Masyarakat Islam Indonesia
Oleh Prof Dr. KH. Haedar Nashir, M.Si.
Pemikiran dan konsep “Masyarakat Islam” atau dalam Muhammadiyah dilengkap “Masyarakat Islam yang Sebenar-benarnya”, adalah konsep keagamaan dan bersifat kultural, bukan konsep politik seperti “Negara Islam”. Sebagian pihak luar, lebih-lebih saat ini ketika isu radikalisme dan khilafah mengemuka, kadang ada pihak awam atau aparat yang belum paham dan menyamakannya dengan pemikiran politik.
Dalam Muhammadiyah istilah, konsep, dan pemikiran “Masyarakat Islam” terkandung dalam Muqaddimah AD Muhammadiyah tahun 1946, satu tahun setelah kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah 1946 terkandung maksud dan tujuan Muhammadiyah adalah “menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam, sehingga dapat mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”.
Pada tahun 1968 dalam Muktamar ke-37 di Yogyakarta bahkan telah dibahas tentang “Ciri Masyarakat Islam” yang hendak dicapai oleh Muhammadiyah. Menjelang Muktamar Satu Abad Muhammadiyah tahun 2010, diselenggarakan Seminar dam kemudian dihasilkan buku tentang “Masyarakat Islam Yang Sebenar-benarnya (MIYS)” dengan sejumlah parameter untuk diwujudkan. Apa isi, esensi, serta bagaimana konteks dan aktualisasinya dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia.
Islam sebagai Identitas
Masyarakat Islam sebagai suatu golongan secara normatif memiliki karakter yang melekat dengan nilai-nilai ajaran Islam. Konsep ”masyarakat Islam” dikenal lama dalam perkembangan peradaban Islam di dunia muslim. Para pemikir Islam klasik memperkenalkannya sebagai konsep al-mujtama al-Islamy atau al-mujtama al-fadhilah. Konsep tersebut dirujukkan ke dalam istilah “khaira ummah” (QS Ali Imran: 110) dan “ummatan wasatha” (QS Al-Baqarah: 143) sebagaimana terkandung dalam Al-Quran. Artinya konsep dan pemikiran tentang “Masyarakat Islam” itu melekat langsung sebagai identitas keislaman dan dalam konteks hidup berbangsa dan bernegara di Indonesia menjadi bagian dari hak dasar beragama yang diakui sah oleh UUD 1945.
Islam bagi umat Islam di manapun menjadi identitas diri dalam terminologi muslim, mukmin, muhsin, muttaqin, dan rujukan diri lainnya termasuk “masyarakat Islam” atau masyarajat muslim. Allah bahkan menyuruh umatnya untuk mempersaksikan sekaligus membuktikan diri sebagai muslim, sebagaimana firman-Nya: “Kamilah penolong-penolong agam Allah. Kami beriman kepada Allah, dan saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang muslim!” (QS Ali-‘Imran: 52). Di lain ayat disebutkan, yang artinya: “Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang-orang yang menyeru kepada (jalan) Allah, beramal shalih dan mengatakan ,”sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang beriman!” (QS Fushilat: 33).
Pihak manapun tidak boleh melarang dan menuduh bahwa identitas Islam sebagai sesuatu yang buruk, ekstrem, radikal, dan sebutan negatif lainnya. Pemeluk agama lain juga sama memiliki hak sama untuk memiliki dan menunjukkan identitas keagamaannya, meskipun bagi yang tidak mau tentu juga menjadi haknya. Identitas golongan dan bangsa pun diakui sebagai hak asasi manusia di seluruh muka bumi tanpa rintangan dan stigma. Di Indonesia bahkan dalam kurun terakhir tumbuh kampanye “Aku Indonesia”, “Aku Pancasila”, “Aku Bhineka Tunggal Ika”, dan seterusnya. Maka jangan dianggap buruk manakala di kalangan kaum muslim tumbuh klaim identitas diri, “Aku Muslim”, “Aku Islam”, “Aku Muhammadiyah”, “Aku NU”, dan sebagainya.
