Berguru Kepada Pak Sustam Mulyadi
Kampung Mergangsan Kidul, pinggir timur Kali Code. Ada hari-hari yang indah di sini ketika ada empat orang sepakat meramaikan sebuah masjid, Masjid Al Hufadz yang berada di pinggir kampung, dekat sekolah dasar, dengan pengajian anak-anak.
Empat orang, waktu itu masih lumayan muda, adalah Pak Sustam Mulyadi, Pak Sunar Yudono, saya dan Indra Tranggono. Pak Sustam Mulyadi, seorang guru bahasa Jawa sekolah menengah dan lebih mengembangkan diri menjadi menjadi pemusik dan mubaligh kampung. Ia biasa khutbah Jum’at di Masjid Al Hufadz. Rumah dia waktu itu di Rejowinangun, Kotagede Utara. Dia biasa berdakwah keliling kampung di kota dengan naik sepeda.
Pak Sunar Yudono, guru SD yang disukai anak-anak karena suka mendongeng. Dia juga mubaligh yang gigih yang beredar di desa-desa yang jauh sampai pelosok luar kota. Kalau mau masuk desa, dia naik bis jurusan selatan dan pulang diantar orang desa atau dia menginap di sana. Rumah dia di kompleks perumahan Cipto Mulyo arah selatan Kantor Pos Mergangsan.
Indra Tranggono, rumahnya kurang dari lima puluh meter selatan Masjid Al Hufadz. Dia mahasiswa Universitas Sarjana Wiyata, dan murid perguruan Taman Siswa sejak SMP atau Taman Madya. Ia aktif sebagai sastrawan muda dan bergabung dengan komunitas Insani harian Masa Kini sampai kemudian mengasuh lembar sastra itu bersama Adil Amrullah.
Sedangkan saya sendiri waktu itu wartawan harian Masa Kini yang merangkap menjadi editor Kliping Service LP3Y yang didirikan oleh Bang Hadi atau Ashadi Siregar bersama teman-teman yang aktivis pers mahasiswa. Saya waktu itu kost di rumah pak Birman, tukang becak yang ternyata pendekar. Tempat kost saya sekitar seratus meter di selatan masjid Al Hufadz.
Sebelum mendirikan pengajian anak-anak, kami berempat rapat dulu di rumah Indra Tranggono untuk membuat peta sosial masyarakat setempat. Masyarakat pinggir Code yang kebanyakan bekerja di sektor informal, miskin, dan rata-rata belum tersentuh dakwah Islam.
Kami sepakat kalau pengajian anak anak ini bukan pengajian biasa yang hanya khusus memberi pelajaran tentang membaca Al Qur’an.
“Pengajian anak-anak ini berwajah pengajian budaya sekaligus ajaran Islam moderat. Gabungan antara semangat dan metode Taman Siswa, Muhamadiyah, pesantren dan kepanduan Pramuka. Intinya pengajian ini harus menggembirakan anak, menyenangkan anak dan sekaligus mencerdaskan anak,” tutur Pak Sustam yang juga dikenal sebagai penulis esai budaya dan dakwah.
Kami semua sepakat dengan ide itu. Lalu diadakan pembagian tugas. Pak Sustam mengajarkan lagu anak yang muatan relijiusnya kental. Pak Sunar mendongeng. Indra menggambar dan saya mengenalkan huruf Al Qur’an dengan cara musikal. Dilagukan seperti Ayah saya pernah melakukan.
Dengan sistem jawilan atau komputer komunikasi dari mulut ke telinga ke mulut ke telinga lagi anak anak kampung yang tertarik ke pengajian cukup banyak. Pengeras suara di masjid juga halo-halo.
Setelah Ashar, serambi masjid penuh. Kami berempat sudah datang lebih awal. Melihat yang datang banyak dan satu persatu menyalami kami, kami pun senang. Hari gini, pikirku, ketika rumah diserbu televisi, masih ada anak anak berbondong ke masjid mengaji sungguh membesarkan hati.
Kami mengisi bergantian. Pak Sustam mengajak anak- anak bernyanyi dengan lagu yang dia buat. Lagu sederhana, pendek, bersuasana gembira, mudah dihafal. Anak anak gembira. Pak Sunar mengisi dongeng jenaka. Anak anak tertawa.
Saya mengisi dengan memulai mengajak anak-anak bertepuk tangan. Mula-mula tepuk Pramuka atau tepuk pandu yang semua anak sudah hafal. Lalu saya tambah dengan tepuk jenaka. Anak-anak bertepuk tangan sambil tertawa. Lalu saya menulis huruf Hijaiyah di papan tulis. Semua huruf saya beri fathah. Jadi huruf itu dibaca a ba ta tsa ja ha kho ds dza to za. Huruf Hijaiyah saya baca dengan bernyanyi. Anak anak menirukan. Berkali kali sampai hafal. Saya mengetuk-ngetuk papan tulis agar irama lagu terjaga.
