Al-‘Azhîm, Yang Maha Agung
Allah adalah Al-‘Azhîm, yang berarti Yang Maha Agung. Dalam penyebutannya sebagai nama Allah, lafaz Al-‘Azhîm terulang 6 kali di dalam al-Qur’an. Satu kali menyertai lafzul jalalah (Allâh), yaitu di al-Haqqah: 33, dua kali menyertai nama al-‘Alîy (Yang Mahatinggi), yaitu di al-Baqarah: 255 (Ayat Kursi) dan asy-Syura: 4, serta tiga kali disebut dalam ayat:
فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيمِ
“Maka bertasbihlah dengan menyebut nama Rabb-mu Yang Maha Agung.” (Qs. al-Waqi‘ah: 74, 96, dan al-Haqqah: 52).
Ayat yang sama di tiga tempat berbeda tersebut berisi perintah untuk bertasbih. Dengan demikian, tersirat di sini pertalian makna antara tasbih dan nama Al-‘Azhîm. Apa itu tasbih? Tasbih berarti menyatakan kemahasucian Allah. Allah adalah Dzat Yang Sempurna, namun bayangan manusia tentang Allah tidak pernah dapat mewakili kesempurnaan-Nya secara utuh. Oleh karena itu, manusia pertama-tama perlu menyatakan bahwa Allah terbebas (suci) dari segala anggapan yang buruk yang sangat tidak sesuai dengan kebesaran-Nya maupun persepsi yang baik tapi tidak seutuhnya tepat dengan kemahasempurnaan-Nya. Setelah itu, manusia perlu mengakui, memuji dan takjub terhadap keagungan Allah yang tiada tara. Itulah makna tasbih.
Al-‘Azhîm di ayat tersebut dipahami sebagai sifat Allah yang menunjukkan seluruh kebesaran dan kesempurnaan-Nya. Sehingga, tepatlah pesan ayat tersebut, yaitu agar kita menyatakan kesucian Allah dari segala yang tidak sesuai dengan keagungan-Nya sebagai penguasa langit dan bumi.
Keagungan Allah tidak dapat ditandingi oleh keagungan ciptaan-Nya, bahkan keagungan segala yang dipandang agung adalah berkat anugerah-Nya. Keagungan Allah tidak dapat diukur dan dibandingkan karena Allah lebih agung dari segala sesuatu. “… Kepunyaan-Nya segala apa yang di langit dan segala apa yang di bumi … Kursi Allah meliputi langit dan bumi, dan Allah tidak merasa berat menjaga keduanya. Dan Dialah Al-‘Alîy Al-‘Azhîm.” (Qs. al-Baqarah: 255).
Hamba Al-‘Azhîm menyadari bahwa dirinya dan semua wujud ciptaan adalah kecil di hadapan Allah. Sekadar dengan melihat karya-Nya yang paling sederhana di alam raya, hamba Al-‘Azhîm akan merasa kerdil dan mengakui serta mengagumi kebesaran-Nya. Diri yang kerdil tentu tidak semestinya membangga-banggakan karyanya apalagi bersikap sombong di hadapan yang lainnya.
Izza Rohman, Dosen Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA, Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid PWM DKI Jakarta
Sumber: Majalah SM Edisi 18 Tahun 2018