Petualangan Lebah Sepanjang Sejarah Islam
Oleh: Azhar Rasyid
Lebah adalah salah satu hewan yang spesial dalam ajaran Islam. Hewan ini membawa banyak faedah bagi kesehatan manusia, terutama dari madu dan royal jelly yang dihasilkannya. Keberlangsungan hidup tanaman juga terbantu oleh lebah madu yang membantu melakukan penyerbukan. Perilaku sosial, kerja keras dan keberanian lebah dapat dijadikan sebagai teladan bagi manusia. Tak heran bila sebuah surat dalam Al-Quran mengacu pada hewan yang berdengung ini (surat ke-16, An-Nahl). Nabi Muhammad SAW bahkan mengumpamakan mukmin seperti lebah yang hanya memakan yang baik dan menghasilkan yang baik pula serta bila hinggap di ranting tidak membuatnya rusak atau patah.
Di luar posisinya sebagai hewan yang istimewa dalam Islam, lebah juga merupakan makhluk sejarah dengan jejak historis yang membentang sepanjang sejarah Islam. Bagaimana lebah “berpetualang” selama satu setengah milenium era Islam?
Lebah sudah dikenal oleh berbagai komunitas dunia sejak dulu kala. Masyarakat pedesaan Mediterania pra-Islam, misalnya, mengumpulkan madunya dari hutan dan memanfaatkannya untuk menjaga kondisi fisik mereka. Perlahan-lahan lebah pun mulai dibudidayakan agar manfaatnya bisa diperoleh secara optimal. Selain di Mediterania, madu juga sudah dimanfaatkan oleh masyarakat Mesir kuno sebagai obat untuk luka bakar.
Para pengamat sejarah Islam, umpamanya F. Viré, menekankan bahwa kedatangan Islam membawa apresiasi dan perlakuan terhadap lebah ke level yang lebih tinggi. Sebagaimana diutarakan di bagian awal, lebah kerap diacu secara positif baik oleh Allah SWT melalui firman-Nya dalam Al-Quran maupun Nabi Muhammad SAW dalam hadisnya. Ajaran Islam mendorong penganutnya agar tidak hanya menggunakan madu yang dihasilkan lebah, tapi lebih penting lagi, memikirkan hikmah yang ada di balik penciptaan lebah. Ini termasuk bagaimana lebah memproduksi madu, bagaimana mereka membagi pekerjaan di dalam koloninya, dan bagaimana mereka melawan untuk mempertahankan dirinya.
Dampak dari seruan untuk merenungkan lebah ini tampak beberapa ratus tahun setelah Nabi wafat, saat Islam sudah tersebar hingga ke luar Jazirah Arab. Ini adalah masa ketika ilmu pengetahuan tengah berkembang di dunia Islam. Di luar bidang kajian “berat” seperti filsafat, matematika, fisika, dan astronomi, kaum terpelajar Muslim rupanya juga tertarik menelisik tema-tema “ringan” seperti lebah. Ini ditempatkan dalam konteks studi tentang agrikultur. Awalnya kalangan naturalis (ahli ilmu alam) Muslim mempelajari tentang lebah dari para pemikir Yunani. Lama-kelamaan mereka bisa menulis karya sendiri seputar lebah.
Lebah merupakan salah satu topik kajian di masa kejayaan pengetahuan Islam di Spanyol. Setidaknya ada dua ahli agronomi Muslim di Spanyol yang memberi perhatian besar pada studi lebah, khususnya dalam rangka pembudidayaan lebah. Mereka adalah Ibn Bassal dari Toledo (abad 11 M) dan Ibn al-‘Awwam dari Seville (abad 13 M). Nama mereka memang tidak setenar para sarjana Muslim lain yang mempelajari aljabar atau mengamati bintang di langit. Mereka menulis tema-tema yang sekilas tampak usang dibanding koleganya di bidang matematika dan astronomi, namun dalam kenyataannya sangat bermanfaat bagi keberlangsungan umat manusia, yakni pertanian dan peternakan, termasuk budi daya lebah. Di masa ini pula lahir apa yang dikenal sebagai Kalender Kordoba, sebuah daftar berisi waktu-waktu penting dalam proses peternakan lebah.
