PKO Muhammadiyah dan Promosi Kesehatan di Masa Hindia Belanda

pko

Gedung PKU Muhammadiyah Yogyakarta (Dok SM)

PKO Muhammadiyah dan Promosi Kesehatan di Masa Hindia Belanda

Oleh: Muhammad Yuanda Zara

Kesehatan merupakan aspek penting dalam kehidupan manusia. Tubuh yang sehat memungkinkan manusia untuk bisa hidup dan bekerja secara optimal sehingga akhirnya bisa memperoleh kesejahteraan. Usaha pemeliharaan kesehatan dimulai dari lingkungan keluarga, lalu dibentuk oleh komunitas-komunitas lainnya di mana manusia hidup. Di sinilah peran penting suatu usaha promosi kesehatan, yang secara umum dapat didefinisikan sebagai daya upaya untuk memelihara dan meningkatkan taraf kesehatan masyarakat.

Bila menilik sejarah pergerakan Muhammadiyah di era 1920an, atau sekitar satu abad silam, usaha promosi kesehatan merupakan salah satu aksi yang digalakkan persyarikatan ini. Era 1920an bukan hanya ditandai oleh era literasi (dengan pendirian Taman Pustaka misalnya) dan era ekspansi organisasi (dengan penyebaran cepat Muhammadiyah di Jawa dan Sumatra), tetapi juga era ketika Muhammadiyah memberikan atensi besar pada berbagai seruan dan aktivitas untuk memperbaiki tingkat kesehatan masyarakat, khususnya kaum pribumi Hindia Belanda yang umumnya masih miskin dan kurang berpengetahuan.

Sebagai sebuah pergerakan, Muhammadiyah pada mulanya memang menaruh perhatian besar pada aspek rohani dan pemikiran. Pada peralihan dari dekade kedua ke dekade ketiga di awal abad ke-20, Muhammadiyah mulai memberikan perhatian pada usaha kesejahteraan manusia, yang mencakup bidang pemeliharaan kesehatan, penanganan korban bencana alam, serta peningkatan derajat ekonomi masyarakat. PKO (PKU dalam ejaan baru) Muhammadiyah, yang kini cabangnya ada di berbagai kota besar di Indonesia, pada mulanya adalah suatu bagian yang bertugas untuk membantu korban letusan Gunung Kelud tahun 1918. Mitsuo Nakamura, dalam The Crescent Arises over the Banyan Tree (2012: 101), menyebut bahwa PKU merupakan cara Muhammadiyah untuk secara formal menginstitusionalisasikan aktivisme sosialnya.

Selain kesehatan yang diinstitusionalisasikan, ada satu hal penting lain yang patut dicatat di sini, yakni gagasan Muhammadiyah tentang kesehatan itu sendiri. Pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, sejauh ini dikenal sebagai seorang pemikir pembaruan Islam di Hindia Belanda. Tapi, pada tahun 1915 ia juga menjadi bagian dari usaha untuk menjaga kesehatan fisik dan mental kaum pribumi Hindia Belanda, khususnya penduduk Jawa, sebagaimana tampak dalam suratnya kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda yang meminta agar alkohol tidak dijual, atau setidaknya dibatasi penjualannya, kepada bangsa Jawa. Di sini sudah tampak keprihatinannya pada dampak buruk alkohol pada kesehatan tubuh dan jiwa kaum pribumi.

Di era 1920an, usaha promosi kesehatan dikerjakan oleh Muhammadiyah bagian PKO. Benar bahwa PKO merupakan sebuah lembaga fisik, yang mempunyai gedung pemeliharaan kesehatan beserta fasilitas kesehatannya yang berperan menyembuhkan penyakit pasiennya. Tapi ada kesadaran tentang kesehatan yang juga sering dipromosikan PKO, yang pada gilirannya membuat masyarakat pribumi, yang umumnya masih hidup di dunia tradisional dan bergantung pada dukun dan mistisisme dalam soal-soal kesehatan serta adakalanya menaruh stereotipe buruk pada mereka yang sakit atau fakir, berubah pandangan menjadi lebih suportif pada pemeliharaan kesehatan secara modern.

Pada awal dekade 1920an, PKO menekankan tentang adanya dua kelompok sosial di dalam masyarakat Hindia Belanda, yakni golongan kaya dan golongan miskin. Klasifikasi ini bukan hanya dari perspektif ekonomi, tapi juga dalam hal kesempatan untuk menjaga kesehatan tubuh secara maksimal. Orang-orang yang kaya tidak hanya bisa memiliki pakaian yang indah, tapi juga makan enak sesuai dengan yang diinginkannya, yang berarti mereka dapat menjaga kesehatan fisiknya dengan sangat baik. Adapun kaum miskin kala itu tampak dari pakaiannya yang telah robek dan badannya yang amat kurus. Badan mereka kurus karena mereka kekurangan makan yang bergizi.

