Memahami Kembali Ideologi Muhammadiyah
Oleh Prof DR KH Haedar Nashir, M.Si.
Pasca reformasi 1998 hingga saat ini beragam pemikiran yang berhulu dari ideologi Islam berkembang bak jamur di musim hujan. Gerakan yang sebelumnya bersifat “ilegal” atau “underground” bermunculan dan menjadi “legal” oleh proses demokrasi yang sangat bebas. Gerakan-gerakan Islam ini baik aksi maupun pahamnya menyebar ke berbagai lingkungan umat Islam, termasuk ke kampus-kampus. Pada umumnya membawa ideologi Islam transnasional, sebagian daur-ulang dari ideologi lama yang dulu dibubarkan.
Dalam kehidupan bernegara pun perkembangan politik dan ekonomi liberal semakin tak terbendung, yang memiliki akar konstitusional pada amandemen UUD 1945. Banyak masalah rumit terjadi dan digugat para aktor politik dan publik, semuanya bermula dari keran liberalisasi produk amandemen itu. Bangkitnya “kelompok minoritas” tertentu di panggung politik yang sering dijadikan isu politik mutakhir, selain penguasa di bidang ekonomi, bermula dari amandemen itu. Lalu? Perlu perenungan semua pihak, daripada mengeluh terus dan menyalahkan berbagai pihak, yang justru dulu dibikin sendiri oleh proses reformasi yang penuh pestapora.
Muhammadiyah sebagai organisasi besar tidak lepas dari pengaruh beragam ideologi Islam maupun politik yang beragam itu. Pikiran-pikiran yang cenderung “konservatif” atau “puritan” dari yang biasa hingga ultra yang sering disebut “kanan” maupun yang cenderung “bebas” atau “liberal” yang secara gampang disebut “kiri”, masuk ke rumah besar Muhammadiyah. Mungkin tidak selalu tepat dengan kategori-kategori seperti itu, tetapi sebagai cara memudahkan analisis dapat dipakai tanpa pemutlakan, sama seperti menggunakan istilah “wasathiyah”, “moderat”, atau “tengahan” yang semuanya kategorisasi.
Muhammadiyah pernah merasakan dampak masuknya “ideologi politik Islam” yang “ekslusif” itu, sehingga mengeluarkan SK nomor 149/2006 yang awalnya sempat kontroversi di internasl sendiri, tetapi lama kelamamaan diperoleh manfaatnya untuk konsolidasi ideologis. Karenanya, lebih khusus pasca Pemilu 2019 yang mengalami polarisasi politik dan ideologi cukup tajam, penting di seluruh lingkungan Persyarikatan dipahamkan kembali mengenai ideologi Muhammadiyah dalam berbagai aspeknya agar dapat memposisikan dan memerankan Gerakan Islam ini dengan tepat.
Ideologi Berkemajuan
Muhammadiyah dalam perspektif ideologi keagamaannya merupakan gerakan Islam berideologi kemajuan dengan misi dakwah dan tajdid sebagai identitas gerakannya. Idiom “kemajuan”, “maju”, “memajukan”, dan “berkemajuan” telah melekat dalam pergerakan Muhammadiyah sejak awal berdiri hingga dalam perjalanan berikutnya. Dalam Statuten tahun 1912, tercantum kata “memajukan” dalam frasa tujuan Muhammadiyah, yaitu “…b. Memajoekan hal Igama kepada anggauta-anggautanja”. Kyai Dahlan, seringkali mengungkapkan pentingnya berkemajuan. Menjadi kyai, jadilah kyai yang maju. Semua langkah Kyai Dahlan dan Muhammadiyah melalui kepeloporan pembaruan sistem pendidikan, kesehatan, sosial, gerakan perempuan, dan lainnya merupakan gerak kemajuan.
Ideologi kemajuan itulah yang kemudian direpresentasikan dalam pandangan “Islam Berkemajuan” sebagaimana Pernyataan Pikiran Muhammdiyah Abad Kedua hasil Muktamar 2010. Muhammadiyah memandang bahwa Islam merupakan agama yang mengandung nilai-nilai ajaran tentang kemajuan untuk mewujudkan peradaban umat manusia yang utama. Kemajuan dalam pandangan Islam melekat dengan misi kekhalifahan manusia yang sejalan dengan sunatulah kehidupan, karena itu setiap muslim baik individual maupun kolektif berkewajiban menjadikan Islam sebagai agama kemajuan (din al-hadlarah) dan umat Islam sebagi pembawa misi kemajuan yang membawa rahmat bagi kehidupan.