Bapak kedokteran Muslim, yang namanya sampai dijadikan sebagai nama rumah sakit sebagai penghargaan atas ilmunya, Ibnu Sina (hidup antara abad 10-11 M), mengatakan bahwa madu merupakan asupan penting baik untuk menjaga kebugaran tubuh, memperlancar pencernaan bahkan memperkuat ingatan. Madu lebah merupakan salah satu tema yang ia bahas dalam salah buku kedokterannya yang paling penting, yang menjadi rujukan di dunia kedokteran selama berabad-abad di Eropa dan Dunia Islam, al-Qanun fi’l-tibb (The Canon of Medicine).
Meningkatnya penghargaan terhadap lebah, membuat berbagai komoditas yang dihasilkan lebah, terutama madu dan lilin lebah, menjadi produk primadona di era interaksi perdagangan regional yang melibatkan kaum Muslim. Di Maroko, Aljazair, Mesir, Persia dan India, misalnya, madu adalah salah satu barang yang dijual di pasar, bahkan diekspor ke kawasan-kawasan yang jauh. Orang Mesir adalah adalah salah satu penggemar berat madu lebah, yang mengkonsumsinya dengan mencampurkannya dengan bahan minuman lain.
Lilin lebah juga diekspor dari negeri-negeri Muslim di Afrika Utara ke Eropa terutama sejak akhir abad 13 M. Di Eropa permintaan lilin lebah sangat tinggi, terutama sebagai bahan bakar untuk lampu. Di sana lampu dipakai di berbagai acara penting keagamaan yang membutuhkan penerangan. Lilin lemak, yang sebelumnya lazim dipakai di Eropa, ditinggalkan lantaran dianggap mengeluarkan bau tak sedap, dan digantikan dengan lampu yang dibahanbakari oleh lilin lebah. Ekspor lilin lebah dari kawasan Maghribi ke Eropa ini berlangsung hingga beberapa abad kemudian.
Selain secara fisik, lebah juga hadir dalam bentuk perumpamaan. Sejumlah peribahasa Arab menggunakan lebah atau madu untuk menyampaikan pesan moral kepada publik. Jika ada orang yang perkataannya berlawanan dengan perbuatannya, umpamanya, kepadanya akan dikatakan “kalām ka ‘l-‘asal wa-fi’l ka ‘l-asal” (bahasa semanis madu, perbuatan setajam ujung tombak). Di Indonesia sendiri, dalam sebuah kesempatan sekitar akhir abad ke-19, ayahanda Haji Rasul (pembawa Muhammadiyah ke Minangkabau) menerangkan kepada si anak betapa ramai dan kompaknya orang mengaji di masjid di kampung mereka melalui perbandingan dengan lebah. “Bunyi suara orang menderas kaji”, kata sang ayah, “seperti lebah terbang”. Demikianlah disampaikan Hamka dalam buku tentang ayahnya, Ayahku.
Lebah dan madu juga masuk dalam perdebatan di internal Persyarikatan Muhammadiyah di era 1950an soal posisi para pemimpin Muhammadiyah di dalam organisasi politik, dalam hal ini Partai Masyumi. Muhammadiyah memperbolehkan anggotanya untuk berpartisipasi di dunia politik. Ini sesuai dengan keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-32 tahun 1953. Bagi Muhammadiyah, ada banyak cara untuk memajukan kaum Muslim, baik melalui organisasi sosial maupun politik.
Yang terpenting adalah saat menjadi politisi para anggota Muhammadiyah ini tetap bertindak sesuai dengan ajaran Islam. Mengutip pidato iftitah Muktamar Muhammadiyah ke-32 pada tahun 1953, pengamat sejarah Muhammadiyah, MT Arifin, dalam bukunya, Muhammadiyah Potret yang Berubah, menggambarkan tentang “perginya” para tokoh Muhammadiyah ini ke lapangan politik: “diibaratkan bagaikan lebah meninggalkan sarangnya dan bertebaran di kebun-kebun bunga, yang apabila kembali ke sarangnya nanti akan membawa madu yang manis, lezat juga bermanfaat bagi Muhammadiyah”.
Azhar Rasyid, Penilik sejarah Islam
Sumber: Majalah SM Edisi 22 Tahun 2017