Menjajaki Sejarah Fatwa Kebangsaan “Amanat Jihad” Muhammadiyah
Bedah Karya Edisi Kelima Menuju Kongres Sejarawan Muhammadiyah
YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Berbeda dari biasanya, Bedah Karya Sejarah Muhammadiyah edisi kelima kali ini diselenggarakan Jumat malam (6/8). Menjelang ulang tahun kemerdekaan Indonesia, tema yang diusung tim panitia Kongres Sejarawan Muhammadiyah pada Agustus ini ialah Muhammadiyah untuk Bangsa.
Diskusi Bedah Karya tema ini diawali dari artikel M. Yuanda Zara, Ph.D yang bertajuk “Amanat Jihad dan Muhammadiyah 28 Mei 1946” dengan moderator Muhammad Iksan, dari Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah dan pengurus Museum Muhammadiyah.
Artikel sejarah yang diterbitkan pertama kali 4 tahun lalu di Suara Muhammadiyah tersebut ditulis dalam rangka membicarakan relasi Muhammadiyah dan negara pada masa Revolusi. [https://web.suaramuhammadiyah.id/2020/05/28/mengulas-dokumen-28-mei-1946-amanat-jihad-muhammadiyah/]
Disampaikan Yuanda, inspirasi untuk menulis topik ini muncul ketika ia bertemu dengan sumber primer sejarah berupa surat kabar Bulan Sabit. Meskipu Bulan Sabit hidup secara singkat, ia adalah satu dari corong-corong media kelompok Muslim yang sebenarnya banyak tumbuh pada masa Revolusi. Bahkan, Suara Muhammadiyah sendiri kembali bangkit setelah vakum selama masa pendudukan Jepang.
Apa yang ditemukan Yuanda pada halaman depan Bulan Sabit tentang Amanat Jihad ini diperkuat lagi dengan temuannya di Suara Muhammadiyah edisi Juli 1946. Isi Amanat Jihad itu adalah seruan-seruan kepada warga Muhammadiyah dan Muslim pada umumnya untuk turut berperan serta dalam upaya pembelaan Tanar Air.
Pentingnya pembahasan tentang fatwa Amanat Jihad bukan saja soal isinya, tetapi juga konteks politik Indonesia yang baru saja memproklamirkan kemerdekaannya.
Pasalnya, kemerdekaan yang diproklamirkan Indonesia pada Agustus 1945 belumlah disepakati Belanda. Maka dari itu, diawalilah perundingan yang membicarakan pengakuan Belanda atas kemerdekaan Indonesia pada Oktober 1945.
Akan tetapi, perundingan gagal dan pertempuran pecah di tempat-tempat yang didatangi pasukan Belanda, termasuk Yogyakarta yang ketika itu menjadi pusat pemerintahan sementara.
Perundingan digelar kembali di Belanda pada April 1946. Namun, Belanda masih bersikukuh dengan keingingannya menjadikan Indonesia ada di bawah Kerajaan Belanda. Akhirnya, situasi pun semakin meruncing memasuki Mei 1946 dan di saat itulah Muhammadiyah mengeluarkan fatwa Amanat Jihad.
Yuanda membaca, isi Amanat Jihad dari Pengurus Besar Muhammadiyah ini memiliki empat poin pokok. Pertama,himbauan kepada seluruh warga untuk meyakini bahwa Indonesia sudah merdeka. Maklum, masa itu memang masih kita temui tentara-tentara Jepang berseliweran. Apalagi, informasi kemerdekaan Indonesia belum sampai ke pelosok-pelosok.
Kedua, seruan wajib kepada warga Persyarikatan untuk membela negara dari Belanda yang ingin menjajah kembali. Dalam hal ini, Muhammadiyah juga membawa elemen keagamaan, di samping narasi nasionalisme sekuler.
Ketiga, dorongan kepada perempuan untuk mengambil bagian dalam peperangan ini. Peran yang dimaksud ialah berupa tugas perawatan, pengobatan, konsumsi, dan sejenisnya.
Keempat, doa dan harapan agar negara Indonesia menang, “mudah-mudahan segera menang dan bahagia … kekal merdeka dan berjasa … kembali aman dan sentausa”.
Selain Muhammadiyah, kelompok-kelompok Islam lainnya maupun jamaah ulama tertentu juga mengeluarkan fatwa serupa. Intinya adalah seruan untuk bangkit mempertahankan kemerdekaan negara di tengah gempuran politik dan militer Belanda.
Dalam diskusi ini, Yuanda juga beberapa kali mengingatkan bahwa penelitian lebih luas dan mendalam diperlukan terkait topik Muhammadiyah pada masa Revolusi ini. Di antara topik-topik yang bisa dikembangkan ialah terkait pekerjaan sosial Muhammadiyah di masa perang, dampak fatwa Amanat Jihad ini pada warga Persyarikatan serta cara mereka mempraktikkannya, dan perspektif Muhammadiyah terhadap konflik dan perang.
Penulisan sejarah masa Revolusi ini belum banyak ditulis karena keterbatasan sumber. Oleh karenya, Yuanda mengingatkan lagi, “tugas kita (sejarawan, pen.) memang mencari sumber primer”. Maksudnya bukanlah untuk merebut narasi sejarah, tetapi, “lebih kepada menghadirkan pemahaman sejarah,” pungkas Yuanda.
Tidak lupa Prof. Sjafri Sairin, Guru Besar Antropologi Universitas Gadjah Mada, dalam diskusi ini mengingatkan kepada audiens. Mengutip Edward Evan Evans-Pritchard, dikatakan Buya Sjafri bahwa sejarah tanpa sensitivitas antropologi adalah dongeng dan antropologi tanpa sejarah adalah buta.
Selain itu, hadir juga dalam Bedah Karya ini Prof. Aminuddin Kasdi, Asep Purnama Bahtiar, dan berbagai perwakilan dari berbagai daerah, termasuk PWM Papua Barat.
Akhir diskusi ini ditutup dengan pesan dari Yuanda kepada warga Persyarikatan yang mau menulis sejarah bahwa kita harus mengerti metodologi. Menulis sejarah bukanlah, “memunuculkan apa yang kita inginkan, tapi apa yang terjadi di masa itu. Objektif, faktual, dan menambah kebijaksaan, bukan saja pengetahuan”. (ykk)