Kemajuan dalam pandangan Islam bersifat multiaspek baik dalam kehidupan keagamaan maupun dalam seluruh dimensi kehidupan, yang melahirkan peradaban utama sebagai bentuk peradaban alternatif yang unggul secara lahiriah dan ruhaniah. Adapun da’wah Islam sebagai upaya mewujudkan Islam dalam kehidupan diproyeksikan sebagai jalan perubahan (transformasi) ke arah terciptanya kemajuan, kebaikan, keadilan, kemakmuran, dan kemaslahatan hidup umat manusia tanpa membeda-bedakan ras, suku, golongan, agama, dan sekat-sekat sosial lainnya. Islam yang berkemajuan menghadirkan Islam dan dakwah Islam sebagai rahmatan lil-‘alamin dimuka bumi.
Ideologi Muhammadiyah berkemjauan memiliki dasar pada pemahaman Islam yang luas dan mendasar. Dalam Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah terkandung pandangan Islam sebagai agama yang kaffah menyangkut ajaran akidah, ibadah, akhlak, dan muamalah-dunyawiyah. Sumber nilai utama Islam ialah Al-Quran dan Sunnah Nabi yang maqbulah dengan mengembangkan ijtihad dan akal pikiran yang sesuai jiwa ajaran Islam. Dalam Manhaj Tarjih disebutkan bahwa Islam dipahamai secara mendalam dan menyeluruh dengan pendekatan bayani, burhani, dan irfani sehingga tidak akan terjebak pada penyederhanaan, bias, sempit, dan ekstrimitas atau ghuluw dalam beragama.
Dalam referensi studi Islam kontemporer ideologi keagamaan Muhammadiyah adalah ideologi reformis-modernis (pembaruan) yang menampilkan corak Islam yang berkemajuan, yang memadukan antara pemurnian (purifikasi) dan pengembangan (dinamisasi) dan bersifat tengahan (wasithiyyah) dalam meyakini, memahami, dan melaksanakan ajaran Islam, sehingga Islam senantiasa aktual dan menjadi agama untuk peradaban (din al-hadlarah) sepanjang zaman. Dalam kajian gerakan Islam kategorisasi reformisme atau modernisme Islam lazim dibedakan dari gerakan Islam lain yang bercorak Islamisme (fundamentalisme, radikalisme) dan Islam sekular (sekularisme, liberalisme). Kategorisasi itu tidak keliru sebagai alat analisis untuk mamahami, yang penting dipakai secara proporsional dan tanpa pemutlakan.
William Shepard (2004) mengaktegorisasikan Muhammadiyah sebagai kelompok ”Islamic-Modernism”, yang lebih terfokus bergerak membangun “Islamic society” (masyarakat Islam) daripada perhatian terhadap “Islamic state” (negara Islam); yang fokus gerakannya pada bidang pendidikan, kesejahteraan sosial, serta tidak menjadi organisasi politik kendati para anggotanya tersebar di berbagai partai politik. Kategorisasi tersebut tentu bersifat relatif tetapi bermanfaat untuk mengidentifikasi suatu corak pemikiran atau gerakan Islam. Dalam konteks politik pun karakter Muhammadiyah sebagai gerakan Islam moderat sangat kuat sebagaimana terkandung dalam Kepribadian dan Khittah Muhammadiyah. Langkah Muhammadiyah menyikapi politik dari periode ke periode pun tidak berubah, yakni berpedoman pada prinsip ideologi tersebut.
Perlu Pemahaman
Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi yang terbuka. Berbagai pemikiran dan orang dapat masuk ke dalam Muhammadiyah, sehingga gerakan Islam ini menjadi besar dan maju. Dalam pemikiran Tarjih pun keterbukaan menjadi bagian dari pandangan keagamaan Muhammadiyah. Namun bukan berarti segala pemikiran dan orang menjadi serba-boleh dan serba-bebas tanpa koridor organisasi. Organisasi apapun selalu memiliki prinsip-prinsip dan mekanisme yang melekat di dalamnya berupa sistem, pandangan, budaya, dan identitas diri. Tanpa prinsip dan bingkai maka organisasi berubah menjadi kerumunan sosial, padahal Muhammadiyah bukanlah kerumunan.
