Bersaing di Tengah Budaya Saling Kritik Membangun

Bersaing di Tengah Budaya Saling Kritik Membangun

Oleh: Mohammad Damami

Istilah “unggul” dewasa ini sudah sangat sering kita dengar, baik dalam percakapan sehari-hari, dalam tulisan media massa, berita dalam media elektronik, di ruang-ruang seminar atau ruang kuliah maupun dalam buku-buku. Sungguh pun begitu, untuk mencapai apa yang disebut “unggul” tersebut masih banyak yang gamang. Mengapa hal ini terjadi dan apa jalan keluarnya?

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi ketiga, 2005) istilah “unggul” berarti: lebih tinggi (pandai, baik, cakap, kuat awet, dsb) daripada yang lain-lain; utama (terbaik, terutama); menang (2005: 1246). Dari penjelasan secara leksigrafi ini dapat ditarik suatu pengertian bahwa dalam istilah “unggul” perlu usaha menambah kecanggihan dari segala segi, khususnya dalam hal mutu (kualitas) dan prestasi. Di sinilah mungkin yang menyebabkan rata-rata orang menjadi gamang dalam menggapai sebuah keunggulan.

Tidak ada orang di alam dunia ini ingin dirinya hanya sekadar nomor dua dan seterusnya. Walaupun dalam praktik kehidupan ada yang mencoba mengalah terhadap pihak lain, namun keinginan mengalah itu tentu didorong oleh perhitungan untung rugi bagi dirinya. Ini berarti dirinya tetap menjadi ukuran pertama.

Keunggulan ini muncul dalam proses kehidupan yang aktif dan progresif. Kehidupan seperti ini sekarang disebut dengan istilah “bersaing”. Dalam bersaing tersebut orang tentu harus mengukur kemampuan dan modal yang dimiliki. Ketika orang akan mencoba untuk mengaktifkan kemampuan dan modal dirinya itulah orang lalu menjadi menurun kepercayaan dirinya dan muncullah kegamangan dalam dirinya. Jadi sebenarnya pada diri setiap orang, dalam kadar ukuran yang berbeda tentu saja, terjadi tarik-ulur antara keinginan menjadi “nomor satu” dan “cenderung turunnya kepercayaan diri”. Ada yang dengan cepat bisa mengatasi kondisi sulit ini, namun ada yang begitu lambat untuk mengatasinya.

Al-Qur’an (Q.s. Al-Baqarah [2]: 148) mengatakan: wa likulli wijhatun huwa muwallihaa fa-‘stabiquu-‘l khairaat = bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya yang ia menghadap kepada kiblat itu, maka berlomba-lombalah kamu dalam berbuat kebajikan. Ayat ini sebenarnya berkaitan dengan masalah kiblat untuk arah shalat, yaitu perubahan dari arah Baitul Maqdis menjadi ke arah Ka’bah yang berada di Masjidil Haram. Sungguh pun begitu istilah “kiblat” di sini dapat dianalogikan untuk pemahaman yang lain, misalnya masalah “orientasi”, “paham” “ideologi”, “pandangan hidup”, dan lain sebagainya.

Maknanya adalah: biarlah orientasi berbeda, paham berbeda, pandangan hidup berbeda, namun yang jauh lebih penting dari semuanya itu adalah siap bersaing dalam menampilkan berbagai kebajikan yang bersifat nyata. Yakni kebajikan yang bukan sekadar keinginan, cita-cita, dan rencana, melainkan sudah betul-betul terbukti secara konkret dan terukur. Di dalam ayat di atas ada istilah “kebajikan” (al-khairaaat). Hal yang terkandung dalam kebajikan meliputi “penghayatan religius” (seperti penghayatan rasa tulus/ikhlas, sabar terhadap cobaan), tampilan etis (seperti berkebiasaan menghormati orang lain, menghargai orang lain), dan produk tindakan konstruktif (seperti pertolongan, penemuan ilmu dan teknologi, pergaulan dan kerjasama produktif).

Ayat di atas mendorong orang beriman atau umat Islam untuk mempertajam tujuan dari bersaing dalam kehidupan ini, yaitu kebajikan yang terukur. Dari situlah diukurnya sebuah keunggulan. Bukan keunggulan karena dampak popularitas, bukan keunggulan karena pengakuan primordial, bukan keunggulan karena faktor kedekatan keluarga/persahabatan (nepotisme), bukan keunggulan karena diterima begitu saja (taken for granted), bukan keunggulan karena mekanisme rekayasa, atau keunggulan-keunggulan yang semacamnya.

Keunggulan yang ditawarkanaya di atas (Q.s. Al-Baqarah [2]: 148) adalah keunggulan yang telah diuji oleh trio unsur kebajikan, yaitu penghayatan relligius, tampilan etis, dan produk tindakan konstruktif di atas. Keunggulan ideal yang bernuansa hablum minallaah (orientasi vertikal transsendental/keilahian) dan hablum minannaas (orientasi horizontal/kemanusiaan) inilah yang ditawarkan Al-Qur’an.

