Buya Syafii Maarif: Belajar dari Hijrah Nabi dan Persahabatan Soekarno-Hatta

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyelenggarakan pengajian umum pada Jum’at, 13 Agustus 2021, melalui media Zoom. Acara yang bertema “Spirit Hijrah Mewujudkan Cita-Cita Kemerdekaan” ini dihadiri lebih dari 2.000 peserta. Acara ini diberikan kata pengantar oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. H. Haedar Nashir, dan dihadiri oleh tiga narasumber, Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif, Prof. Dr. H. Komaruddin Hidayat, dan Dr. Hj. Chusnul Hayati, M.Si.

Haedar Nashir dalam kata pengantarnya menegaskan bahwa Muhammadiyah menghadirkan jiwa kenegarawanan dengan terus berbuat untuk memecahkan masalah, bukan justru menjadi bagian dari masalah. Dalam situasi wabah Covid-19 yang menimpa dunia saat ini, jika tidak bisa memberi solusi, jangan menjadi beban dan membuat kontroversi, tegasnya.

Dalam pengajian ini, Haedar Nashir berharap agar warga persyarikatan di seluruh tanah air dan sebagian di beberapa belahan bumi, mengambil pelajaran dari materi yang disampaikan oleh ketiga narasumber. Kaum muslimin harus berhijrah dari mentalitas apologetik dan mentalitas terkepung, terkurung, kalah menuju pada mentalitas berkemajuan dan umat terbaik.

Buya Syafii mengatakan bahwa peristiwa hijrah Nabi adalah perpindahan tempat dari Makkah ke Madinah. Tapi hijrah juga bisa dimaknai perpindahan perilaku. Suku Quraisy praIslam telah mengenal nama Tuhan Allah, tapi Allah yang mereka pahami berbeda dengan Allah yang dipahami Nabi Muhammad Saw. Yang sulit bagi orang-orang Qurays tersebut adalah memahami hidup sesudah mati dengan segala pertanggungjawabannya sebagaimana yang diimani oleh Muhammad Saw.

Status sosial, ketimpangan sosial, fanatik kesukuan, dan berbagai perilaku nirkemanusiaan lainnya menjadi guncang setelah datangnya risalah Islam melalui Nabi Muhamamd Saw. Meskipun Nabi Muhammad Saw berusia relatif pendek jika dibandingkan dengan para nabi sebelumnya, tapi ia berhasil dalam dakwahnya. Ia mengubah paham kesukuan dengan persaudaraan atas dasar iman. Namun ikatan persaudaraan tersebut semakin pudar sepeninggal Nabi. Dinasti berkuasa silih berganti. Tak jarang antara satu dengan lainnya saling meniadakan demi kelompoknya masing-masing.

Indonesia di awal kemerdekaanya memiliki dua sosok inti yang menjadi inspirasi bagi bangsa Indonesia. mereka berdua adalah Soekarno dan Hatta, sang ploklamator. Keduanya adalah sahabat sejati yang berjuang untuk kemerdekaan bangsa Indonesia bersama para pahlawan dan pejuang lainnya di seluruh tanah air. Keduanya saling mengisi dan melengkapi. Ibarat mobil, kata Buya Syafii, Bung Karno adalah gas sedangkan Hatta adalah rem.

Namun sayangnya kelekatan dua Bung ini tidak bertahan hingga di akhir masa kepemimpinan. Sekiranya Bung Karno dan Bung Hatta bisa bertahan 10 tahun saja setelah tahun 1956, barangkali republik ini akan lebih baik lagi, dalam bayangan Buya Syafii. Tapi sudahlah, kata Buya, meskipun keduanya berbeda pandangan, mereka adalah sahabat sejati yang sama-sama berjasa untuk bangsa dan negara. Generasi sesudahnya harus pandai-pandai belajar dari sejarah untuk masa depan yang lebih baik.

Kita hidup dalam musibah wabah yang melanda seluruh dunia. Di akhir sesinya Buya Syafii berdoa semoga semangat hijrah yang bertepatan dengan hari-hari kemerdekaan Indonesia ini bisa membawa bangsa ke arah yang lebih baik. Masih ada secercah harapan bagi mereka yang mau berusaha dan berdoa, tidak hanya berkeluh kesah dan berpangku tangan saja. (Erik)

Exit mobile version