Setiap anggota, lebih-lebih kader Muhammadiyah menurut AD/ ART harus memenuhi syarat, termasuk bersetuju dengan asas, maksud, dan tujuan Muhammadiyah. Muhammadiyah juga memiliki tonggak pada sejarah, pemikiran, dan jejak langkah Kyai Dahlan dan generasi awal. Ini bukanlah Danlanisme dan romantisme, tetapi pemikiran pendiri Muhammadiyah tersebut menjadi khazanah penting sebagai rujukan historis dan ideologis yang membentuk karakter Muhammadiyah sebagaj gerakan Islam berkemajuan dalam orientasi misi dakwah dan tajdid yang mencerahkan. Muhammadiyah yang terputus dari pemikiran dan jejak Ahmad Danlan bukanlah Muhammadiyah.
Anggota Muhammadiyah juga harus memahami paham Islam sebagaimana Manhaj Tarjih dan segala keputusan keagamaannya. Muhammadiyah mengeluarkan Tafsir At-Tanwir. Meskipun Muhammadiyah bukanlah mazhab tetapi paham keagamaan dalam Muhammadiyah merupakan rujukan keagamaan resmi Persyarikatan yang mengikat segenap anggota. Islam sebagai agama atau ajaran satu dan mutlak, tetapi paham tentang Islam itu beragam, ada kesamaan tetapi banyak pula perbedaan. Tidak otomatis paham tentang Islam dari seseorang yang masuk dalam Muhammadiyah menggambarkan pandangan keislaman Muhammadiyah jika yang bersangkutan tidak memahami dan memedomani paham agama dalam Muhammadiyah sebagaimana Manhaj Tarjih.
Demikian halnya Muhammadiyah memiliki pemikiran-pemikiran resmi organisasi yang disebut dengan pemikiran ideologi. Sebutlah Langkah Dua Belas (1938), Muqaddimah Anggaran Dasar (1946), Kepribadian (1962), Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup (1969), Khittah (1969, 1971, 1978, 2002), Pedoman Hidup Islami (2000), Dakwah Kultural (2002), Pernyataan Pikiran Abad Kedua (2010), Revitalisasi Visi dan Karakter Bangsa (2009), Indonessia Berkemajuan (2014), Negara Pancasila Darul Ahdi Wasyahadah (2015), Dakwah Komunitas Muhammadiyah (2015), dan lainnya. Terkait dengan itu terdapat pula berbagai pemikiran tengang Fikih seperti Fikih Perempuan, Fikih Air, Fikih Kebencanaan, Fikih Informasi, Teologi Lingkungan, dan lainnya.
Semua pemikiran teologis dan ideologis Muhammadiyah tersebut harus dipahami oleh anggota, kader, dan pimpinan di seluruh lingkungan Persyarikatan tanpa kecuali. Setelah dipahami kemudian dipraktikkan serta menjadi rujukan dan bingkai dalam bermuhammadiyah. Jangan sampai ada anggota, apalagi kader dan pimpinan Muhammadiyah justru tidak tahu isi pemikiran Muhammadiyah tersebut. Apalagi membawa paham agama dan ideologi lain yang tidak sejalan dengan paham agama, ideologi, dan sistem yang berlaku dalam Muhammadiyah. Jangan pula bicara diaspora pemikiran tanpa merujuk pada pemikiran-pemikiran resmi Muhammadiyah.
Apalagi sampai menarik-narik Muhammadiyah untuk berpaham dan berpandangan sesuai dengan pikiran orang-perorang yang memiliki tafsir dan kepentingan sendiri-sendiri. Pandangan tersebut bukan cermin sikap monolitik, tetapi sebagai kewajaran dan keniscayaan dalam berorganisasi yang berlaku umum di manapun. Bahwa Muhammadiyah memiliki prinsip teologis, ideologis, dan sistem gerakan yang menjadi landasan, bingkai, dan koridor yang harus diikuti dan dipedomani oleh seluruh anggota, kader, dan pimpinannya!
Sumber: Majalah SM Edisi 13 Tahun 2019