Membedah Gerakan Reformis Islam Bengkulu, Menuju Kongres Sejarawan Muhammadiyah

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Setelah rampung menggali tema “Organ Sayap Muda Muhammadiyah” pada dua minggu lalu, rangkaian bedah karya dalam Kongres Sejarawan Muhammadiyah masuk ke tema barunya. Tema minggu ketiganya ini (19/07) adalah “Muhammadiyah Lokal di Jawa dan Luar Jawa”.

Buku berjudul Napak Tilas Sejarah Muhammadiyah Bengkulu: Membangun Islam Berkemajuan di Bumi Raflesia merupakan hasi kerja panjang Salim Bella Pilli dan Hardiansyah selama lima tahun.

Terlepas dari latar belakang akademik, keduanya berhasil menelurkan karya sejarah yang secara metodis setaraf dengan hasil sejarawan akademik. Sebagaimana dilakukan oleh Buya Hamka dalam mengonstruksi sejarah Islam Minangkabau di dalam buku Ayahku. Apalagi tulisan sejarah Muhammadiyah Bengkulu ini membaca perjalanan dengan rentang waktu panjang selama 1928-2016.

Pada malam Bedah Karya Sejarah Muhammadiyah, sayangnya, bapak Salim Bella Pilli berhalangan hadir. Hardiansyah hadir sendiri sebagai pembicara dengan dimoderatori oleh Eko Triyanto.

Dalam acara ini, rentang babakan waktu yang dibahas Hardiansyah dibatasi sepanjang 1928-1953. Titik 1928 dijadikan sebagai permulaan cerita Muhammadiyah Bengkulu karena pada tahun itulah Muhammadiyah resmi didirikan dengan persaksian langsung Muhammad Yunus Anis. Lalu, tahun 1953 merupakan penanda penting terjadinya reorganisasi yang dilakukan Muhammadiyah setelah masa Revolusi.

Mengenai kemunculannya, Muhammadiyah di Bengkulu tidak lepas dari pengaruh tokoh gerakan pembaruan Islam Minangkabau, di antaranya Haji Ahmad yang juga seorang pedagang. Mereka yang simpatik dan menjalankan paham reformasi Islam ini kemudian membentuk perkumpulan, Muhibul Ihsan pada 1927. Satu tahun kemudian, ini melebur menjadi cabang Muhammadiyah di Bengkulu.

Konsul pertamanya waktu itu adalah Djunus Djamaluddin yang juga alumnus Sumatra Thawalib di Sumatra Barat. Latar kelembagaan Sumatra Thawalib dan jejaring Haji Rasul inilah yang menjadi satu dari tiga komponen keanggotaan Muhammadiyah Bengkulu. Selain itu, dua komponen lainnya adalah santri Muallimin Yogyakarta dan bumiputra Bengkulu dari berbagai etnis.

Mengingat paham pembaruan Islam dalam gerakan Muhammadiyah, pola ketegangan antara Kaum Tuo dan Kaum Mudo seperti di Minangkabau terjadi juga di Bengkulu. Imbasnya, kelompok adat atau Kaum Tuo yang turut mengikutsertakan pemerintah Hindia Belanda melancarkan aksi konflik terbuka dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah. Tidak jarang, guru-guru sekolah Muhammadiyah yang dikirim mengajar ke Bengkulu diintimidasi.

Saat ini ketegangan antara keduanya sudah mencari. Meskipun demikian, ceritanya masih membekas dan hidup dalam alam pikiran. Agaknya, itu juga mungkin yang menyebabkan supremasi otoritas keagamaan dipegang pasirah. Pemimpin rakyat yang mengurusi urusan birokrasi sekuler, keagamaan, hingga acara adat.

Bergerak ke masa Revolusi Kemerdekaan, Muhammadiyah mengalami kevakuman. Sebab, banyak tokoh-tokohnya yang bergerak mengurusi upaya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Di antaranya adalah Maurice Umar yang menjadi menjadi pimpinan Pemuda Republik Indonesia. Selain itu, sekolah-sekolah Muhammadiyah juga dialihfungsikan menjadi markas Tentara Keamanan Rakyat. Bahkan, Oey Tjen Hien yang menggantikan Djunus Djamaluddin sebagai Konsul Muhammadiyah Bengkulu tampil sebagai ketua Masyumi Bengkulu pertama.

Dari perjalanan penulisan sejarah Muhammadiyah Bengkulu oleh Salim dan Hardiansyah, kita diingatkan satu hal. Penulisan sejarah yang sensitif pada pendekatan geopolitik membuat kita sekaligus bisa menggali sejarah Islam di suatu daerah hingga mengonstruksi petite histoire dari grande histoire nasional.

Sampai jumpa pada seri Bedah Karya Sejarah Muhammadiyah keempat menuju Kongres Sejarawan Muhammadiyah pertama. (ykk)

 

Exit mobile version