Bagi PKO, di sinilah relevansi dari Surah Al Ma’un yang sering dikemukakan oleh Kyai Dahlan. Salah satu perwujudan dari Surah Al Ma’un, menurut PKO, adalah dengan menyediakan makan—tentu yang bergizi—bagi kaum miskin. PKO di permulaan era 1920an itu menganjurkan agar usaha untuk menyediakan makanan yang sehat dan cukup bagi kaum miskin ini dilakukan di mana-mana; dengan kata lain, dorongan untuk mendirikan cabang-cabang PKO di luar Kota Yogyakarta salah satunya dilandasi oleh anjuran untuk memasyarakatkan pola makan dan pola hidup yang sehat bagi masyarakat. Kaum hartawan maupun warga Muhammadiyah biasa yang berkecukupan diserukan oleh PKO untuk menjadi donatur di dalam usaha ini sehingga penyediaan konsumsi yang bernutrisi kepada mereka yang kurang beruntung bisa dilakukan secara berkelanjutan.

Di samping penyediaan makanan sehat untuk kaum miskin, PKO pada era 1920an itu juga menganjurkan pemeliharaan kesehatan lainnya, yaitu penyediaan apa yang mereka sebut sebagai ‘roemah pemeliharaan orang miskin’, ‘roemah pertoeloengan’, atau ‘roemah miskin’. Ide di balik ini ialah keinginan PKO agar kaum miskin tidak tidur di jalan.

Konsep rumah di sini tidak hanya mengacu pada sebuah ruang fisik, tetapi juga pada aspek-aspek  pemeliharaan kesehatan fisik dan mental yang diberikan oleh sebuah rumah, seperti perlindungan dari panas dan hujan, fasilitas MCK yang patut, keamanan dari gangguan dunia luar, serta sebuah komunitas, hal-hal yang pada akhirnya bukan hanya meningkatkan derajat kesehatan penghuninya tapi juga harga dirinya sehingga ia bisa kembali dengan percaya diri ke tengah masyarakat.

Rumah miskin ini didirikan oleh PKO pada akhir 1923 dan dalam beberapa bulan saja telah menampung puluhan orang yang membutuhkan, seperti para gelandangan, para pencari kerja di Yogyakarta yang belum memiliki rumah, serta para kuli kontrak Jawa yang baru pulang dari Deli tapi sudah tidak punya rumah lagi di kampung halamannya.

Foto lama RS PKU Muhammadiyah Sruweng

Beberapa tahun terakhir ini, PKU Muhammadiyah telah membantu para penyandang disabilitas untuk mempunyai peran di dalam masyarakat, termasuk dengan pemberian kursi roda dan, yang terbaru, memesan Alat Pelindung Diri (APD) bagi dokter dan perawat yang menangani Covid-19 kepada para penyandang disabilitas yang bisa menjahit. Akar dari dukungan PKU kepada penyandang disabilitas ini telah ada sejak sekitar seabad silam. Selain sebagai pegiat hidup sehat, PKO juga membantu mengubah pandangan masyarakat terhadap para penyandang disabilitas.

Rumah pertolongannya PKO di tahun 1920an itu dibangun untuk menampung mereka yang tersisih di dalam masyarakat, dan prioritas diberikan kepada masyarakat miskin, gelandangan dan pengangguran yang tidak punya rumah. Tapi, ada satu tambahan lagi kala itu, yakni para penyandang disabilitas. Mereka adalah kelompok yang lebih lama berada di rumah miskin tersebut. Para pengangguran akan pergi dari sana begitu mereka memiliki pekerjaan.

Adapun para penyandang disabilitas, menurut PKO, diberi kesempatan untuk tinggal lebih lama di rumah pertolongannya PKO itu. Di antara mereka adalah orang-orang tuna netra atau orang yang memiliki kekurangan pada anggota badannya yang lain. Tujuannya adalah agar mereka bisa dilatih untuk membuat kerajinan tangan ringan yang sesuai dengan kemampuannya sehingga ketika keluar dari rumah itu mereka bisa memiliki bekal keterampilan untuk melanjutkan hidup.

Para penyandang disabilitas itu, umpamanya, dilatih oleh rumah pertolongannya PKO untuk membuat sapu dan keset di rumah itu, yang kemudian dijual untuk umum. Dengan adanya produk yang dibutuhkan publik yang dihasilkan oleh para penyandang disabilitas, PKO berharap paradigma masyarakat bisa berubah terhadap penyandang disabilitas sehingga mereka bisa diterima sebagai anggota masyarakat yang memiliki suatu peranan tertentu di tengah publik.

Muhammad Yuanda Zara, Staf pengajar Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta

Sumber: Majalah SM Edisi 14 Tahun 2020

Exit mobile version