Jangan pula identutas Islam itu dianggap makar atau bermasalah seperti “Masyarakat Islam” hanya karena di Indonesia pernah ada gerakan “Darul Islam/Tentara Islam Indonesia” (DI/TII) sebagai gerakan pemberontakan, hal itu merupakan masa lalu dengan sebab yang kompleks. Aparat kemanan di Indonesia harus proporsional dan jangan karena ada nama Islam kemudian diidentikkan dengan pemberontakan, terorisme, ekstrimisme, dan radikalisme yang tentu saja umat Islam Indonesia dari golongan manapun tidak menyetujui hal-hal negatif tersebut.
Manakala saat ini masih ada pihak yang menganggap negatif dan mempolitisasi identitas Islam maka hal itu bertentangan dengan UUD 1945 yang mengakui hak berserikat dan berkumpul, pasal 29 tentang Agama, sila pertama Pancasila Ketuhanan Yang Maha Esa, UU Ormas, dan sejarah kelahiran Muhammadiyah yang berjuang untuk kemerdekaan dan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Siapa yang tidak mengenal Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam?
Muhammadiyah memiliki identitas diri keislaman karena dirinya merupakan Gerakan Islam yang menjadikan Islam sebagai landasan, identitas, alam pikiran, dan cita utamanya untuk diwujudkan untuk melahirkan peradaban akhlak mulia dan rahmat bagi semesta atau rahmatan lil-‘alamin. Karenanya istilah, konsep, dan pemikiran “Masyarakat Islam” dalam gerakan Muhammadiyah selain memiliki dasar kuat pada ajaran Islam dan melekat dengan identitas keislaman. Pada saat yang sama isi dan fungsinya membumi dengan keindonesiaan karena Muhammadiyah sejak awal berintegrasi dengan Indonesia, bahkan ikut memperjuangkan kemerdekaan dan mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Masyarakat Islam
Pembentukan Masyarakat Islam secara historis-sosiologis dimulai di zaman Rasulullah bersama kaum muslimun di Makkah dan Madinah. Masyarakat Arab yang jahiliyah diubah selama sekutar 23 tahun menjadi Masyarakat Berperdaban Tercerahkan dalam simbolisasi al-Madinah al-Munawwarah. Pembentukan masyarakat Islam yang berperadaban tercerahkan atau dalam bahasa kontemporer masyarakat modern tidaklah sekali jadi tetapi melalui proses historis dan sosiologis yang penuh pergumulan. Pasca Nabi berkembanglah peradaban Islam yang modern atau berkemajuan menyinari seluruh persada buana, sehingga terbangun era kejayaan Islam sekitar enam abad lamanya.
Dalam pandangan Ahmad Shalaby, masyarakat Islam telah dimulai oleh dan tumbuh di zaman Nabi Muhammad ketika di Madinah. Masyarakat yang dibina Nabi hingga akhir hayatnya di Madinan al-Munawwarah itulah sosok dari masyarakat Islam. Sedangkan ketika di Mekkah, Nabi membentuk sosok pribadi-pribadi muslim yang di kemudian hari menjadi dasar bagi terbentuknya masyarakat Islam di Madinah. Karakteristik masyarakat Islam di Madinah ditandai oleh ciri-ciri perubahan dari masyarakat Jahiliyah, yakni sebagai berikut:
(1) Dari mata pedang ke jalan damai, (2) Dari kekuatan ke undang-undang, (3) Dari balas dendam ke hukum pampasan (qisas), (4) Dari serba haram ke kesucian, (5) Dari sifat suka merampas ke kepercayaan, (6) Dari sifat suka mengasingkan diri ke arah dapat menguasai negeri Persia dan Rumawi, (7) Dari kehidupan kesukuan berganti dengan sifat rasa tanggungjawab pribadi, (8) Dari penyembahan berhala ke akidah tauhid, (9) Dari memandang rendah kaum wanita menjadi memuliakannya, dan (10) Dari sistim berkasta-kasta ke persamaan (Shalaby, 1957: 20-35).
Dalam konteks gerakan Muhammadiyah, menurut Djarnawi Hadikusuma masyarakat Islam merupakan penerjemahan atau pengejewantahan dan sebagai bentuk usaha mewujudkan ”Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur” sebagaimana disebutkan dalam Mukaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah yang dirumuskan pada periode tahun 1942-1953 masa Ki Bagus Hadikusuma. Tahun 1945 dibahas tentang konsep ”Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” oleh tim yang ditunjuk Ki Bagus terdiri atas Fakih Usman, Hamka, Farid Ma’ruf, dan Ahmad Shalaby, yang berupa pokok-pokok pikiran (H. Djarnawi Hadikusuma, dalam M. Yunan Yusuf dkk editor, 1995: 22. ).
