Membangun Kepekaan Hati Nurani

Membangun Kepekaan Hati Nurani

Oleh: Dr Mas’ud HMN

Dalam rangka memperingati 112 tahun organisasi Muhammmadaiyah berdasar hitungan Hijriah yang didirikan 8 Zulhijjah 1330, atau 18 Nopember 1912 Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir menyatakan dalam sambutannya agar program Muhammadiyah dilanjutkan. “Tidak muluk-muluk tapi sesuai dengan kenyataan” katanya di Yogyakarta 17 Juli 2021.

Sejatinya memang ada beberapa masalah besar yang menjadi tantangan. Antara lain tantangan kemiskinan, kebodohan dan kemanusiaan serta membangun kepekaan nurani. Kita mencoba Fokus dengan tema yang terakhir yakni tentang membangun kepekaaan hati nurani.

Prof Dr Abdul Mu’ti, 19 Juli 2021 menulis di harian Republika. Tulisan dari seorang figure dengan posisi Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu sesuai dengan pesan Haedar Nashir, dan dalam posisi momentum yang tepat. Tulisan itu diberi judul Kematian Hati Nurani. Diurai dalam Bahasa yang renyah jernih mudah dipahami.

Ia menilai soal sense of crisis yakni makna kematian hati nurani di Indonesia kini telah terjadi. Orang berani korupsi bantuan sosial, dan lain lain. Pokoknya suara hati, keyakinan iman, diabaikan. Pikiran dalam tulisan mengagambarkan kerisauan penulisnya yang tak dapat disembunyikan.

Ini agaknya penting, apatah lagi karena momentum Idul Adha sebagai hari raya Qurban, dengan kebaikan dan ikhlas unsur utamanya. Orang ingin saling memberi untuk orang lain dengan wujud meyembelih dan membagi daging kurban.

Terhadap Muhammadiyah ada kaitan yang erat. Peristiwa memasuki usia 112 tahun berdasar kelender hijriah didirikan 8 Zulhijjah 1330 yaitu relevansinya bagaimana peran organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan ke masa depan.

Patut kita garis bawahi yaitu soal keikhlasan kurban untuk sesama dimaknakan sebagai peduli atau sense of crisis. Sementara peran Muhammadiyah ke depan kita maknakan sebagai Membangun Kepekaan Hati Nurani.

Hal itu seperti difirmankan Allah dalam al Quran surah Ali Imran ayat 185 berbunyi sebagai berikut,

Setiap yang bernyawa akan mati Pada hari kiamat disempurnakan pahalamu Barang siapa yang dijauhkan dari api neraka dan dimasukkan kedalam surga merekalah orang yang beruntung. Kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.

Manusia harus pro aktif mencari jalan terbaik dalam makna mengisi atau membangun diri sebaik-baiknya. Menjauhkan diri dari kesenangan yang hanya tipu-tipu muslihat keduniaan.

Fenomena itu disebut Muhammad Iqbal, pemikir dari Pakistan awal abad 20, sebagai hanya sibuk untuk mengemukkan badan. Lupa pada membangun nurani. Suatu kehidupan yang merugi.

Dalam pikiran Iqbal, semestinya manusia menuju kepada manusia yang Insan kamil. Manusia yang sempurna. Yaitu Petaka Tuhan di bumi. Bagi penyair Pakistan yang legendaris itu menyayangkan manusia adalah orang orang yang lupa diri.

“Mereka yang hidup hanya sampai ke liang lahat Aku Tidak, Aku ingin hidup sampai kepada Tuhanku” katanya dalam salah satu puisinya.

Tulisan Abdul Mu’ti bisa kita renungkan dalam pesfektif Iqbal dalam makna manusia lupa dan kematian hati nurani. Itulah fenomena Indonesia kini, Orang tiada segan berbohong, korupsi dan perbuatan bejad lainnya. Mencampur adukkan yang halal dan yang haram. Mereka terpengaruh oleh argumen mereka sendiri. Mencari yang haram saja susah, apalagi mendapatkan yang halal.

Di atas semua itu, kita mengajukan pesan moral untuk membangun kepekaan hati nurani. Maknanya adalah menghidupkan kepedulian hati, menjauhkan dari perbuatan tercela, berlindung dari tipu daya dunia.

Masalah besar adalah membangun kembali kepekaan hati nurani di atas terjadinya kematian hati nurani. Tanpa itu Indonesia menjadi bangsa tidak ada apa apanya, tengelam dalam lipatan masa lalu.

Dr Mas’ud HMN, Dosen Pascsarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta

Exit mobile version