JAKARTA, Suara Muhammadiyah-Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengutip pakar politik yang juga mantan Ketua PP Muhammadiyah alm Bahtiar Effendy, mengatakan bahwa kita sering hanya berganti rezim tetapi tidak berubah. Hal itu merujuk fakta bahwa setelah lebih dari 20 tahun reformasi, ada banyak hal yang secara mendasar tidak mengalami perubahan.
Meskipun menganut demokrasi, kata Mu’ti, banyak masalah di republik ini diselesaikan oleh tidak lebih dari 20 orang saja, para ketua partai dan pucuk pimpinan tinggi negara tertentu. “Demokrasi kita tidak sedang baik-baik saja,” ujarnya dalam seminar memperingati 50 tahun CSIS. Selain Mu’ti, sejumlah tokoh juga menjadi pembicara: Mahfud MD Menko Polhukam; Harry Tjan Silalahi CSIS Indonesia; Yenny Wahid Wahid Foundation; dan Yudi Latif Aliansi Kebangsaan.
Mu’ti menyatakan bahwa Muhammadiyah telah merumuskan dokumen Indonesia Berkemajuan. Dokumen ini menyoroti perjalanan bangsa Indonesia dan menyimpulkan bahwa ada beberapa persoalan yang perlu dilihat dari hulu. “Perlu ada amandemen terbatas UUD 1945, misalnya, pertama, MPR perlu dikembalikan menjadi lembaga tinggi negara.”
Kedua, perlu melakukan perubahan komposisi anggota MPR, di mana selama ini hanya diwakili oleh DPD dan DPR. Sementara di sana ada banyak perwakilan golongan minoritas yang tidak terwakili oleh suara terbanyak. “Kelompok minoritas tanpa ditunjuk atau diangkat, maka tidak mungkin terpilih,” ujarnya.
Ketiga, perlu semacam GBHN (Garis Besar Haluan Negara). Ketika ada semacam haluan negara, ungkap Mu’ti, maka siapapun yang terpilih dapat melakukan tugasnya secara berkelanjutan. Pergantian rezim tidak menjadi persoalan besar jika ada semacam haluan negara. Seperti di AS, siapapun presiden terpilih, akan mengikuti haluan itu.
Menurut Mu’ti, pilihan sistem demokrasi semestinya memudahkan kita semua untuk menjadi lebih sejahtera. Nilai-nilai demokrasi seperti emansipasi, kemanusiaan, kesetaraan, meritokrasi, pluralisme, dan lainnya perlu dihidupkan kembali. Dalam demokrasi juga semua pihak berada dalam posisi setara. “Saya tidak setuju dengan sebutan agama mayoritas dan minoritas, karena keyakinan itu tidak dapat dikuantifikasi.”
Mahfud MD menyatakan bahwa Indonesia yang sangat beragam ini membutuhkan sistem demokrasi. Demokrasi itu bukan sistem yang sempurna, tetapi paling cocok dengan realitas kebangsaan dan memenuhi banyak hal untuk mengatur Indonesia. Mahfud mengakui ada kekurangan dalam praktek demokrasi, misalnya tentang kesempatan semua ikatan primordial untuk ikut serta. “Dalam prakteknya, demokrasi yang seharusnya menjadi penguat bagi ikatan kebangsaan, justru kini menjadi destruktif.”
Harry Tjan Silalahi menyebut, “Sekarang ini kehidupan demokrasi kita telah tercampur antara yang pokok atau asasi dengan kapitalisme. Kita terjerat oleh kapitalisme yang besar.” Menurutnya, masalah kita di era disruptif sekarang ini adalah masalah kerohanian. Di sini perlu menghidupkan kembali falsafah Pancasila, misalnya, apa yang dimaksud dengan “permusyawaratan/perwakilan” dalam sila keempat Pancasila.
Yudi Latif mengatakan, masa depan bangsa ditentukan oleh interaksi tiga hal: tata nilai mental/karakter, tata kelola lembaga politik, tata material/teknologi. Demokrasi itu berbicara tentang tata kelola, tata kelola menentukan maju atau mundurnya suatu negara. Ketika reformasi, kita ingin melakukan relaksasi, tetapi ada hal yang luput. Misalnya dalam hal meritokrasi, orang-orang yang punya kapasitas kalah oleh orang yang mengandalkan popularitas dan penguasaan modal.
Menurut Yudi, penanaman nilai karakter diperankan oleh komunitas, baik komunitas agama maupun komunitas pendidikan. Jalan nation state Indonesia tidak dengan mengusir agama dari ruang publik, tidak dengan membuat agama menjadi tidak nyaman. Ke depan perlu dikedepankan peran civic culture atau civic religion. Agama yang mulanya berorientasi pada doktrin perlu didorong pada orientasi etos, etis, nilai, dan virtue.
Yenny Wahid, menyatakan bahwa media digital menjadi tantangan tersendiri dalam penguatan demokrasi, misalnya tentang polarisasi dan pembelahan ekstrem. Masing-masing pendukung pasangan calon terus-menerus dihujani postingan-postingan yang memicu pembelahan. Post truth, hoaks, fake news juga menjadi isu yang memicu kerentanan dan kekacauan, misalnya terjadi di AS di masa Donald Trump. “Masalah cyber security tidak gampang,” ujarnya. (ribas)