JAKARTA, Suara Muhammadiyah-Agama perlu dipahami secara lebih komprehensif dan lebih utuh. Memahami redaksi teks sekaligus konteks. Beragama perlu diintegrasikan dengan ilmu pengetahuan. Tujuan beragama yang disebut dalam maqasid syariah itu memandu kita supaya tidak hanya selamat secara personal, tetapi secara bersama. Inilah misi rahmatan lil alamin. Demikian dikatakan Prof Dr Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah dalam Webinar yang diadakan PPIM UIN Jakarta melalui CONVEY Indonesia (23/7/2021).
Pandangan keagamaan yang utuh berguna dalam menyikapi polemik ritual keagamaan seperti salat idul adha dan menyembelih qurban di masa pandemi Covid-19. Banyak ritual keagamaan yang bersifat religious festival, sehingga tidak mudah dihilangkan, meskipun dalam suasana pandemi. “Religious festival ini sangat kuat di masyarakat,” kata Mu’ti dalam webinar yang dimoderatori oleh Prof Jamhari Makruf.
Mu’ti melihat ada banyak faktor yang menyebabkan sebagian masyarakat tidak mengindahkan anjuran pemerintah untuk meniadakan salat idul adha di lapangan atau masjid. Misalnya, ada ketidakpercayaan kepada pemerintah. Ini residu dari perdebatan politik yang telah terjadi berlarut-larut. Kebijakan pemerintah di masa pandemi yang terkadang kurang konsisten juga menjadi bahan kritikan.
Sisi lain, ada juga alasan rasional, seperti faktor ekonomi. “Bagi mereka, ‘kalau saya tidak bekerja, saya makan apa’. Berbeda dengan PNS yang memiliki pendapatan tetap bulanan,” kata Mu’ti. Kebijakan lockdown semestinya diikuti dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat selama mereka tidak diperbolehkan keluar rumah, tapi pemerintah tidak punya uang.
Hal ini juga berakibat pada kegiatan di masjid. “Tidak semua masyarakat bisa diminta diam di rumah, karena rumahnya hanya berbentuk satu kamar tidur.” Dengan segala resiko, mereka tetap ke masjid untuk salat supaya tidak berdesakan di rumah yang kondisinya tidak begitu layak. “Mereka tidak konservatif, tetapi tidak punya pilihan dan tidak bisa menjalankan ibadah di rumah karena segala keterbatasan.”
Ada penelitian yang menyebut hubungan antara mereka yang menolak Covid-19 dengan latar belakang agama atau preferensi politik tertentu. “Ini realitas yang tidak sederhana,” ujar Mu’ti. Fenomena ini terkait dengan era keterbukaan. Media sosial sering menjadi ruang pertarungan baru. “Keterbukaan dan kemudahan informasi membuat ruang publik menjadi hiruk pikuk, tidak hanya kontestasi, tapi juga rivalitas.”
“Tanpa kita sadari, ketika mobilitas fisik terbatas, mobilitas di media sosial tidak terbendung,” ulasnya. Mereka yang tidak punya jaringan sosial secara fisik bisa memanfaatkan media sosial untuk membangun gerakan. “Dalam beberapa hal, mereka lebih kreatif, narasinya lebih mudah dipahami, dan dalam beberapa hal juga melakukan upaya penetrasi ideologi,” kata Abdul Mu’ti.
Media sosial melibatkan generasi milenial. Mu’ti menyebut tiga kecenderungan generasi milenial. Pertama, berbagai penelitian menunjukkan bahwa generasi milenial beragama secara relatif longgar, dalam pengertian (1) tidak menjadikan agama sebagai urusan yang terlalu serius, ada yang menganggap agama sudah tidak penting; (2) mereka tidak terikat pada paham agama tertentu, meskipun ada kelompok kecil yang fanatik. Kedua, mereka dekat dengan media sosial, sebagai digital native. Ketiga, mereka suka pada hal-hal yang baru dan suka tantangan.
Menyikapi kecenderungan itu, Mu’ti berharap supaya ruang keagamaan digital perlu memberi alternatif pilihan keagamaan. “Dalam suasana pilihan yang banyak, pembimbing menjadi perlu untuk memastikan keberagamaan mereka terfasilitasi ke arah yang lebih baik.” Banyaknya pilihan ini memperkaya keagamaan kita, asalkan disikapi secara dewasa dan saling menghargai.
Menurutnya, pandemi memberi kesempatan bagi banyak orang untuk mengkaji agama dan meningkatkan kualitas pemahaman agama. Sekarang, kajian ushul fikih yang dulunya hanya dikaji di kalangan terbatas, sekarang menjadi populer. Pandemi juga mencipta realitas keagamaan baru, seperti takziyah online, jumatan online, manaqiban online, hingga pemakaman online. “Realitas ini mendorong orang untuk memahami keterkaitan antara agama dan ilmu pengetahuan.”
Mu’ti juga menjabarkan tentang pengalaman Muhammadiyah dalam memberi pemahaman kepada masyarakat tentang Covid-19. “Secara kasat mata tidak terlihat, tetapi dia itu ada. Covid-19 ini bukan takhayul, bukan konspirasi, tetapi benar ada.” Secara kelembagaan, kekuatan organisasi Muhammadiyah berada dalam struktur organisasi. “Muhammadiyah memberi suatu paham keagamaan yang utuh, kemudian membreakdown fatwa-fatwa yang utuh dan berat itu ke berbagai narasi sederhana,” ulasnya. Narasi singkat dalam bentuk meme atau video pendek terkadang justru lebih efektif. (ribas)