Sementara Ahmad Shalaby menyusun buku Al-Mujtama’ Al-Islamy (Masyarakat Islam) atas inspirasi Muhammadiyah yang bermuktamar tahun 1956. Dari Mukaddimah AD Muhammadiyah tersebut maka terkandung cita-cita utama Muhammadiyah membangun “Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur”, yang pengejewantahannya melalui gerakan membangun “Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Dalam naskah yang disampaikan di Muktamar ke-37 tahun 1968 terdapat formulasi yang cukup jelas mengenai konsep ”Masayarakat Islam”. Dalam naskah itu dinyatakan bahwa: ”1. Masyarakat Islam adalah suatu masyarakat di mana ajaran Islam berlaku dan menjiwai seluruh bidang kehidupan masyarakat tersebut. 2. Ciri-ciri masyarakat Islam tersebut antara lain sebagai berikut: a. ber-Tuhan dan beragama. b. persaudaraan. c. berakhlak dan beradab. d. berhukum syar’i. e. berkesejahteraan. f. bermusyawarah. g. ikhsan. h. berkemajuan. i. berpemimpin dan tertib.” (Pimpinan Pusat Muhammadiyah, op.cit., hal. 7. Dapat dibaca dalam Bundelan Hasil Muktamar ke-37 dengan judul “Masyarakat Islam”.
Masyarakat Islam yang dicita-citakan Muhammadiyah memiliki kesamaan dengan format masyarakat madani, yaitu masyarakat kewargaan (civil-society) yang demokratis, berkeadilan, otonom, berkemajuan, dan berakhlak-mulia (al-akhlaq al-karimah) sehingga menjadi masyarakat yang berperan sebagai syuhada ‘ala al-nas di tengah berbagai pergumulan hidup masyarakat dunia.
Karena itu, masyarakat Islam yang sebenar-benarnya yang bercorak ”madaniyah” tersebut senantiasa menjadi masyarakat yang serba unggul atau utama (khaira ummah) yang memiliki penguasaan atas nilai-nilai kemajuan dalam kebudayaan dan peradaban, yaitu nilai-nilai ruhani (spiritualitas), nilai-nilai pengetahuan (ilmu pengetahuan dan tekonologi), nilai-nilai materi (ekonomi), nilai-nilai kekuasaan (politik), nilai-nilai keindahan (kesenian), nilai-nilai normatif berperilaku (hukum), dan nilai-nilai kemasyarakatan (budaya) yang lebih berkualitas atau unggul dibandingkan dengan masyarakat lainnya.
Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya bahkan senantiasa memiliki kepedulian tinggi terhadap kelangsungan ekologis (lingkungan hidup) dan kualitas martabat hidup manusia baik laki-laki maupun perempuan dalam relasi-relasi yang menjunjungtinggi kemaslahatan, keadilan, dan serba kebajikan serta menjauhkan diri dari kerusakan (fasad fi al-ardh), kedhaliman, dan hal-hal lain yang bersifat menghancurkan kehidupan.
Muhammadiyah bahkan selain sejak awal berintegrasi dengan keindonesiaan sebagaimana terkandung dalam MKCH dan Kepribadian Muhammadiyah, juga melalui keputusan Muktamar tahun 2015 di Makassar telah memiliki pemikiran resmi tentang keindonesiaan yaitu anegara Pancasila Darul Ahdi Wasyahadah.
Bahwa MIYS yang berwatak Khaira Ummah dn Ummatan Wasatha itu membumi di Indonesia dan menyatu dengan keindonesiaan. Dengan demikian Muhammadiyah sebagai organisasi Islam modern terbesar memformulasikan tujuan idealnya yakni terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, yang terintegrasi dengan struktur kehidupan bangsa Indonesia dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berfalsafah Pancasila dan berkonstitusi dasar UUD 1945. Dengan demikian dapat dikategorikan dan diidentikkan sebagai “Masyarakat Islam Indonesia”.
Sumber: Majalah SM Edisi 12 Tahun 2019