Kesiapan dan kepercayaan diri dalam bersaing di atas akan makin terdukung kalau umat Islam menghayati dan mengamalkan keharusan untuk membiasakan hidup yang disuasanai oleh kebiasaan saling mengritik yang bersifat membangun. Al-Qur’an mengajari, bahwa agar hidup manusia tidak merugi, maka salah satu caranya adalah terbuka untuk saling mengritik yang bersifat membangun (Q.s. Al-‘Ashr [103]:. 3): illa-‘l-ladziina aamanuu wa ‘amiluu-‘sh-shaalihaati wa tawaashau bi-‘l-haqqi wa tawaashau bi-‘sh-shabri = kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih serta saling menasehati untuk menaati kebenaran dan saling menasehati berdasar kesabaran.

Potongan ayat wa tawaa shau bi-‘l-haqqi wa tawaasha bi-‘sh-shabri ini kalau dibahasakan yang lebih sederhana adalah: saling kritik (yang berisi kebenaran) tetapi yang bersifat membangun. Jadi bukan asal kritik, apalagi kritik yng dimotivasi oleh sikap emosional, irihati, sentimen atau kebencian. Budaya kritik membangun tersebut selaras dengan anjuran Al-Qur’an.

Sementara itu budaya semacam ini sangat kondusif kalau dikaitkan dengan usaha pembiasaan bersaing secara obyektif dan elegan. Dalam budaya saling mengritik yang membangun tersebut akan menimbulkan, Pertama, kepekaan untuk melakukan introspeksi dan evaluasi diri. Dengan kepekaan semacam ini orang akan tidak begitu mudah menyalahkan orang atau pihak lain. Demikian juga tidak akan mudah mencari kambing hitam sebagai tumpahan kesalahan. Kedua, orang tidak akan merasa sangat ketakutan kalau melakukan kesalahan yang disangkakan akan dapat menjatuhkan martabatnya, sejauh-jauhnya.

Ketiga, Orang tidak akan terkena penyakit perfeksionisme (ingin serba sempurna). Cukup berdasar berhati-hati dalam hidup ini, bukan mencari serba sempurna. Selama manusia masih disebut “manusia” maka tidak ada orang yang benar dan sempurna 100% secara terus menerus. Demikian juga tidak akan pernah ada orang yang salah dan selalu cacat 100% secara terus menerus pula. Oleh karena itu, untuk mengurangi kesalahan dan cacat, serta sebaliknya untuk memungkinkan mendekati benar dan sempurna, maka perlu kebiasaan saling mengritik yang membangun tersebut.

Secara normatif Al-Qur’an telah memberi bekal mental untuk menghadapi keniscayaan bersaing untuk mencari keunggulan yang berwujud kebajikan (al-khairaat) di atas. Pertama, keyakinan bahwa setiap orang memiliki keunggulan masing-masing (Q.s. Al-Isra’ [17]: 84): qul kullun ya’malu ‘alaa syaa-kilatihi = tiap-tiap orang berbuat menurut keadaan masing-masing dirinya. Bahwa setiap orang memiliki pembawaan, potensi, kecenderungan, dan pendorong aktivitas sendiri-sendiri. Karena itu setiap orang memiliki lahan rizki sendiri-sendiri dan keistimewaan sendiri-sendiri. Kedua, segala tindakan perlu berdasar ukuran yang dapat diperhitungkan (Q.s. Ar-Ra’d [13]: ….): wa kullu syai’in ‘indahuu bi miqdaarin = dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya. Ukuran ini penting untuk merumuskan rencana, program, dan aksi nyata.

Dengan berdasarkan ukuran-ukuran tersebut akan dapat ditebak kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, entah itu berupa ramalan, prediksi akan perkiraan tertentu. Dengan menggunakan perhitungan dalam bentuk ukuran akan ditekan sekecil-kecilnya kemungkinan gagal atau dampak destruktif dari sesuatu. Ketiga, Allah SwT terlibat sesuai dengan isi doa manusia (Q.s. Al-Baqarah [2]: 186): wa idzaa sa-alaka ‘ibaadii ‘annii fa innii qariibun ujiibu da’wata-‘d-daa’I idzaa da’aani = dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya padamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat; aku mengabulkan segala doa permohonan orang yang berdoa (yaitu) manakala (dia betul-betul berdoa kepada-Ku. Tangan usaha manusia harus dibantu oleh tangan kekuasaan Allah SwT agar lebih kokoh dan pasti.

Agar kita tidak gampang gamang dalam bersaing, perlu kita mengaktifkan kesadaran kita, bahwa kita pasti punya keunggulan tersendiri, bertindak berdasar ukuran, dan berdoa dengan bersungguh-sungguh, sebagai orang beriman, itulah bekal-bekalnya. Mari kita coba!

Wallaahu a’lam bishsawaab.

Sumber: Majalah SM No 6 Tahun 2009

Exit mobile version