Bulan Muharram dan Amalan-Amalannya
Oleh: Asep Shalahudin
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلََّمَ لَمَّا قَدِمَ الْمَدِيْنَةَ وَجَدَهُمْ يَصُوْمُوْنَ يَوْمًا يَعْنِى عَاشُوْرَاءَ فَقَالُوْا هَذَا يَوْمٌ عَظِيْمٌ وَهُوَ يَوْمٌ نَجَّى اللهُ فِيْهِ مُوْسَى وَأَغْرَقَ آلَ فِرْعَوْنَ فَصَامَ مُوْسَى شُكْرًا ِللهِ فَقَالَ أَنَا أَوْلَى بِمُوْسَى (البخارى)
Artinya:”Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. bahwa Nabi saw. ketika beliau tiba di Madinah, beliau mendapati penduduk Madinah sedang melakukan puasa dalam suatu hari, yakni pada hari ‘Asyura, (Nabi bertanya kepada mereka:hari apakah ini, sehingga kamu melakukan puasa?) Mereka menjawab: Ini adalah hari yang agung dan merupakan suatu hari dimana Allah menyelamatkan Nabi Musa as. dan menenggelamkan keluarga Fir’aun, kemudian Nabi Musa berpuasa (sebagai tanda) syukur kepada Allah. Maka Nabi bersabda: Saya-lah yang lebih berhak (menghormati) Nabi Musa (HR.Al-Bukhori)
Muharram dan Asyura
Pada surat at-Taubah ayat 36 diterangkan bahwa bilangan bulan menurut peredaran bulan ada dua belas. Di antara dua belas itu ada empat bulan yang ditetapkan sebagai as-Syahr al-Haram (bulan haram). Mengapa demikian? Karena bulan-bulan tersebut merupakan bulan-bulan yang harus dihormati dan pada waktu itu tidak boleh melakukan peperangan.. Keempat bulan tersebut, tiga bulan berturut-turut, yaitu bulan Dzul Qa’idah, Dzul Hijjah, dan satu bulan lagi yaitu bulan Rajab (bulan ketujuh). Dihormatinya keempat bulan tersebut, karena pada bulan-bulan tadi merupakan bulan untuk pelaksanaan Haji ke Baitullah, mulai dari persiapan untuk pergi Haji yang dilaksanakan pada bulan Dzul Qa’idah, bulan Dzul Hijjah digunakan untuk pelaksanaan Haji itu sendiri sampai perjalanan pulang dari Haji yang dilaksanakan pada bulan Muharram dan bulan Rajab untuk melaksanakan Umroh.
Bulan Muharram merupakan salah satu nama bulan yang digunakan dalam kalender Hijriyyah dan menarik untuk selalu dikaji ulang. Karena bulan Muharram tersebut disamping merupakan nama bagi bulan pertama dalam kalender Hijriyyah juga bulan Muharram mempunyai arti khusus bagi kaum Muslimin karena pada bulan tersebut terdapat peristiwa bersejarah, yaitu peristiwa hijrahnya Nabi dari Mekkah al-Mukarromah menuju Madinah al-Munawwaroh yang dijadikan sebagai dasar penetapan awal tahun dalam Islam.
Bagi kaum Syi’ah bulan Muharram mempunyai tempat tersendiri dalam tradisi dan merupakan kesempatan beragama yang istimewa. Karena hal ini berkaitan dengan adanya peristiwa yang terjadi pada bulan Muharram , yaitu peistiwa terbunuhnya cucu Rasulullah saw. dari Fatimah az-Zahra yang bernama Husein bin Ali bin Abi Thalib bersama pengikut dan keluarganya di padang Karbala oleh pasukan Yazid bin Mu’awiyah, putra Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Sehingga dikalangan mereka puncak ekspresi keagamaan yang bercorak luapan kesedihan dan sekaligus janji pengorbanan tersebut dikenal dengan sebutan “Asyura”.
Di dalam Islam “Asyura” dipandang sebagai hari yang memiliki keutamaan, karena pada hari tersebut Allah swt. telah menentukan banyak peristiwa yang terjadi di muka bumi yang menyangkut pengembangan agama tauhid. Di daerah pantai Barat Pulau Sumatera misalnya, dikenal istilah “Tabut”, yaitu upacara selamatan besar-besaran berupa jamuan makan, minum dan arak-arakan yang biasa dilakukan oleh penduduk pantai tersebut pada hari Asyura. Arak-arakan tersebut terbuat dari batang pisang yang disusun rapi dan dihiasi dengan bunga yang beraneka warna, dan apabila upacara selamatan telah selesai, kemudian tabut tersebut dibawa ke pinggir pantai. Begitu pula di Daerah Istimewa Yogyakarta setiap datang bulan Muharram biasanya pada malam 1 Muharram Kraton Yogyakarta menyelenggarakan upacara yang dikenal dengan istilah “Labuhan”, yaitu upacara melakukan sesajen dengan membuat makanan yang beraneka macam yang diperuntukkan untuk penguasa pantai Selatan (Nyi Roro Kidul) yang diakhiri dengan melepaskan makanan (sesajen) tersebut di pantai yang akan diperebutkan oleh masyarakat yang menyaksikannya.
Oleh karena itu, dengan melihat adanya keutamaan yang terjadi pada hari Asyura, maka tidak heran jika kemudian muncul hadis-hadis maudhu’ (palsu) yang menggambarkan tentang keutamaan hari Asyura, seperti hadis yang artinya:”Bersedekah pada hari Asyura dengan satu dirham nilainya sama dengan 70.000. dirham”.
Keutamaan dan Amalan-amalan Pada Bulan Muharram
Setelah kita melihat berbagai peristiwa yang terjadi pada bulan Muharram dan hari Asyura serta keutamaan-keutamaan yang dimilikinya. Apa yang perlu dilakukan oleh umat Islam dalam menyambut dan mengisi bulan Muharram tersebut. Apakah kita akan melakukan hal yang sama seperti yang telah dilakukan oleh sebagian umat Islam seperti di atas.
Untuk menyambut hari yang utama itu Nabi Muhammad saw. menganjurkan pada umatnya agar melakukan ibadah puasa pada bulan Muharram, karena puasa pada bulan Muharram merupakan puasa yag paling utama setelah puasa wajib di bulan Ramadhan. Hal ini didasarkan pada hadits berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ (رواه الترمذى وأبو داود وابن ماجه وأحمد)
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Huraerah ia berkata: Rasulullah saw bersabda:Puasa (sunnat) yang paling utama setelah (puasa) di bulan Ramadhan adalah (puasa) pada bulan Allah yang almuharram (puasa Asyura), dan shalat sunnat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat lail”. (HR at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad).
Hadits riwayat at-Tirmidzi , Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad di atas menunjukkan bahwa puasa sunat yang paling utama setelah puasa wajib di bulan Ramadhan adalah puasa sunat pada bulan Muharram yang dikenal dengan puasa Asyura.
Beberapa nash hadis menerangkan bahwa di masa Jahiliyah kaum Quraisy telah terbiasa melaksanakan puasa ‘Asyura, dan Nabi saw. ketika berada di Makkah juga melakukannya. Tatkala Nabi saw. hijrah ke Madinah beliau mendapati orang Yahudi berpuasa pada hari tersebut, dan beliau tetap berpuasa bahkan memeritahkan kepada para shahabat untuk melakukannya, dan keadaan seperti itu tetap dilakukan sampai diwajibkannya puasa pada bulan Ramadhan. Hal ini dijelaskan dalam beberapa hadits diantaranya:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُهُ فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ صَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ فَلَمَّا نَزَلَ رَمَضَانُ كَانَ رَمَضَانُ الْفَرِيضَةَ وَتُرِكَ عَاشُورَاءُ فَكَانَ مَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ لَمْ يَصُمْهُ (رواه البخارى)
Artinya: “Diriwayatkan dari Aisyah ra ia berkata: Adalah (dahulu) pada hari Asyura orang Quraisy berpuasa pada masa Jahiliyah, dan Nabi saw. (pada waktu di Makkah) pun tetap melakukannya. Ketika sampai di Madinah, beliau tetap melakukan puasa Asyura bahkan memerintahkan (kepada para shahabatnya) untuk berpuasa. Tatkala (puasa) Ramadhan diwajibkan, maka ditinggalkannya puasa Asyura. Beliau bersabda: Barangsiapa mau, maka boleh berpuasa, dan barangsiapa mau, maka boleh meninggalkannya”. (HR al-Bukhari)
Puasa Tasu’a dan Puasa Asyura
Dikalangan para ulama terdapat perbedaan apakah yang dimaksud Asyura itu hari kesembilan atau kesepuluh pada bulan Muharram ? Ibnu Abbas berpendapat bahwa hari Asyura adalah hari kesembilan pada bulan Muharram, sedang ulama Jumhur berpendapat bahwa hari Asyura adalah hari kesepuluh pada bulan Muharram. Pendapat ini dipegangi oleh Sa’id bin al-Musayyab, al-Hasan al-Bashri, Malik, Ahmad dan Ishaq. Pendapat kedua ini diperkuat oleh az-zain al-Munir yang mengatakan bahwa kebanyak ulama berpendapat: “Asyura” adalah hari kesepuluh dari bulan Muharram dan ini sesuai dengan asal pengambil kata “Asyura”. Dari kedua pendapat tersebut, maka pendapat kedua adalah pendapat yang paling kuat (Asyura adalah hari kesepuluh), karena dalam beberapa hadits dinyatakan secara tegas bahwa puasa Asyura dilakukan pada hari kesepuluh.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِصَوْمِ عَاشُورَاءَ يَوْمُ الْعَاشِرِ (الترمذى:الصوم عن رسول الله:ماجاء عاشوراء اى يوم هو)
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ia berkata; Rasulullah saw. Memerrintahkan puasa Asyura pada hari kesepuluh”. (HR at-Tirmidzi, Kitab ash-Shaum ‘an Rasulillah, Bab Maa Jaa Asyura ayyu yaumin hua)
Dalam kitab Tuhfah al-Ahwadzi disebutkan bahwa pelaksanaan puasa pada bulan Muharram terbagi pada tiga cara, yaitu; 1) Puasa pada hari ke-10 dengan 1 hari sebelumnya atau sesudahnya, 2) Puasa pada hari ke-9 dan ke-10, dan 3) Puasa hanya pada hari ke-10 saja. Dari ketiga cara pelaksanaan puasa pada bulan Muharram manakah cara yang paling kuat?
Beberapa hadits Nabi seperti hadits dari Aisyah yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, hadits dari Abu Huraerah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud , at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad menjelaskan tentang keutamaan puasa Asyura dan sebab disyariatkannya.
Adapun puasa Tasu’a dijelaskan dalam beberapa hadits diantaranya;
- Hadits riwayat Ibnu Abbas
قَالَ: حِيْنَ صَامَ رَسُوْلُ اللهِ صلعم يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ، قَالُوْا: يَارَسُوْلَ اللهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُوْدُ وَالنَصَارَى، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلعم :”فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ، فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُوْلُ اللهْ صلعم (رواه مسلم وأبو داود)
Artinya:”Dari ibnu Abbas ra. Ia berkata: Ketika Rasulullah SAW. berpuasa pada hari Asyura dan menyuruh para Shahabatnya juga berpuasa, maka mereka berkata: Wahai Rasulullah SAW. hari Asyura itu hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nashrani. Maka Rasululllah SAW. bersabda; Kalau demikian, Insya Allah tahun depan kita berpuasa pada hari yang kesembilan”. (HR. Muslim dan Abu Dawud)”.
- Hadits riwayat Ibnu Abbas
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَئِنْ بَقِيتُ إِلَى قَابِلٍ لَأَصُومَنَّ الْيَوْمَ التَّاسِعَ
(إبن ماجه:الصيام:صيام يوم عاشوراء)
Artinya: Ia (Ibnu Abbas berkata); Rasulullah saw bersabda: Seandainya aku (Rasulullah) masih hidup sampai tahun depan, maka aku akan berpuasa pada hari kesembilan”. (HR Ibnu Majah, Kitab ash-Shiyam, Bab Shiyam yaumi Asyura)
Kedua hadits tersebut menjelaskan bahwa Nabi telah berniat untuk melakukan puasa pada hari kesembilan meskipun sampai akhir hanyatnya tidak bisa terlaksana.
Dari beberapa hadits yang menjelaskan tentang puasa Asyura dan Tasu’a dapat disimpulkan bahwa puasa Asyura sebaiknya dilaksanakan sesudah puasa Tasu’a, karena Nabi Muhammad saw telah melakukan puasa Asyura pada hari kesepuluh dan beliaupun telah berniat puasa pada hari kesembilan, dan inilah pendapat (cara) yang paling kuat. Imam an-Nawawi berkata: Adapun sebab disunatkannya puasa Tasu’a bersama-sama dengan puasa Asyura adalah agar tidak menyamai puasanya orang Yahudi, seperti yang ditegaskan dalam hadits riwayat Ibnu Abbas
Karena secara umum, orang muslim dilarang melakukan perbuatan yang menyerupai orang non Muslim (Yahudi, Nashrani dan lainnya) dalam perbuatan yang bersifat ibadah.
Adapun keutamaan puasa Asyura pada bulan Muharram itu, dijelaskab oleh beberapa hadis di antaranya sebagai berikut:
1.Puasa Asyura merupakan salah satu dari empat perkara yang tidak pernah ditinggalkan oleh Nabi SAW.
عَنْ حَفْصَةَ قَالَتْ: أَرْبَعٌ لَمْ يَكُنْ يَدَعُهُنَّ النَّبِيُّ صلعم صِيَامَ عَاشُوْرَاءَ وَالْعَشْرَ وَثَلاَثَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْغَدَاةِ (رواه أحمد والنسائى)
Artinya: Dari Hafshoh ia berkata: Ada empat perkara yang tidak pernah ditinggalkan oleh Nabi SAW. yaitu:puasa “Asyura tanggal 10 dan puasa tiga hari setiap bulan serta shalat dua roka’at sebelum shubuh”. (HR.Ahmad dan an-Nasai).
2.Puasa Asyura mempunyai keutamaan dapat menghapus dosa tahun yang lal
عَنْ أَبِي قّتَادَةَ رضي الله عنه قَالَ: سُئِلَ رَسُوْلُ اللَّهِ صلعم عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ، فَقَالَ: يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ والْبَقِيَةَ، وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ عَاشُوْرَاءَ فَقَالَ:يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ (رواه الجماعة إلا البخارى والترمذى)
Artinya: Dari Qotadah ra. Ia berkata:Rasulullah SAW. pernah ditanya tentang puasa pada hari Arafah, beliau menjawab:Puasa pada hari Arafah dapat menghapus dosa tahun lalu dan tahun yang akan datang. Dan beliau ditanya lagi tentang puasa Asyura, maka beliau menjawab: Puasa Asyura dapat menghapus dosa yang lalu”. (HR. al-Jama’ah, kecuali al-Bukhori dan at-tirmidzi)
(Wallahu a’lam bish shawab)
Sumber: Majalah SM No 1 Tahun 2009