Khaira Ummah Panglima Sudirman dan Wawasan Kebangsaan
Oleh: Dr Masud HMN
Soedirman (eyd. Sudirman) sang Panglima Besar Tentara Nasional (TNI) yang menyandang gelar Pahlawan Nasional Indonesia adalah tokoh Muhammadiyah yang harus dikenang. Setidaknya bahwa perannya membawa Muhammadiyah bukan sekadar hadir sebagai organisasi sosial keagamaan, tapi juga militer.
Sudirman tidak berusia panjang (1916—1950) umurnya hanya 34 tahun. Namun kontribusinya untuk Indonesia besar yaitu menorehkan gagasan amat monumental, Konsep politik tentara dipisahkan dari partai politik. Politik tentara adalah sebagai politik Negara.
Tinggal lagi persoalan tantangan ke depan bagaimana Muhammadiyah berlambang matahari itu sebagai organisasi keagamaan diejawantahkan dalam wawasan kebangsaan yang berkemajuan di segala bidang.
Sosok Sudirman Kelahiran Purbalingga 1916 itu tampil dalam kepemimpinan kemiliteran yang luar biasa. Figurnya dikenal sangat berani dan cerdas itu, diikuti oleh generasi belakangnya sebutlah misalnya Jenderal Faisal Tanjung, Suparjo Rustam, dan lain lain.
George Mc Truman Kahin seorang penulis Amerika yang menulis Revolution South Asia History, mencatat tokoh awal revolusi Asia Tenggara, Indonesia khususnya yang mengakui bahwa Sudirman adalah sosok yang terlibat dalam periode tersebut.
Bagi Kahin Indonesia penting di Asia Tenggara, dengan sosok Sukarno, Hatta dan Sudirman yang disusul Vietnam. Sejarah Indonesia dalam konteks Revolusi Asia Tenggara menemukan jalannya sendiri paska penjajahan Jepang. Dalam bidang kemiliteran Sudirman, figur utamanya.
Peran sejarah Muhammadiyah dalam kemiliteran tercermin dari watak kepribadian Sudirman, tegas dan jujur. Hal itu tidak terlepas dari kepaduan faham keagamaannya dan kepejuangannya. Yaitu Ia aktivis kepanduan Hizbul Wathan (HW) dan seorang guru Muhammadiyah.
Disini menjadi menarik untuk mengkaji khazanah masa lalu. Di mana kita menemukan bahwa ternyata politik militer yang menjadi komitmen Jenderal Sudirman tidak berhenti. Gagasan Politik tentara adalah politik Negara diteruskan pada era berikutnya. Salah seeorang diantaranya adalah seorang Feisal Tanjung Panglima ABRI 1993 –1998 tokoh militer yang kita sebut di depan yaitu Panglima ABRI masa Orde Baru. Yaitu bagaimana mengaktualisasikan aspek kebangsaan melalui lintasan masa yang berubah.
Feisal Tanjung (1939–2013) seorang Jenderal yang berasal dari keluarga Muhammadiyah Tapanuli Utara itu mengemukakan gagasan dalam kaitan militer. Yaitu Yang terbaik untuk Rakyat terbaik untuk ABRI (Faisal Tanjung Biografi, Terbaik Bagi Rakyat Terbaik Bagi ABRI Usamah Hisyam, 1999, hal 32).
Ide Wawasan kebangsaan ini dimaknai bahwa rakyat itu adalah Indonesia yang Islam mayoritasnya. Sementara ABRI unsur pertahananya, sehingga doktrin tersebut adalah wawasan untuk keutuhan Negara Kesatuan RepubIik Indonesia (NKRI). “Islam mitra sejati” Kata Feisal Tanjung dalam Biografinya.
Intinya poliitik tentara adalah politik Negara gagasan Jenderal Sudirman sejalan Jenderal Faisal Tanjung. Dalam pesfektif pandangan agama Islam di mana ada ayat yang menegaskan agar mejadi umat terbaik.
Hendaklah kamu menjadi Khaira ummat (umat terbaik) yang berbuat baik dan mejauhi mungkar dan beriman kepada Allah (Al Imran ayat 110).
Upaya atau gerakan untuk menjadi khaira ummah, adalah yang terbaik yang memberi jalan keluar, memberi manfaat, berkhidmat pada Negara. Namun harus diiringi dengan beriman kepada Allah.
Penulis coba menyimpulkan bahwa sesungguhnya Wawasan Kebangsaan seperti berikut, Islam berkemajuan adalah tantangan menjadi khaira ummah, umat terbaik kini menuju masa depan. Dengan landasan iman berbuat makruf melawan kemungkaran.
Dalam persfektif demikian Muhammadiyah bersyukur dapat menyumbangkan personil utamanya dengan figure Panglima Besar Sudirman kita kenang. Figur yang terbaik berfungsi Guidance Star, bintang penerang jalan pada estafeta lintasan zaman. Untuk meraih kemajuan dan kesejahteraan bangsa. Semoga!
Dr Masud HMN, Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta