Muhammadiyah dan Soedjatmoko
Oleh: Muhammad Yuanda Zara
Cendekiawan, filsuf, dan budayawan terkemuka dan berlevel internasional. Itulah beberapa julukan yang diberikan publik Indonesia pada sosok Soedjatmoko, seorang pemikir penting Indonesia di paroh kedua abad ke-20. Cakupan pemikirannya membentang luas, mulai dari soal pembangunan, modernitas, kebebasan, moral, pendidikan dan peradaban manusia. Kiprahnya juga amat beragam. Ia pernah menjadi pengamat dalam delegasi Indonesia di PBB pada tahun 1947 (foto Soedjatmoko muda dalam sebuah sidang PBB, bersama Sutan Sjahrir, Haji Agus Salim dan Soemitro, cukup dikenal publik Indonesia), anggota Partai Sosialis Indonesia (1955), duta besar Indonesia untuk Amerika Serikat (1968-1971), dan rektor Universitas PBB (1980-1987).
Lahir di Sawahlunto, Sumatera Barat, pada Januari 1922, Bung Koko, demikian ia akrab disapa, tutup usia di Yogyakarta pada tanggal 21 Desember 1989 kala ia sedang menyampaikan pandangannya di Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan (PPSK) UGM. Rencananya, selepas acara di UGM, pada malam harinya ia akan menyampaikan ceramahnya—tentang bagaimana mempersiapkan manusia Indonesia di abad ke-21—di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
Kedatangan Soedjatmoko di Bandara Adisucipto, Yogyakarta, kala itu disambut salah satunya oleh Rektor UMY, Dasron Hamid. Beberapa pemikir Muhammadiyah hadir dalam diskusi di PPSK UGM yang diisi Soedjatmoko, termasuk Dr. Ahmad Syafii Maarif dan Dr. Zamroni. Soedjatmoko sendiri meninggal di pangkuan Dr. Amien Rais, dosen UGM yang juga dikenal sebagai cendekiawan Muhammadiyah.
Relasi antara Muhammmadiyah dan Soedjatmoko tidak hanya tampak di penghujung usia sang pemikir saja. Kiprah dan landasan filosofis Muhammadiyah turut menjadi perhatian Soedjatmoko. Dalam pandangan Soedjatmoko, ada satu nilai penting yang patut diteladani dari Muhammadiyah dalam kaitan bagaimana manusia Indonesia harus menghadapi derasnya perubahan zaman yang kerap membuat orang tergoncang dan terombang-ambing.
Ini dituangkan Bung Koko dalam tulisannya yang bertajuk “Pengaruh Pendidikan Agama terhadap Kehidupan Sosial”. Pembangunan memang bertujuan baik, yakni memakmurkan masyarakat, tapi di saat yang bersamaan juga menyebabkan timbulnya perubahan sosial. Bagi Soedjatmoko, pelaksanaan pembangunan tidak hanya memerlukan pertimbangan ekonomis dan teknis, tapi juga mesti disesuaikan dengan nilai sosial dan moral yang hidup dalam masyarakat.
Bagi masyarakat yang mengalami pembangunan, mereka sering dihinggapi perasaan waswas tentang masa depannya yang tidak pasti dalam dunia yang berubah dengan cepat. Mereka butuh pegangan hidup, dan iman adalah pegangan yang cocok. Iman, terang Bung Koko, membuat manusia “mampu untuk membangun sambil menjaga hukum keseimbangan antara kehidupan duniawi dan ukhrawi, sehingga ia tidak terhanyut mengejar kebendaan dan materialisme yang berlebih-lebihan”.
Iman membuat manusia berani menolak mengambil jalan yang pintas namun menyesatkan dalam mencapai tujuan. Menurut Soedjatmoko, ajaran iman semacam ini adalah karakteristik dalam pendidikan Islam di Indonesia. Dia menyebut dua institusi yang mengajarkan pentingnya iman dalam arus modernisasi yang kencang dan mudah membuat orang gamang. Pertama, di berbagai pesantren, salah satunya Gontor. Kedua, dalam institusi pendidikan Muhammadiyah. Soedjatmoko menulis: “Demikian pula dalam sejarah Muhammadiyah. Para calon mubaligh dididik berdasarkan doktrin bahwa mereka hendaknya ‘menghidupi Muhammadiyah’, dan tidak ‘mencari hidup dari Muhammadiyah’”.
