Muhammadiyah Menghadapi Dinamika Baru

Muhammadiyah Menghadapi Dinamika Baru

Oleh: Prof DR H Haedar Nashir, M.Si.

Muhammadiyah alhamdulillah termasuk organisasi Islam yang berhasil, lebih-lebih dengan amal usahanya di bidang pendidikan, kesehatan, sosial, dan lainnya. Sebagian pihak malah menyebut Muhammadiyah sebagai organisasi Islam modern terbesar bukan hanya di Indonesia tetapi di dunia Islam. Hal itu patut disyukuri sebagai anugerah Allah atas segala perjuangan yang sungguh-sungguh sejak Kyai Ahmad Dahlan dan  generasi awal merintis gerakan Islam ini sampai para penerusnya dari periode ke periode sampai saat ini.

Namun organisasi mana pun di dunia ini, bahkan negara, tidak akan lepas dari kekurangan dan kelemahan. Boleh jadi karena ketidaksungguhan dan pola pikir jumud dari para pimpinan dan anggotanya, organisasi yang sukses dan besar pun dapat menjadi tertinggal, dimungkinkan malah mundur dan menjadi kecil. Tentu Muhammadiyah dengan seluruh organisasi otonom, majelis, lembaga, amal usaha, dan institusi lain di dalamnya harus terhindar dari ketertinggalan dan kemunduran. Alangkah ruginya umat dan bangsa manakala Muhammadiyah berjalan di tempat, apalagi sampai berkemunduran.

Karenanaya dengan spirit misi Islam Berkemajuan dan Risalah Pencerahan, Muhammadiyah harus semakin maju di segala bidang gerakannya. Agar berkemajuan maka segenap bagian di institusi Muhammadiyah harus fokus dalam menjalankan usaha,  program, dan kegiatannya secara sungguh-sunghuh, terus menerus, optimal, kreatif, inovatif, dan progresif. Plus didukung pikiran maju dan terbuka dari para pimpinan, kader, dan anggotanya. Sebaliknya jangan pecah komitmen dan perhatian ke hal-hal yang bukan menjadi lahan gerak Muhammadiyah yang membuat usaha, program, dan kegiatan sendiri terabaikan. Di hadapan Muhammadiyah terbentang banyak tantangan dan agenda strategis dalam perkembangan dinamika sosial baru yang sangat kompleks.

Beragam Paham

Di tanah air tercinta saat ini terutama  setelah reformasi terdapat perkembangan dari gerakan-gerakan Islam mutakhir yang menunjukkan keragaman paham keagamaan dan ideologi yang luar biasa dengan kemajemukan pemikiran dan aksi yang tidak jarang saling berbenturan satu sama lain. Gerakan-gerakan Islam yang di masa Orde Baru tiarap atau underground bermunculan ke permukaan  seperti neo-NII dan Ikhwanul Muslimin yang beremetamorfosis ke dalam kelompok-kelompok Jihadis. Temasuk Hizbut Tahrir yang dilarang di Indonesia dan berbagai  negara Islam. Lahir pula gerakan-gerakan puritan seperti Salafi, Wahabi, Tarbiyah, Front Pembela Islam, Majelis Mujahidin, kelompok 212, dan lain-lain yang sering dikategorisasikan mewakili neorevivalisme atau neofundamentalisme Islam yang berkarakter militan, keras, politis, dan formalistik.

Di pendulum lain muncul gerakan-gerakan Islam yang cenderung liberal yang berada dalam gerakan neomodernisme Islam. Sementara kalangan tradisionalis juga bangkit menjadi postradisionalisme yang tampil inslusif, maju, dan kadernya berdiaspora di berbagai lapangan kehidupan melebihi kaum modernis. Kaum tradisionalis bukan tidak lagi tertinggal, mereka sangat maju. Kedua kelompok Islam ini kaya pemikiran keislaman dan pemikiran-pemikiran keilmuannya baik klaaik maupun modern, ketika kaum modernis cenderung pada aktivisme, ekslusif, hitam-putih, dan kurang menguasai wacana keislaman dan ruang publik. Para mubaligh, aktivism dan pimpinan Muhammadiyah kalau tidak mau bermuhasabah mungkin akan ketinggalan.

Di seberang lain tumbuh ideologi atau paham-paham kebangsaan atau nasionalisme, pluralisme, hak asasi manusia, populisme, dan orientasi gerakan lainnya yang bermacam alam pikiran yang dianut. Kelompok nativisme muncul dengan gerakan aliran kepercayaan dan “agama setempat” yang memperoleh pengakuan dari Mahkamah Konstitusi. Gerakan “LGBT” (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) juga bertumbuh untuk ingin memperoleh pengakuan negara. Aliran ideologi “kiri” juga berkembang pasca reformasi, malah diberitakan sebagai pengikut PKI atau Komunisme.

Rentangan keragaman pemikiran keagamaan dan ideolog tersebut sering menunjukkan fenomena yang oleh Tariq Ali (2002) disebut  The Clash Of Fundamentalism atau benturan antar kaum fundamentalis. Samuen P Huntington menyebut dalam skala global sebagai “The Clash of Civilizations” atau benturan antarperadaban. Artinya keragaman paham dan ideologi tersebut tidak hanya melahirkan kategorisasi yang bercorak pemikiran dan aksi, bahkan kontradiksi dalam orientasi aksi gerakan dan pengelompokan  golongan secara saling berseberangan dan terbuka pada konflik ideologis. Berada di antara keragaman paham dan ideologi tersebut tidaklah mudah bagaikan keniscayaan “mendayung di tengah seribu karang terjal”.

