Jābir al-Battānī, Ptolemeus dari Arab
Oleh: Dr. H. Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, MA
Al-Battānī dikenal sebagai seorang astronom, arsitek, geografer, dan matematikawan Arab terhebat di zamannya. Ia terhitung sebagai generasi penerus astronom Muslim Al-Farghānī (abad 4/10) yang mengembangkan telaah astronomi melalui observasi ilmiah dan perangkat ilmu trigonometri. Di Barat, Al-Battānī dikenal dengan ‘Albategnius’ atau ‘Albategni.’ Ia juga diberi gelar kehormatan dengan “Ptolemeus Arab” oleh karena penguasaan dan kritiknya atas karya-karya Ptolemeus khususnya Almagest. Dan karena kemasyhurannya, nama ‘Al-Battānī’ diabadikan sebagai salah satu nama kawah di bulan.
Al-Battānī
Al-Battānī berasal dari komunitas yang bermukim di sepanjang sungai Eufrat. Ia berasal dari nenek moyang penganut Sabean yang melakukan ritual penyembahan terhadap bintang-bintang. Namun ia tak mengikuti jejak nenek moyangnya, karena ia lebih memilih memeluk Islam. Nama lengkapnya Abū Abdillah Muhammad bin Jābir bin Sinān al-Harrānī ar-Raqqī ash-Shabī’ al-Battānī. Ia lebih dikenal dengan ‘Al-Battānī’ nisbah kepada tempat ia dilahirkan yaitu “Battān” yang berdekatan dengan Harran, Irak. ‘Al-Harrānī’ adalah wilayah antara sungai Degla dan sungai Eufrat. Sedankan ‘ar-Raqqī’ adalah nisbah kepada tempat ia melakukan observasi benda-benda langit yaitu Raqqa yang terletak di dekat sungai Eufrat.
Sejak muda, Al-Battānī memiliki ketertarikan terhadap benda-benda langit yang membuatnya kemudian menekuni astronomi. Pada saat mencapai usia kematangannya, Al-Battānī tidak hanya menguasai astronomi, namun juga mahir dalam bidang matematika, geografi, dan arsitektur. Kemampuan Al-Battānī terlihat dari kepiawaiannya dalam mengkontruksi sejumlah perangkat alat astronomi.
Berbagai literatur sejarah dan bibliografi tidak banyak menyebutkan mengenai guru-guru Al-Battānī. Secara informal agaknya Al-Battānī mendapat pendidikan dan pengajaran dari ayahnya yang juga seorang ilmuwan bernama Jabir bin Sanan Al-Battānī. Menurut para peneliti, Al-Battānī sangat terpengaruh oleh karya dan pemikiran pendahulunya khususnya Ptolemeus dalam Almagest. Namun pengaruh itu tidak lantas menjadikan Al-Battānī taklid dengan apa yang dirumuskan Ptolemeus. Al-Battānī terlebih dahulu meneliti secara cermat, kemudian mengkritisinya, dan selanjutnya melakukan koreksi.
Al-Battānī hidup di zaman keemasan ilmu pengetahuan yaitu era Abbasiyah. Pada tahun 786 M, di zaman Harun al-Rasyid, telah dibangun sejumlah istana di Raqqa yang mana kota ini menjadi pusat kegiatan ilmu pengetahuan dan perdagangan. Di zaman ini telah berdiri observatorium di Bagdad yang dibangun atas prakarsa Al-Ma’mun yang dipimpin oleh Sind bin Ali. Menurut Al-Shālihī, di zaman Al-Battānī ada banyak ilmuwan yang piawai dalam bidang sains khususnya dalam teknik pembuatan alat astronomi bernama astrolabe. Sejarah juga mencatat Al-Battānī hidup sezaman dengan dua tokoh astronomi terkenal, Ali bin Isa al-Usthurlābī dan Yahyā bin Abi Manshūr. Diduga Al-Battānī berguru kepada dua tokoh ini terutama sekali Ali bin Isa al-Usthurlābī yang berasal dari Harrān. Ada kemungkinan juga Al-Battānī berguru kepada murid-murid dua tokoh ini.
Membangun Observatorium
Tatkala di Raqqa, Al-Battānī mendirikan sebuah observatorium astronomi bernama ‘Observatorium Al-Battānī’ (Marshad al-Battanī). Pendirian observatorium ini dilatari oleh karena Al-Battānī memandang bahwa pengetahuan tak cukup dengan hanya memadakan pada teori, namun perlu aplikasi praktis dari teori tersebut. An-Nadim–penulis bibliografi “al-Fihrist”–menuturkan bahwa Al-Battānī mulai melakukan kegiatan observasi–di kota Raqqa–sejak tahun 264/878 sampai tahun 306/918.
Pencapaian terbaik Al-Battānī di observatorium ini adalah sebuah karya bertitel Zij al-Shabī’ (Tabel Astronomi Sabean), sebuah ensiklopedia berisi uraian-uraian astronomis yang diperlengkapi dengan tabel-tabel dan juga memuat hasil-hasil observasi yang pernah dilakukannya.
Lalande, astronom dan penulis asal Perancis, yang telah menelaah beberapa karya Al-Battānī, menempatkan nama Al-Battānī sebagai 20 astronom populer di dunia. Sementara Sarton, penulis buku Introduction to the History of Science, seperti dikutip Al-Syanwanī, memposisikan Al-Battānī sebagai ilmuwan Islam dan astronom terhebat di zamannya. Nasr menuturkan bahwa Al-Battānī sebagai astronom Muslim terbesar yang menguasai tradisi astronomi Yunani yang dikembangkan Ptolemeus, dan oleh karena penguasaannya terhadap karya dan pemikiran Ptolemeus ini Al-Battānī digelari “Ptolemeus Arab.”
Tidak diragukan bahwa Al-Battānī adalah tokoh astronomi spektakuler di zamannya. Segenap karya dan pemikirannya di bidang ini sejatinya memberi banyak inspirasi dan informasi bagi perkembangan astronomi modern bahkan sains modern secara umum. Berbagai apresiasi dan pujian yang disematkan oleh para ahli dan sejarawan kontemporer sekali lagi menunjukkan urgensi dan kualitas seorang Al-Battānī di kancah ilmu pengetahuan.
Dr. H. Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, MA, Dosen FAI UMSU dan Kepala Observatorium Ilmu Falak Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
Sumber: Majalah SM Edisi 24 Tahun 2017