Idul Adha disebut juga sebagai Hari Raya Kurban. Penyembelihan Kurban dilakukan pada 10 Zulhijah, setelah shalat Idul Adha dan selama tiga hari tasyrik: 11, 12, dan 13 Zulhijah. Di luar waktu tersebut, penyembelihan tidak dianggap sebagai Kurban.
Perihal ibadah Kurban telah pernah dibahas oleh Majelis Tarjih dalam Suara Muhammadiyah No. 09 tahun ke 82/1997. Kurban berasal dari kata qarraba–yuqarribu– Kurbanan, artinya pendekatan diri. Kurban adalah menyembelih hewan pada hari nahr dan hari tasyriq, dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah dan realisasi rasa syukur atas nikmat yang diberikan Allah. Kurban bermakna ketaatan dan pengabdian seorang hamba.
Ibadah Kurban telah dipraktekkan oleh putra Nabi Adam, Qabil dan Habil, sebagaimana dikisahkan QS. Al Maidah (5): 27. Sejarah Kurban secara khusus dikaitkan dengan ujian pengorbanan Nabi Ibrahim dan putranya Ismail, diabadikan QS. Ash-Shaffat (37): 102-107. Secara tegas, perintah Kurban dicantumkan dalam QS. Al-Kautsar (108): 1-2, “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berkorbanlah.”
Kakek Nabi, Abdul Mutthalib, pernah bernazar menyembelih anak terakhirnya jika dikaruniai 10 anak atau jika Allah memudahkannya menggali sumur Zamzam. Setelah kedua harapan ini terlaksana, Abdul Mutthalib hendak menyembelih Abdullah, namun kemudian ditebus dengan 100 ekor unta dan dari Abdullah lahirlah Muhammad.
Hewan yang dapat dijadikan sembelihan Kurban adalah: unta, sapi, kerbau, kambing, atau domba. Jika hewan yang disembelih untuk Kurban berupa unggas, misalnya, maka itu tidak termasuk kategori ibadah Kurban.
Yang berhak menerima daging Kurban ialah fakir miskim dan sahibul Kurban (orang yang ber Kurban). Firman Allah, “Makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” [QS. Al-Hajj (22): 28]. Ayat lain, “Makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.” [Al-Hajj: 36].
Tidak ada nash yang tegas tentang berapa bagian yang diberikan kepada fakir miskin dan berapa bagian sahibul Kurban. Menurut Sayyid Sabiq dalam Fiqh as-Sunnah, sahibul Kurban berhak menerima sepertiganya (As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Dar el-Fikr, 1992, III: 278). Tidak ada pembatasan fakir miskin itu harus beragama Islam. Artinya, fakir miskin yang tidak beragama Islam boleh mendapat daging quran. Daging Kurban tidak boleh dijual. Apabila di sekitar tempat penyembelihan tersebut tidak ada fakir miskin, maka daging Kurban tersebut harus diberikan kepada fakir miskin di tempat lain.
Kurban tahun ini berada dalam situasi musibah. Majelis Tarjih mengimbau umat yang mampu ber Kurban untuk mengutamakan penanggulangan dampak wabah Covid-19. “Dana hewan kurban dialihkan untuk keperluan membantu pencegahan dan penanggulangan dampak Covid-19.” Didasarkan Al-Hajj: 78 dan Al-Baqarah: 185.
Pada 25 Zulkaidah 1425/1 Januari 2005, Majelis Tarjih pernah menfatwakan: mereka yang mampu memberikan bantuan kepada yang terkena musibah gempa bumi/tsunami, letusan gunung Merapi, banjir, dan sekaligus dalam waktu yang sama dapat melaksanakan ibadah Kurban, kedua amal ini dapat dilaksanakan secara bersama. Jika hanya mampu salah satu, maka “hendaknya mendahulukan memberi bantuan dalam rangka menyelamatkan kehidupan mereka yang tertimpa musibah daripada melaksanakan ibadah Kurban, sesuai dengan kaidah: al-ahamm fa al-muhimm (yang lebih penting didahulukan atas yang penting).” Upaya membangun kembali harapan hidup mereka yang hancur karena bencana adalah wajib, sesuai tujuan syariah: hifz an-nafs. (muhammad ridha basri)
Sumber: Majalah SM Edisi 14 Tahun 2020