja mempertanyakan jumlah aset Muhammadiyah, tetapi kalau sudah mengobok-obok bahkan mengintervensi sampai ke dalam barangkali hal ini bernilai sangat tendensius dan kurang etis.
Demikian jelasnya permintaan audit dan pertanggungjawaban kepada masyarakat atau mengatasnamakan pemerintah berupa dana bantuan masyarakat bagi warga Palestina baru-baru saja, menandakan akan adanya kelompok yang “kurang percaya” terhadap akuntabilitas Muhammadiyah. Inilah salah satu contoh jalan terjal dan tantangan Muhammadiyah hari ini dan bisa jadi hari-hari yang akan datang akan menemui hal-hal demikian. Inilah tantangan dari luar Muhammadiyah.
Demikian juga di tengah-tengah pandemi wabah Covid-19 yang belum berkesudahan sampai saat ini menjadikan Muhammadiyah seakan semakin menampakkan keberadaannya dengan sikap moderat dalam bersikap seiring dengan usia yang makin dewasa. Sikap moderat dalam menghadapi wabah ini dengan “mendahulukan maslahat yang jauh lebih besar dengan menyedikitkan madharat”.
Semua langkah yang diambilnya mengedepankan kearifan, science dan melandaskan pada transendensi secara benar. Menempatkan Tauhid uluhiyah dan rububiyah Tuhan Allah dengan proporsi yang sebenarnya. Bukan kekiri-kirian dengan kebablasan (liberal) maupun terlalu kanan (ekstrim) kanan yang dapat mengarahkan kepada mindset neo Jabariyah yang dilarang dalam ilmu kalam. Dalam hal ini wabah pandemi yang belum ada tanda berakhirnya sampai saat ini seharusnya menjadi momentum untuk memantabkan iman sesuai pada tempat dan proporsinya. Sebagaimana arahan dari pimpinan struktur di Muhammadiyah.
Sementara di tingkat paling bawah cabang dan ranting ternyata pengikut Muhammadiyah sangat beragam warma dengan kekentalan dalam bersikap dan melangkah menghadapi pandemi, apalagi dengan kebijakan pemerintah yang seakan memukul rata kepada semua kalangan. Pastinya masyarakat bawah merasakan dampak psikologis yang sangat luar biasa terbebaninya.
Warna dan kekentalan sikap jamaah dalam memahami dan mensikapi petunjuk maupun arahan dari para pimpinan Muhammadiyah sebagian besar mereka seakan hanya menyandarkan pada keimanan dengan balutan rasa istiqamah. Walaupun ada kesan yang ditangkap berupa “pembangkangan” terhadap petunjuk seakan loyalitas warga sedang terjadi “erosi” di tengah-tengah pandemi. Namun di sisi lain mereka pun masih sangat arif dan bijaksana dengan mempertimbangkan keselamatan nyawa yang jauh lebih menjadi prioritas.
Posisi inilah yang seharusnya menjadikan semuanya harus mendudukkan persoalan pandemi bukan sekedar memasrahkan totalitas kepada Sang Pencipta, tapi juga berpendekatan kepada kemaslahatan dan keselamatan warga.
Nah inilah sikap yang seharusnya diambil oleh pimpinan dan warga Muhammadiyah yang harus mengeluarkan ketentuan dan petunjuk terkait wabah pandemi dan warga dapat melaksanakan dengan bijaksana sesuai situasi dan kondisi. Para pimpinan di tingkatan struktur pusat sampai daerah perlu bersikap dewasa dan bijaksana bila jamaah di akar rumput ada yang bersikap sedikit berbeda terhadap petunjuk dan arahan. Para jamaah di tingkatan paling bawah seakan memberikan “jaminan” akan tetap berkhidmat pada Muhammadiyah.
Hal ini memberikan gambaran jelas terhadap jamaah di tingkatan bawah. Prinsip yang diambil oleh Muhammadiyah sudah sangat gamblang. Muhammadiyah hendak memberikan keyakinan kepada seluruh jamaahnya agar tidak bimbang. Tidaksejalannya ketentuan yang telah dikeluarkan oleh struktur pimpinan tidak menjadikan keterjedaan komunikasi antara struktur pimpinan dengan jamaahnya. Pimpinan sangat memahami psikologi masyarakat akar rumput, demikian juga sikap yang diperlihatkan jamaah masjid dan musholla Muhammadiyah pun sama spikologisnya. Para jamaah akar rumput merasa sudah cukup bersandar di pelabuhan Muhammadiyah saja dalam memantapkan keyakinan dalam meraih keridhoan Allah Swt.
Ini pula menjadi penampakan yang ditampilkan oleh komunitas moderat jamaah muhammadiyah. Mereka merasa makin kuat (tsiqoh) terhadap keikutsertaannya dalam pergerakan Muhammadiyah. Walaupun belum seirama dan sambutan hangat belum dinampakkan antara pimpinan dan jamaah. Sekali lagi bahasa komunikasi yang dibangun oleh jamaah adalah seperti sekarang ini, tanpa mengurangi takdzim dan hormat dengan pimpinan. Barangkali pandangan subyektif ini adalah bagian dari ikhtiar menyambungkan suasana yang seakan terasa ada keterjedaan psikologis jamaah dengan unsur pimpinan.
Milad ke-112 Hijriyah ini tetap menjadi momentum untuk bersama-sama dalam wadah besar Muhammadiyah dalam menguatkan langkah menuju baldatun thayyibatun warabbun ghafur.
Akhmad Faozan, Guru di SD Muhammadiyah Kriyan, Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah Mayong Jepara, Ketua Majlis Pendidikan Kader PDM Jepara