Era Disruptif dan Ilmu Kalam 4.0

Era Disruptif dan Ilmu Kalam 4.0

Oleh: Hanan Aslamiyah Thoriq

Kata “era disruptif” rasanya bukan lagi kosakata asing, sering terngiang ditelinga kita terutama pengguna aktif teknologi informasi. Disruptif berasal dari bahasa inggris yang memiliki banyak sekali padanan, yaitu interference, disturbance, interruption, nuisance, irritation, chaos, mess, clutter, turmoil, disorder. Keseluruhan padanan ini mengacu pada satu arti : gangguan dan kekacuan.

Lebih jauh lagi, definisi dari era disruptif adalah sebuah era dimana terjadi inovasi atau perubahan besar-besaran dan fundamental yang mengubah semua sistem dan tatanan yang ada kepada cara-cara baru. Diantara perubahan-perubahan tersebut adalah terjadinya disrupsi teknologi digital, yakni zaman terjadinya inovasi atau perubahan besar-besaran secara fundamental karena hadirnya teknologi digital, mengubah sistem yang terjadi didunia global bahkan membuat perubahan mendasar pada tatanan masyarakat dunia.

Adapun dampak paling berbahaya dari disrupsi teknologi digital adalah abainya pengguna teknologi pada nilai-nilai baik dan buruk, benar dan salah, sehingga yang menjadi acuan adalah ketenaran dan kepantasan publik. Hal ini menyebabkan semua orang merasa tergesa-gesa dan harus segera viral tanpa memperhatikan adab, maka perlunya konsep ta’dib untuk diintegrasikan dalam teknologi informasi.

Lebih parahnya setiap orang merasa memiliki hak untuk berkomentar termasuk dalam perihal agama hanya dengan mengandalkan akal tanpa kembali kepada wahyu. Bahkan tidak jarang kita temukan orang-orang yang berani mendebat ulama yang memiliki otoritas dalam bidangnya. Selain itu, luapan informasi yang memburu kita sampai ruang-ruang privasi membuat diri kita mudah terdistraksi, sulit berfikir jernih dan mengganggu konsentrasi.

Hilangnya nilai-nilai di era disruptif yang kurang disadari menyebabkan muncul berbagai masalah yang sangat penting untuk dibahas, seperti sekularisme, feminisme dan seterusnya. Selaras dengan hal ini, disebutkan dalam hadis yang ditakhrij oleh imam Bukhari pada kitab adab al-mufrad, bab al-ghina’ wa al-lahwi :

“Sesungguhnya saat ini kalian berada di zaman yang banyak fuqaha’nya, sedikit pencermahnya dan banyak pemberinya. Maka amal di zaman ini adalah pembimbing bagi hawa nafsu. Dan akan datang setelah kalian suatu zaman, fuqaha’nya sedikit, penceramahnya banyak, pemintanya berjubel dan pemberinya sedikit. Maka hawa nafsu pada saat itu merupakan pembimbing amalan.

Dua kondisi yang disebutkan hadis diatas adalah kondisi pada masa Nabi Muhammad yang banyak melahirkan fuqaha’ dan kondisi zaman sekarang yang berbanding terbalik dengan zaman Nabi. Oleh karenanya diperlukan ilmu untuk menjawab persoalan-persoalan kontemporer dengan fokus mengkaji argumen-argumen guna menjaga akidah agama dan menolak segala bentuk keraguan, inilah yang disebut dengan ilmu kalam (al-Mawaqif lil Iji).

Ilmu Kalam

Selain disebutkan dalam kitab al-Mawaqif, disebutkan juga dalam Muqaddimah Ibnu Khaldun, bahwa ilmu kalam adalah ilmu yang membahas pokok-pokok keimanan dengan dalil-dalil akli dan menolak para pembuat bid’ah dalam masalah keimanan yang menyimpang dari mazhab salaf dan ahlussunnah. Dari dua definisi diatas, dapat kita tarik benang merah bahwa ilmu kalam adalah seni berargumen dalam membela akidah agama dan menolak syubhat.

