Bersatu dalam Perbedaan
Situasi nasional di tahun politik menunjukkan kecenderungan ananiyah-hizbiyah atau egoisme kelompok dan gesekan sosial-politik satu sama lain. Masing-masing bukan hanya berebut kepentingan untuk memenangkan Pemilu, tetapi berusaha memperlemah pihak lawan dengan menunjukkan keburukannya, sebaliknya menampilkan diri sebagai yang terbaik. Lebih dari itu setiap kelompok menunjukkan identitas dirinya sebagai golongan yang paling agamis atau paling nasionalis.
Kontestasi politik memang wajar dengan dinamika persaingan dan perebutan kepentingan. Namun manakala tidak terkelola dengan baik dan dibiarkan serbabebas maka dapat memicu konflik dan retak sosial antarsesama anak bangsa secara saling berhadapan dan bermusuhan. Karenanya penting dilandasi nilai “ta’awun” untuk “saling peduli dan berbagi” layaknya satu tubuh di keluarga bangsa. Perbedaan politik tetap diikat oleh rasa bersaudara dan tidak menyuburkan suasana permusuhan yang merugikan kehidupan berbangsa. Itulah semangat kebersamaan dalam perbedaan.
Umat Islam menyebut semangat kebersamaan itu dengan ukhuwah, sedang dalam idiom umum dikenal gotongroyong untuk kebaikan hidup bersama. Semangat ukhuwah dan gotong-royong itu niscaya terus disebarluaskan agar menjadi praktik hidup yang nyata dan bukan retorika. Ukurannya ialah ketika terdapat perbedaan pandangan dan kepentingan, satu sama lain mau saling berkorban dan berbagi, bukan saling mengutamakan kepentingan dan mau menang sendiri.
Jika terdapat banyak klaim bangsa Indonesia itu satu dalam kebinekaan atau Bhineka Tunggal Ika, maka jangan berhenti di jargon dan retorika. Wujudkan sesama warga dan komponen bangsa dengan sikap, tindakan, dan usaha bekerjasama secara nyata. Semua pihak mau saling peduli dan berbagi, serta saling hidup maju dan makmur bersamasama.
Dalam kehidupan kebangsaan jangan sampai perebutan kekuasaan menyuburkan egoisme kelompok secara eksklusif dan berlebihan, yang menggerus kebersamaan. Jangan sampai terjadi paradoks, di ruang publik menyuarakan ukhuwah dan gotong royong, tetapi dalam praktik menampilkan sikap ajimumpung, mau menang sendiri, dan kebiasaan menyisihkan pihak lain yang berbeda pandangan atau golongan demi kejayaan diri atau golongan sendiri dalam hasrat kuasa berlebih.
Jika satu prosen penduduk negeri ini menguasai mayoritas kekayaan Indonesia, maka inilah sumber utama kesenjangan sosial-ekonomi, yang harus dipotong matarantainya secara sistemik. Kesenjangan sosial jangan dibiarkan seolah wajar hanya karena tidak ingin menempuh langkah drastis dalam menghadapinya, sebab rakyat dan negaralah yang dirugikan. Di negeri ini tidak boleh para mafia dan tangan-tangan perkasa dibiarkan menguasai Indonesia untuk meraih kejayaan sendiri dengan mengorbankan kepentingan kolektif bangsa dan negara.
Pemerintah dan kekuatan bangsa harus menunjukkan contoh bagaimana merekat kebersamaan dalam perbedaan, meskipun di tahun politik semuanya berlomba menjadi pemenang. Jangan korbankan kebersamaan sebagai bangsa luruh oleh politik dan perebutan kekayaan Indonesia. Juga jangan biarkan Indonesia dikuasai orang atau kelompok tertentu yang merugikan hajat hidup bangsa dan negara. Bung Karno ketika berpidato pada 1 Juni 1945, bahwa:
“Kita hendak mendirikan suatu negara semua buat semua. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi semua buat semua”. Itulah spirit kebersamaan yang diletakkan dengan kokoh oleh para pejuang dan pendiri bangsa secara autentik menuju Indonesia yang dicita-citakan, yang dalam perspektif Muhammadiyah disebut Indonesia Berkemajuan. Yakni Indonesia yang maju, adil, makmur, berdaulat, dan bermartabat yang menjelma sebagai Negara Pancasila yang modern dan berperadaban utama! (hns)
Sumber: Majalah SM Edisi 23 Tahun 2018