Indra Tranggono mengumumkan kalau besok sore anak-anak diminta membawa buku gambar.
Perkembangan pengajian anak-anak sungguh di luar dugaan. Yang hadir makin banyak. Bahkan orang tua mereka, para ibu-ibu ikut mendengarkan pengajian yang diisi dongeng, lagu-lagu, mengaji dengan menghafal dan menggambar. Malahan ada anak Tionghoa yang menyatakan masuk Islam dan ikut pengajian.
Yang unik para ibu-ibu yang ikut mendengarkan pengajian anak-anak model baru ini merasa nyaman berada di masjid. Mereka mengatakan ingin ikut shalat Maghrib.
“Tapi kami tidak punya mukena. Gimana Pak?,” Tanya seorang ibu.
Kami berempat berunding sebenarnya kemudian mengumumkan bahwa bagi ibu-ibu yang ingin shalat tetapi tidak punya mukena boleh memakai baju lengan panjang, kain atau sarung. Yang penting, menutup aurat. Kami jelaskan batas aurat perempuan saat shalat. Para ibu gembira mendengar pengumuman itu. Mereka pulang ke rumah dan kembali ke masjid sudah mengenakan busana menutup aurat. Mereka ikut berjamaah bersama ibu-ibu di barisan belakang.
Dalam pengajian ini saya mencoba menghidupkan kembali lagu puji-pujian sebagai sarana pendidikan. Misalnya Allahumafhfili sebagai cara menghafal doa memintakan ampun untuk orang tua. Robbana ya robbana, melatih anak untuk berdoa minta ampun kepada Allah SWT. Muhammadun Basyar, lagu pujian untuk mengenalkan cinta kepada Nabi Muhammad Saw. Dan masih banyak lagi. Jadi sehabis adzan, menjelang shalat jamaah suasana Masjid Al Hufadz di tengah kota ini seperti masjid kuno atau masjid desa.
Anak anak pengajian masjid Al Hufadz ini kami hubungkan dengan anak-anak pengajian masjid Al Jihad di Nyutran. Pengasuhnya, mas Rahmanto mahasiswa fakultas MIPA UGM kami kenal baik dan kalau memperingati Isra Miraj selalu meluncurkan roket ke angkasa. Anak anak senang dengan hiburan ini.
Uniknya, dalam sebuah Pemilu, suara partai Islam banyak sekali padahal daerah ini basis partai bukan Islam. Mereka kurang senang dengan penemuan di TPS ini. Mereka menyangka gara-gara pengajian anak-anak suara partai Islam meningkat menjadi sekitar seratus suara.
“Bukan itu mas faktornya. Coba sampeyan simak, di kampung yang luas ini kan banyak mahasiswa UII Fakultas Hukum yang kost. Mereka itu yang menyumbang suara partai Islam,” kataku membantah mereka.
Malam Idul Fitri anak-anak tarwehan satu kecamatan Mergangsan berkumpul, takbiran. Kadang kumpul di halaman SD Negeri Pujokusuman kadang di THR kami pun datang memberi semangat kepada anak anak. Saya mendapat bahan berita tentang suasana Lebaran.
Karena kesibukan, saya menikah meninggalkan Lembah Code yang penuh kenangan indah dan ngontrak di kampung lain di kota Yogyakarta. Sementara hubungan empat sekawan ini terus terjaga. Khususnya dengan Pak Sustam, saya dan keluarga sering bersilaturahmi ke rumahnya, saat dia ngontrak rumah di Nitikan sampai punya rumah sendiri di Wirosaban.
Pak Sustam Mulyadi meneruskan ‘karirnya’ sebagai pencipta lagu anak-anak Muslim. Baginya tiada hari tanpa lagu. Kalau pas ketemu di rumahnya atau di mana saja, dinyanyikan lagu barunya di depan saya. Saya bilang bagus dan saya harus berguru kepada dia dalam hal kesetiaannya pada seni, musik khususnya.
Mars dan hymne TPA dan TQA adalah ciptaan dia. Lagu ini sudah dinyanyikan ribuan atau malahan jutaan anak-anak Muslim Indonesia. Terakhir, Pak Sustam Mulyadi menciptakan lagu Mars SD Muhammadiyah Pakel Kota Yogyakarta, yang letak sekolahnya di selatan pasar sepeda Pakel.
Sebagai aktivis Muhammadiyah dia banyak mengisi pengajian di kampung dan khutbah Jum’at di Masjid Muhammadiyah yang ada di Yogyakarta. Dan setiap ada Festival Anak Sholeh dimana lagu Mars atau dinyanyikan, saya selalu teringat dengan sosok Pak Sustam Mulyadi yang sederhana. (Mustofa W Hasyim 2021)