Sebelum Soedjatmoko wafat, UMY sebenarnya sudah menyiapkan satu rencana untuk almarhum. Ia dipersiapkan sebagai salah satu anggota Dewan Penyantun UMY. Rencananya, pengangkatannya akan dilakukan pada Maret 1990. Namun, begitulah, Soedjatmoko wafat sebelum mengemban amanat baru ini.
UMY bukanlah kampus Muhammadiyah pertama yang menjadi tempat Soedjatmoko menyampaikan gagasan-gagasannya. Pada awal November 1989, Bung Koko diundang sebagai pembicara di kampus IKIP Muhammadiyah Jakarta (kini: Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka) dalam rangka dies natalis ke-32 kampus ini serta menyambut Muktamar Pemuda Muhammadiyah di Palembang. Tema seminar dua hari yang dihadiri Bung Koko adalah “Pembangunan, Perdamaian dan Masa Depan”.
Dalam pidatonya, Soedjatmoko mengemukakan pandangannya perihal konstelasi global, di mana negara-negara adikuasa terlibat dalam berbagai konflik baik di level regional maupun internasional. Baginya, kemenangan militer suatu negara atas negara lain bukanlah jaminan bahwa dunia akan kembali stabil. Perdamaian harus segera diwujudkan karena, lanjut dia, perdamaian ini bukan lagi menjadi tujuan yang diimpikan, melainkan sudah berubah menjadi kebutuhan.
Mengenang Soedjatmoko
Dosen Sejarah UGM yang juga dikenal sebagai sejarawannya Muhammadiyah, Adaby Darban, turut merasa kehilangan dengan wafatnya Soedjatmoko. Kepada jurnalis Kedaulatan Rakyat yang mewawancarainya selepas wafatnya Soedjatmoko, ia menyebut bahwa ada kecenderungan pemikiran berbeda yang ditawarkan Soedjatmoko di waktu-waktu terakhir kehidupannya. Soedjatmoko, menurut Adaby, mulai menggunakan konsep-konsep Islam sebagai solusi mengakhiri berbagai problem yang melanda dunia.
Seniman Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), yang menjuluki Bung Koko sebagai “Sang Panembahan” sekaligus “’embahnya’ seluruh ilmuwan sosial di negeri ini” mencoba menafsirkan makna meninggalnya Soedjatmoko di Yogyakarta dan khususnya dalam kaitannya dengan UMY. Dalam artikelnya, ‘Eyang Koko telah Ber-Mikraj’, Cak Nun menulis bahwa Yogyakarta, kota tempat Bung Koko meninggal, adalah “laboratorium intelektual keindonesiaan”, dan “tempat di mana aspirasi dan ghairrah kesejarahan hari depan kita diolah”. Kota ini, lanjut Cak Nun, merupakan “panggung yang paling tepat untuk keberangkatan agung” Soedjatmoko.
Adapun tentang meninggalnya Bung Koko ketika akan berceramah di UMY, sebuah lembaga yang berada di bawah naungan Muhammadiyah, Cak Nun mencoba membacanya sebagai bentuk peremajaan ulang visi Muhammadiyah: “Muhammadiyah, betapa pun, adalah suatu kelompok ‘pengolahzaman’ yang dikenal sebagai reformis, pembaru, pengubah, penentu kecenderungan menuju baldah thayyibah. Dan, seandainya Muhammadiyah pada dasawarsa terakhir ini mengalami stagnasi pemikiran serta kegamangan modus-modus gerakan: bukankah ‘pilihan momentum’ kematian Eyang Koko justru merupakan tanda ishlah yang relevan? Dan, Universitas Muhammadiyah: bukankah di sini ‘kawah candradimuka’ paling utama dari elan iqro’-nya Muhammadiyah? Kematian Eyang Koko adalah wudu dan tawaduk yang membersihkan kampus Wirobrajan itu untuk memperoleh kembali daya makrifat ilmiahnya”.
Muhammad Yuanda Zara, Dosen Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta
Sumber: Majalah SM Edisi 24 Tahun 2019