Dinamika Sosial

Muhammadiyah dan organisasi Islam lain juga berhadapan dengan dinamika sosial baru dalam kehidupan masyarakat Indonesia saat ini. Kehidupan politik, ekonomi, dan budaya yang semakin bebas akibat demokratisasi dan keterbukaan yang luar biasa pasca reformasi. Kehidupan politik semakin liberal yang ditandai dengan kontestasi politk yang keras dan  sarat pertentangan,  politik uang dan transaksional, peran partai politik yang sangat dominan dan cenderung oligarki, peran cukong dan pemilik modal yang sangat dominan, serta berbagai politik pasar bebas lainnya. Tokoh-tokoh agama dan ulama pun semakin tidak canggung terlibat politik partisan, mengejar kepentingan, menjadi kontestan, calon mencalonkan, dan partisan sehingga nyaris kehilangan peran “warasatul anbiya” dan pencerah nilai kehidupan.

Ekonomi pasar bebas menjadi bagian dari kapitalisme global yang semakin mencengkeram. Para pialang merajelala tanpa rasa sungkan sehingga semakin memiliki kekusaan berlebih. Dulu di era Orde Baru kelompok kecil yang menguasai ekonomi hanya bergerak di dunia bisnis dan konglomerasi, tetapi sekarang merambah ke dunia politik dan budaya termasuk menguasai media. Pajak bahkan menjadi instrumen negara paling digdaya sebagai penjelmaan negara kapitalisme murni, sehingga Pancasila hanya menjadi retorika tanpa berdaya memberi warna terhadap liberalisme ekonomi Indonesia, termasuk menggerus peran organisasi kemasyarakatan. Semua proses kebebasan tersebut dibuka lebar pasca reformasi dan amandemen UUD 1945 yang murni menganut paradigma demokrasi, ekonomi, dan budaya  liberal.

Kebudayaan masyarakat pun makin liberal, termasuk kehadiran media sosial yang sangat bebas. Masyarakat saat ini akrab dengan dan berada dalam era revolusi teknologi digital. Manusia di era digital menjadi hidup serba mudah dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dalam berbagai aspek. Tapi di era dunia digital, kejahatan manusia juga semakin mudah dan mengalami penjelmaan baru dalam bentuk cyber-crime, yakni kejahatan dengan pemanfaatan teknologi internet, yang berbasis pada kecanggihan teknologi computer dan telekomunikasi. Cyber-crime merupakan evolusi kejahatan “konvensional”  dari kejahatan kerah biru (blue collar crime) yaitu pencurian, penipuan, dan pembunuhan ke kejahatan kerah putih (white collar crime) seperti kejahatan korporasi, kejahatan birokrat, malpraktek, dan lain-lain.

Media sosial menjadi bagian dari revolusi teknologi digital. Media sosial melahirkan budaya paling bebas dalam mengembankan interaksi sosial. Hoax atau dusta dianggap kebenaran. Kutipan dan ujaran orang dapat dipenggal-penggal dan disajikan sesuai kepentingan aktor yang membikinnya untuk menciptakan opini tertentu. Ujaran-ujaran kasar, keras, dan kotor pun dalam dosis rendah hingga tinggi dapat diproduksi secara vulgar dan terbuka. Amarah, kebencian, permusuhan, dan fitnah menjadi hal lumrah dan serba bebas diproduksi dalam relasi media sosial nyaris tanpa bingkai benar-salah, baik-buruk, dan pantas-tidak pantas yang berbasis nilai-nilai luhur agama dan moralitas utama.

Muhammadiyah memang sudah mulai menggunakan teknologi modern seperti televisi serta penggunaan situs web, facebook, WhatsApp group, dan lain-lain untuk melakukan komunikasi dan menyampaikan informasi dakwah, namun intensitas dan kapasitasnya masih terbilang rendah dibandingkan dengan komunitas yang harus dijangkau. Namun Muhammadiyah masih tertinggal beberapa langkah dari sejumlah organisasi dakwah lain dalam penggunaan media sosial dan teknologi digital.

Warga Muhammadiyah lebih banyak sebagai konsumen daripada produsen dalam berdakwah di di era teknologi digital, media sosialm dan dinamika sosial baru itu. Apalagi jika perhatiannya terus pada isu-isu politik praktis dan hal-hal yang sifatnya parsial dengan pola pikir ekslusif dan hitam-putih maka lama  kelamaan Muhammadiyah akan semakin ketinggalan dalam berdakwah dan menghadapi zaman baru yang penuh tantangan itu.

Karenanya sudah tinggi waktunya bagi seluruh institusi di lingkungan Muhammadiyah untuk menghadirkan tabligh dan dakwah alternatif dengan pendekatan “lil-muwajahah” yakni proaktif menghadapi dengan memberikan bimbingan, arahan, panduan, dan terlibat dalam pembentukan dinamika baru berbasis nilai-nilai Islami yang bersifat pencerahan. Sikap serba konfrontasi terhadap keadaan (lil-mu’aradlah) lebih-lebih dengan pesan, substansi, dan pendekatan yang dangkal, ekslusif,  dan hitam-putih sangatlah ketinggalan dan tidak memberikan pemecahan.

Wujudkan Islam berkemajuan dan risalah pencerahan dalam praktik dakwah dan gerakan Muhammadiyah, termasuk dalam pemikiran, sikap, dan orientasi tindakan para pimpinan, kader, dan anggotanya. Saatnya Muhammadiyah hadir memberikan alternatif terbaik dalam berdakwah dan menghadikan Islam sebagai agama yang memberikan solusi dan pencerahan yang memajukan kehidupan di segala bidang sehingga kehadiran gerakan Islam ini menjadi rahmatan lil-‘alamin bagi masyarakat dan bangsa Indonesia!

Sumber: Majalah SM Edisi 15 Tahun 2019

Exit mobile version