YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Kembali pada jadwal rutinnya (9/8/2021), diskusi Bedah Karya Sejarah Muhammadiyah semakin menunjukkan kesemarakan setiap minggunya. Bahasan kedua dari tema Muhammadiyah untuk Bangsa pada bulan ini tidak hanya mengundang banyak partisipan, tetapi juga digembirakan tokoh-tokoh intelektual Muslim dalam negeri.
Nur Aini Setiawati, selaku penulis karya yang juga dosen Ilmu Sejarah di Universitas Gadjah Mada, membawakan materi bertajuk “Asykar Perang Sabil dan Kontribusi Muhammadiyah di Masa Revolusi”. Diskusinya sendiri dipandu oleh Teguh Imami, alumnus Departemen Ilmu Sejarah, Universitas Airlangga.
“Gagasan ini [Asykar Perang Sabil, pen.] muncul sebagai reaksi terhadap situasi negara,” jelas Nur Aini membuka paparan materinya terkait konteks Revolusi Fisik (1947-1949). Apalagi, ketika itu Yogyakarta yang juga “ibu kota” Muhammadiyah merupakan tempat pemindahan pusat pemerintahan Indonesia. Ditambah, kondisi semakin merunyam saat tentara Belanda dan sekutu merangsek hingga Yogyakarta dan pelosok-pelosoknya.
Maka dari itu, dengan semangat nasionalisme dan motif keagamaan, para ulama Muhammadiyah pun mengambil jalur militer sebagai upaya mempertahankan kemerdekaan. Bahkan, pembentukan APS ini mendapat restu langsung dari Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paku Alam VIII.
Beberapa nama yang menempati posisi organisator dalam APS di antaranya adalah Ki Bagus Hadikusumo sebagai penasihat, imamnya KH. Mahfudz Siradj, diketuai oleh KH. R. Hadjid, serta komandan dan wakil komandan ditempati M. Sarbini dan Juraimin.
Para insiator dan komandan Asykar Perang Sabil (APS) mendapatkan keterampilan militer dari kelompok paramiliter yang sudah ada sebelumnya, yakni Hizbullah dan Sabilillah.
Dalam pergerakannya, APS terintegrasi dengan komando dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan beranggotakan pasukan dari berbagai kalangan. Nur Aini menelusuri bahwa pasukan APS diisi oleh petani-petani yang ada di pelosok Gunung Kidul hingga Kulonprogo.
Beruntung sekali, diskusi ini dihadisi juga oleh Bu Uswatun, putri dari KH. R. Hadjid. Dalam ruang virtual, beliau bersedia membagikan kisah masa kecilnya tentang kondisi peperangan di Yogyakarta masa itu. “Hari pertama itu pesawat meraung-raung,” ia memulai kisah. Lalu, diikuti ingatan tentang kakak tertuanya yang anggota pasukan berlarian masuk ke Kauman sambal berteriak, “perang…perang…perang sekarang”.
Termasuk cerita tentang tokoh-tokoh veteran yang dengan gigihnya berjuang meski anggota badan sudah hancur. “Aku tidak mau menyerah. Mati-hidup saya tetap tidak akan menyerah,” begitu Bu Uswatun menirukannya.
Masih lekat dalam ingatannya saat salah kakak laki-laki yang usianya belum genap 20 tahun berpamitan pada ibu dan bapak, KH. Hadjid. Bapaknya sempat merespons, “kamu berani menghadapi tentara belanda?” dan dijawab dengan anggukan. Lalu, “Ibu saya bilang, ‘kamu hati-hati ya’ dan dia hanya mesem,” cerita Bu Uswatun.
Berangkatlah kakak Bu Uswatun bersama degan belasan pemuda seusianya untuk ditempatkan di Bantul sebagai sukarelawan. Namun, cerita berbelok pada kisah diberondongnya pasukan pemuda tersebut oleh peluru Belanda. Bahkan, perasaan sedih yang mendalam bisa terasa sampai kepada audiens diskusi malam itu.
Itu baru satu cerita, belum lagi tentang kenangan Bu Uswatun menyaksikan penembakan bumiputra di Alun-alun Utara, kisah pengungsian dari satu desa ke desa lain, dan ingatan pada sosok ayahnya.
Diskusi semakin hidup saat peserta mulai menambahkan komentar, masukan, dan ceritanya dari daerah masing-masing.
Pada penghujung diskusi Agus S. Djamil, dosen di UIN Syarif Hidayatullah, menekankan konteks Asykar Perang Sabil ini dalam konteks nasional. Dikatakan, bukan karena skalanya Yogyakarta lantas dianggap gerakan lokal. Namun, ini adalah gerakan militer skala nasional karena konteks posisi dan waktu kritis masa Revolusi itu. #
Pada aspek lain, Prof. Sjafri Sairin mengajak penelitian lebih lanjut mengenai kapan dibubarkan dan alasan di baliknya, sehiingga bisa masuk dalam konteks politiknya. (ykk)