Darul Ahdi Wa Syahadah: Teologisasi Demokrasi

Darul Ahdi wa Syahadah

Darul Ahdi Wa Syahadah: Teologisasi Demokrasi

Oleh: Hasnan Bachtiar

Tepat pada Muktamar Muhammadiyah yang ke-47 di Makassar pada 2015, konsep “Negara Pancasila sebagai Dar al-Ahd wa al-Syahadah (Darul Ahdi Wa Syahadah)” dicetuskan. Konsep ini bermakna Indonesia mesti dipandang sebagai kesepahaman nasional yang Islami (dar al-ahd). Di samping itu, nilai kesepahaman ini juga perlu diimplementasikan serta diwujudkan melalui aksi-aksi kebajikan atas dasar iman kepada Allah Swt (dar al-syahadah).

Orang yang mengerti nilai penting hal tersebut tentu akan menganggap Indonesia bukan sekedar negara yang secara substantif mengandung nilai-nilai luhur al-Qur’an dan al-Sunnah tetapi juga tempat bersaksi atau bersyahadat, bahwa inilah tempat yang tepat untuk menerapkan misi khalifatullah fi al-ard (wakil Allah di muka bumi) agar supaya terwujud negeri yang aman, damai, adil nan sejahtera, serta dalam lindungan Ilahi Rabbi (Baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur). Meminjam bahasa Din Syamsuddin tatkala membumikan gagasan ini, yakni untuk menegaskan misi khalifatullah fi Indonesia secara lebih khusus.

Melalui konsep ini, sebenarnya Muhammadiyah memberikan nasehat agar jangan sampai kita terpecah-belah sebagai bangsa hanya karena menganggap Indonesia ini tidak Islami, karena bukan negara Islam. Terlebih lagi menganggap Pancasila itu sistem demokrasi sekular yang bertentangan dengan kitab suci. Di tengah amuk globalisasi yang juga turut mendorong tumbuh-suburnya ideologi-ideologi Islamis yang keras, kasar, mau menang sendiri, dan bahkan memicu timbulnya kekerasan atas nama agama, maka gagasan tersebut sangatlah bermanfaat.

Darul Ahdi wa Syahadah: Teologisasi Demokrasi

Di samping itu Muhammadiyah juga berupaya agar supaya negara mengerti bahwa Muhammadiyah itu bagian dari Indonesia. Konsekuensinya, seperti menurut refleksi Haedar Nashir, Muhammadiyah juga merupakan aktor penting dalam pembangunan nasional. Lebih jauh dari itu Muhammadiyah turut serta dalam membangun peradaban bangsa yang luhur. Karena itulah, menurut Hajriyanto Thohari, konsep ini bukan sekedar pernyataan politik. Konsep ini dihasilkan dari sebuah ijtihad kebangsaan yang sungguh-sungguh.

Bagaimana Muhammadiyah ber-ijtihad di ranah kebangsaan ini? Seperti yang secara umum dipahami, tentu saja merujuk ke al-Qur’an dan al-Sunnah, menggali maknanya, memahami konteks historisnya (asbab al-nuzul wa asbab al-wurud) dan menemukan nilai-nilai luhur di dalam teks dan konteks (almaqashid bain al-nushush wa al-waqa‘i’).

Tahapan berikutnya, Muhammadiyah mencoba memahami konteks kehidupan sosial dan kemanusiaan yang termutakhir (waqa‘i’ al-ijtima‘iyyah al-mu‘asirah). Hal itu dilakukan dengan memanfaatkan pelbagai disiplin ilmu pengetahuan (interdisciplinary), sehingga horizon intelektual dalam memahami masalah bersifat luas dan mendalam. Dengan pemahaman yang lebih komprehensif terhadap masalah kehidupan kekinian dan kedisinian tersebut Muhammadiyah lantas berupaya mencari cara untuk mengontekstualisasikan nilai-nilai agama yang luhur.

Apa cara yang ditempuh dalam rangka kontekstualisasi tersebut? Di antara konsep kesarjanaan yang ada, “cara” yang paling masuk akal yang dilakukan adalah menteologisasikan demokrasi.

Teologisasi demokrasi ini mengandung beberapa upaya konseptualisasi sekaligus. Pertama, obyektivikasi. Artinya, menjadikan antara “pemikiran Islam dan demokrasi,” “maqashid dan politik modern,” atau “siyar (dar al-ahd wa al-syahadah) dan Pancasila” bukan sebagai obyek tetapi sebagai nilai yang secara setimbang bersifat obyektif.

