Islam Sebagai Agama Perdamaian
Oleh: Prof Dr KH Dadang Kahmad, MSi
Perdamaian merupakan tujuan utama diturunkannya Al-Qur’an ke muka bumi. Sebagai way of life umat Islam, Al-Qur’an mengandung nilai-nilai etika sosial yang bersifat universal yang bakal menciptakan perdamaian kalau diperjuangkan sungguh-sungguh. Maka jika Al-Qur’an menginformasikan kepada umat Islam bahwa sesama manusia harus saling mencintai dan mengasihi (Qs. 60: 7), berbuat baik dan adil kepada musuh (Qs. 60: 8); mengindikasikan, kehidupan harus dipenuhi dengan perdamaian.
Islam, dalam kondisi ini akan menjadi agama damai dan mendamaikan. Muslim yang tidak egois, akan selalu berjuang membagikan kasih Tuhan kepada sesama manusia. Secara sufistik, muslim yang tidak egois ini akan memahami Islam sebagai agama yang mendamaikan di muka bumi dengan berusaha menciptakan iklim kondisi pemahaman agama inklusif, toleran, dan damai di tengah-tengah medan sosial.
Betul juga apa yang dikatakan Prof Komaruddin Hidayat (250 Wisdoms, 2010), beragama tidak hanya cukup percaya dan patuh pada perintah dalam agama saja, tetapi juga harus meneladani setiap ajaran Tuhan dengan merefleksikan kedamaian di semesta alam. Karena itu, lanjutnya beragama pada awalnya sesuatu yang sangat privat, sementara ekspresi keberagamaannya harus membuat “aman” lingkungan sosial.
Keamanan merupakan salah satu wujud ekspresi Islam mendamaikan. Di dalam bahasa Arab juga, kata “iman” seakar kata dengan “aman”, karena itulah seorang muslim yang beriman sejatinya mendatangkan rasa aman bagi semesta alam. Selain itu muslim yang beriman mengakui secara total eksistensi Tuhan, dan secara horizontal membangun kepercayaan sesama dengan menebarkan perdamaian.
Tidak tepat rasanya kalau jihad fi sabilillah diartikan berperang di jalan Allah; karena untuk konteks kekinian lebih tepat diartikan sebagai upaya menebarkan kedamaian di sekitar untuk menciptakan iklim aman di tengah medan sosial yang plural dan majemuk. Makna jihad yang sebetulnya ialah menciptakan daerah/wilayah yang aman dan sentosa (daarul-amani).
Sir Muhammad Iqbal, penyair Urdu kenamaan, dengan sangat cantik dan manis menulis makna jihad dalam kehidupan sehari-hari. Yaqin muhkam ‘amal payham muhabbat fatihi ‘alam/Jihad e-zinagani mein yeh hain mardon ki shamshiren. Artinya, pedang (perang) bukan satu-satunya senjata dalam jihad. Senjata sesungguhnya ialah keyakinan diri dan usaha terus menerus dengan cinta dan kepekaan.
Islam, bahkan, tidak menghendaki ajarannya disebarkan dengan cara memaksa (laa ikraha fi al-din). Islam juga menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sebagai ejawantah prinsip-prinsip rahmatan lil alamin.
Idealnya bagi kita, kesadaran atas Tuhan (baca: iman) berpengaruh positif menjadi kesatuan psikomotorik “perilaku bermoral”. Dalam semangat ketuhanan, hidup bermoral tidak hanya persoalan “kesediaan diri”, namun juga “keharusan diri” sebagai bagian dari perwujudan fitrah kemanusisaan. Karena itu, agama Islam bukan hanya menyangkut persoalan ortodoksi an sich, melainkan juga soal kemampuan mempraktikkan (ortopraktik) ajaran welas asih, sehingga nilai-nilai kebajikan Islam memberikan peran signifikan bagi kehidupan umat manusia.
Maka, melawan “teror teologis” yang dilakukan garis keras Islam, ialah dengan membawa ajaran welas asih dalam bingkai praktikal (ortopraksi). Terma ortopraksi sederhananya ialah mempraktikkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Istilah ini berlawanan dengan ortodoksi yang menggambarkan penganut agama lebih memahami ajaran agama sebagai sebuah ideologi. Ketika umat hanya memahami Islam sekadar ortodoksi, jangan heran kalau dalam praktik keseharian, Islam selalu diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol ideologis. (im)
Sumber: Majalah SM Edisi 21 Tahun 2020