YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Tidak terasa rangkaian acara menuju Kongres Sejarawan Muhammadiyah sudah sampai pada pekan keempatnya. Masih sama seperti pekan sebelumnya, malam lalu (26/7) Bedah Karya Sejarah Muhammadiyah berdiskusi dengan tema Muhammadiyah lokal di Jawa dan Luar Jawa.
Tulisan sejarah berkaitan dengan tema tersebut diwakili oleh Matahari Terbit di Kota Wali: Sejarah Pergerakan Muhammadiyah Gresik, 1926-2010 dari Mustakim. Sebagai sejarawan yang berangkat dari bangku akademik, Ilmu Sejarah, Universitas Gadjah Mada, Mustakim memulai penjelajahannya menulis sejarah lokal sejak penelitian skripsinya.
Ketika itu ia menulis tentang sejarah Muhammadiyah di Lamongan dengan bimbingan langsung Ahmad Adaby Darban (almarhum). Sejarawan kawakan yang banyak menulis tentang sejarah Islam dan Muhammadiyah secara khusus. Hingga saat ini Mustakim sudah menelurkan 25 judul buku yang berisi tentang sejarah lokal dan inovasi pembelajaran.
Sebelum masuk pada substansi bahasan, Mustakim mengawali pemaparannya dengan beberapa poin terkait panduan menulis sejarah lokal Muhammadiyah. Pertama, pendekatan multikultural dalam meneliti sejarah supaya dapat menangkap realitas lingkungan masyarakat lokal yang plural.
Kedua, menyadari bahwa kondisi di daerah tidak lepas dari konteks wilayah, nasional, dan global. Ketiga, narasi sejarah ditulis secara kontekstual berdasar fenomena yang terjadi, sehingga dapat membangun daya nalar dan tidak bersifat indoktrinasi. Keempat, membentuk karakter bangsa (nation building).
Poin pertama sampai ketiga yang disampaikan Mustakim di atas sejalan dengan ide pascakolonialisme dari Bambang Purwanto dan Asvi Warman Adam dalam Menggugat Historiografi Indonesia.
Itulah juga alasan penulisan buku Sejarah Pergerakan Muhammadiyah Gresik ini dimulai dengan narasi situasi kebudayaan Islam Gresik berabad-abad sebelum kedatangan ide modernisasi.
Diceritakan bahwa ide pendirian Muhammadiyah sebagai institusi tidak lepas dari pengaruh tokoh-tokoh Persyarikatan Surabaya, KH. Mas Mansur. Selain itu, dipicu juga oleh perkembangan dan penyebaran media massa.
Hal-hal itu diperkuat lagi dengan keaktifan pemuda Muslim untuk mencari tahu langsung ke pusat kegiatan Muhammadiyah di Kauman, Yogyakarta. Mereka adalah Fakih Usman, Ahmad Saleh, Adnanihaji, dan Hasnan.
Langkah mereka untuk mendirikan Muhammadiyah di Kota Wali tentu tidak mudah. Mustakim menyebutnya dengan istilah, “menembus benteng tradisi.” Bagaimanapun Gresik merupakan salah satu pusat pengajaran Islam tradisional di mana dua dari Sembilan Wali dibangunkan makamnya di sini, yakni Sunan Maulana Malik Ibrahim dan Sunan Giri.
Pemuda-pemuda penggerak awal Muhammadiyah itu menyiasati kondisi demikian dengan mendekati ulama-ulama Islam tradisional. Bila sudah seperti itu, meskipun gesekan dengan warga terjadi, setidaknya mereka mendapat “perlindungan” dari para pemuka agama setempat.
Berkaitan dengan poin pendekatan multikultural dalam menulis sejarak lokal Muhammadiyah, Mustakim membagi kondisi masyarakat Gresik menjadi dua. Gresik sisi utara cenderung lebih mudah membangun kebudayaan Islam baru dari Muhammadiyah, sedangkan sisi selatan tidaklah demikian. Salah satunya dikarenakan sisi utara sudah terbiasa terpapar dengan kebudayaan Islam dari para Wali Songo.
Masih dalam konteks cara sejarawan membaca “kebudayaan Islam”, Profesor Purnawan Basundoro dari Universitas Airlangga yang bergabung dalam ruang digital kemarin menyinggung. Dikatakannya bahwa peneliti sejarah seharusnya jelas dalam membaca kebudayaan Muhammadiyah yang dilakukan masyarakat. Pada kenyataannya, banyak orang-orang bermuhammadiyah dalam konteks organisasi, bukannya tradisi keagamaan.
Dari sana, sesi diskusi pun semakin berkembang hingga melebih durasi dua jam. Pada penghujung bedah karyanya, Mustakim mengingatkan kembali audiens mengenai pentingnya menuliskan sejarah lokal di daerahnya masing-masing.
Akhir kata, sampai jumpa di edisi Bedah Karya Sejarah Muhammadiyah senin malam depan dan pada Kongres Sejarah Muhammadiyah. (ykk)
#Kongres Sejarawan Muhammadiyah