Obyektivikasi bermaksud mengatasi persoalan bias perspektif Timur maupun Barat. Kita memahami betul bahwa beberapa intelektual Barat, terutama kaum Orientalis, memandang miring Islam (sebagai tradisi). Sebaliknya, sebagian dari masyarakat kita, juga antipati dengan demokrasi, semata-mata karena menganggapnya sebagai produk masyarakat Barat (bukan Islam).

Sejatinya, menurut Kuntowijoyo, segala produk ilmu pengetahuan (baik konsep maupun teori), sebenarnya merupakan hasil dari aktivitas intelektual masyarakat terdidik. Artinya, hal itu merupakan hasil konstruksi sosial dan kebudayaan: anak rohani dari peradaban. Karena itu dalam konteks ini, Siyar dan Pancasila harus didudukkan sebagai suatu konsep yang bisa diperdebatkan secara lebih rasional oleh semua orang, tanpa memandang latarbelakang agamanya. Kalau memang Siyar itu baik, bukan hanya kalangan Muslim yang perlu menerimanya, namun juga masyarakat Barat. Hal ini juga berlaku terhadap konsep demokrasi. Jika memang baik, maka tidak ada alasan untuk menganggapnya sebagai konsep yang kafir

Edukasi dan Substansialisasi

Edukasi merupakan upaya yang kedua. Maksudnya, Muhammadiyah berniat untuk memahamkan kaum Muslim bahwa sesungguhnya Pancasila itu memang Islami, mengandung nilai-nilai Islam dan diformulasikan melalui sumber-sumber ajaran agama.

Sudah barang tentu seperti yang disampaikan oleh seorang intelektual Melayu, Azhar Ibrahim, demokrasi (Pancasila) itu sendiri tidak perlu justifikasi keagamaan. Kelima sila yang ada sudah selaras dengan ajaran Islam yang luhur. Sebaliknya, Islam itu sendiri juga mengandung konsepkonsep demokrasi yang sangat modern (syura’). Akan tetapi, jika menyampaikan hal ini di tengah-tengah kaum Muslim yang terbiasa “berbahasa” dengan pelbagai konsep dan simbol keagamaan, maka upaya edukasi ini merupakan keharusan.

Jadi, menyebut Indonesia sebagai konsep Islami “dar al-ahd wa al-syahadah” itu sebenarnya lebih mudah diterima oleh imajinasi kultural dan intelektual kaum Muslim. Upaya yang ketiga adalah substansialisasi. Menyebut “Negara Pancasila” sebagai negara konsensus dan kesaksian merupakan cara untuk mengedepankan isi daripada bungkusnya, nilai ketimbang formalitasnya, atau esensi keislaman ketimbang identitas Islam yang tampak luar semata.

Di dalam sejarah politik Islam, seringkali kepentingan politik praktis justru dianggap “Islami” hanya sekedar mengatasnamakan Islam. Tidak heran jika sekarang ini ada sebagian kalangan yang tidak cukup kritis memandang bahwa praktik politik Islam yang korup, sewenang-wenang, dan otoriter malah dianggap sesuai dengan jalan agama hanya karena menyandang nama sultan atau khalifah.

Sebenarnya mencatut nama “Islam” untuk melegitimasi tindak laku yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai Islam seperti kebenaran, kemerdekaan, keadilan, dan kemanusiaan, sama halnya dengan mengupayakan mitologisasi. Dengan kata lain, seolah-olah birahi untuk melanggengkan kekuasaan tertentu itu merupakan titah langit. Jadi sekali lagi, teologisasi demokrasi bukanlah instrumentalisasi titah langit, terlebih pula–meminjam pernyataan Din Syamsuddin–ayatisasi. Seolah-olah jika sudah dilampirkan ayat, maka dengan sendirinya bernafaskan Islam.

Demikianlah secara singkat reinterpretasi mengenai proses ijtihad yang ditempuh Muhammadiyah, sehingga dengan tegas menyebut bahwa Indonesia sebagai negara Pancasila, adalah dar al-ahd wa al-syahadah. Proses ini dilakukan melalui “teologisasi demokrasi,” yakni antara lain melalui jalan obyektivikasi, edukasi dan substansialisasi ajaran agama Islam (siyar) dan demokrasi (Pancasila). Wa Allahu a’lam bi al-shawwab.

Hasnan Bachtiar, Ketua PCI IMM Australia, Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) dan Mahasiswa di The Centre for Arab and Islamic Studies (CAIS), The Australian National University (ANU)

Sumber: Majalah SM Edisi 20 Tahun 2018

Exit mobile version