Almanak

Almanak

untuk kejelasan identitas sebagai seorang muslim, selayaknya rumah kita terhiasi kalender hijriyah

Almanak

Penamaan waktu, menurut Bandung Mawardi, bermula dari kedatangan peradaban asing ke Nusantara yang memperkenalkan angka dan kata. Era selanjutnya, tradisi penandaan waktu diperkuat dengan kehadiran mesin cetak. Urusan penamaan waktu itu dikenal dengan sebutan almanak atau kalender.

Abad XX mulanya orang di tanah jajahan mengenal kata almanak. Kata almanak berasal dari kata “almanakh” yang berarti musim, iklim. Almanak pada dasarnya berisi data astronomi: waktu terbit/tenggelamnya matahari dan bulan, waktu purnama dan gelombang pasang tinggi, garis waktu, dan seterusnya. Kitab Arti Logat Melajoe (1914) karangan D. Iken dan E. Harahap mengartikan almanak sebagai “penoendjoek hari”. Mirip dengan kata “takwim” dalam Bahasa Arab, yang bermakna “perhitoengan hari”.

Menurut Ensiklopedi Religi (2015) karya Nasiruddin Zuhdi, secara umum dikenal tiga jenis penanggalan. Pertama, Kalender Islam, menganut sistem edaran bulan mengelilingi bumi dan bumi mengelilingi matahari. Kedua, Kalender Yahudi, menggunakan nama-nama bulan berdasarkan nama musim, semisal: Etanim, Bul, Abib, Ziw. Pasca pembuangan, menggunakan nama semisal: Nian, Iyar, Siwan, Tamus, Ab. Ketiga, Kalender Masehi.

Kalender Masehi atau disebut juga Kalender Gregorius (Kalender Gregorian), umum digunakan di seluruh dunia. Deret waktu tahun 1 Masehi dihitung dari masa kelahiran Isa al-Masih (Yesus Kristus). Sebelum tahun 1, disebut sebagai tahun SM (Sebelum Masehi), BC (Before Christ), atau BCE (Before Common Era). Tahun setelah Masehi disebut juga AD (Anno Domini), atau CE (Common Era).

Selain kalender yang didasarkan pada pengamatan astronomi, masyarakat di Nusantara juga memiliki kalender lokal. Lazim dikenal sebagai sistem Pranotomongso (penanda musim), yang dikaitkan dengan aktivitas pertanian, bercocok tanam, atau menangkap ikan. Sistem kalender Pranatamangsa cukup rumit: selain menggunakan panduan benda langit, juga mempertimbangkan faktor fenomena alam, meteorologi, ekologi, serta ungkapan sastra.

Di kalangan umat Islam, penandaan unit waktu Kalender Hijriah didasarkan pada tonggak peristiwa hijrah Nabi Muhammad dari Makkah ke Madinah, pada tahun 622 Masehi. Namun, belum ada Kalender Hijriah Global yang berlaku tunggal: satu hari di satu tanggal yang sama di seluruh dunia. Umat Islam memiliki banyak perbedaan dalam merumuskan kalender, semisal kalender Islam kamariah hijriah dan non-hijriah. Dari segi perhitungan, dibedakan menjadi kalender aritmatik dan kalender hisab hakiki. Dari segi zonasi, juga ada yang bersifat zonal, bizonal, tiga zona, maupun empat zona.

Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Syamsul Anwar mengusulkan lima prinsip kalender hijriah global tunggal. Pertama, penerimaan hisab, sesuai dengan teori perubahan hukum dalam ushul fikih. Kedua, transfer imkanu rukyat. Jika sudah imkanu rukyat di salah satu tempat di muka bumi, maka keesokan harinya masuk bulan baru di seluruh dunia. Ketiga, kesatuan matlak. Seluruh muka bumi dipandang sebagai satu matlak sebagai konsekuensi dari transfer imkanu rukyat. Keempat, keselarasan hari dan tanggal di seluruh dunia. Berlaku satu hari dalam satu minggu yang ditandai dengan satu tanggal yang sama. Momennya bisa berbeda, seperti halnya ibadah Jum’at. Kelima, penerimaan garis tunggal internasional. Kalender Hijriah Global Tunggal berdasarkan kepada penerimaan Garis Tanggal Internasional (GTI) yang berlaku sekarang. (ribas)

Sumber: Majalah SM Edisi 1 Tahun 2020

Exit mobile version