Maka ilmu kalam memiliki dua kedudukan penting, yaitu :

  1. Mangafirmasi dan mengukuhkan ajaran Islam. Merumuskan kembali konsep dan metodologi penting dalam khazanah pemikiran dan peradaban islam yang relevan dengan problem umat sekarang. Contohnya dalam bidang keilmuan yang meliputi falsafah, epistemologi, dan etika, kemudian dalam bidang pendidikan, sejarah, peradaban, politik, ekonomi, sosial dan seterusnya.
  2. Menolak dan menegasi segala bentuk syubhat yang merongrong ajaran islam. Menghadirkan respon Islam terhadap berbagai “pemikiran keislaman” yang berasal dari arus kebudayaan, aliran pemikiran dan ideologi modern. Sebagai contoh adalah konsep sexual consent yang digaung-gaungkan oleh paham femnisme, yang mana konsep tersebut tidak berlandaskan pada pandangan hidup atau worldview islam melainkan pada persetujuan kedua belah pihak. Contoh lainnya adalah konsep kerja yang fokus pada keuntungan materi, padahal dalam pandangan hidup islam terdapat konsep zakat untuk menyejahterkan kehidupan ekonomi umat, sehingga kerja dalam islam memiliki tujuan untuk mampu mengeluarkan zakat dalam rangka membangun ekonomi umat yang lebih baik bukan hanya sekedar hidup menjadi orang kaya.

Adapun gambaran yang lebih jelas dan spesifik terkait perkembangan revolusi industri 4.0 dan ilmu kalam 4.0 adalah sebagai berikut :

-Revolusi Industri vs Ilmu Kalam-

Revolusi Industri 1.0 : mesin uap sebagai pengganti tenaga manusia dan hewan.

Revolusi Industri 2.0 : dipicu oleh ban berjalan dan listrik sehingga menghasilkan mobil, tank dan pesawat besar-besaran dengan sistem assembly line (spesialisasi merakit satu bagian mobil untuk setiap grup).

Revolusi Industri 3.0 : dipicu oleh mesin yang dapat bergerak dan berpikir secara otomatis, yaitu komputer dan robot.

Revolusi Industri 4.0 : tren menggabungkan teknologi otomatisasi dengan teknologi siber, termasuk siber-fisik, internet of things (loT), cloud computing, dst.

Ilmu Kalam 1.0 : mazhab al-Salafussalih dan munculnya Mujassimah dan Mu’tazilah (fase sebelum Imam Asy’ari).

Ilmu Kalam 2.0 : kebangkitan mazhab salaf II pasca hegemoni Mu’tazilah; fase penggunaan mantiq dan premis-premis dalam ilmu kalam (era imam Asy’ari, imam al-Baqillani hingga imam Juwaini).

Ilmu Kalam 3.0 : fase tersistemnya metode kalam dengan sempurna dan mendudukkan mantiq secara tepat (integrasi metode kalam – filsafat, serta ruang lingkup kajian keduanya). Fase imam al-Ghazali sampai dengan pasca imam al-Razi.

Ilmu Kalam 4.0 : mengembangkan framework pemikiran islam dalam poleksosbud (politik, ekonomi, sosial, budaya) yang berangkat dari konsep worldview islam dan menjawab tantangan ideologi kontemporer.

Revolusi industri 4.0 yang terjadi dengan berbagai permasalahan yang dimunculkan dan ilmu kalam 4.0 berkembang untuk menjawab tantangan-tantangan tersebut dengan berpegang pada al-Qur’an dan Sunnah sebagai worldview umat islam. Sebab di era ini semakin terlihat fenomena krisis umat islam, khususnya pada ranah pemikiran.

Fenomen Krisis Umat Islam

Diantara fenomena krisis umat Islam adalah sebagai berikut :

  1. Ketidaktahuan dan mempertentangkan antara ulumuddin dan ilmu dunia. Padahal menuntut ilmu apa saja hukumnya wajib dalam Islam. Hanya saja memang ada dua pembagian, yaitu ilmu fardhu ain (wajib bagi setiap individu) dan ilmu fardu kifayah (jika sudah ada yang mempelajari maka yang lain tidak berdosa), contohnya ilmu teknik. Seorang mahasiswa teknik jika memiliki kesadaran bahwa jurusan yang ditekuni dapat menggugurkan dosa satu komunitas maka dia tidak akan menjalaninya dengan asal-asalan sebab yang dituju adalah ridha Allah SWT.
  2. Kurang adanya penghargaan terhadap ilmu dan ulama.
  3. Munculnya dualisme pada sistem pembelajaran. Dalam KBBI, dualisme adalah paham bahwa dalam kehidupan ini ada dua prinsip yang saling bertentangan. Contohnya adalah pembangunan ruhani yang dibentur-benturkan dengan pembangunan jasmani, kemudian berakhir dengan memilih salah satunya yang dianggap lebih diunggulkan. Akibatnya munculah pertanyaan-pertanyaan menjebak seperti, “mana yang lebih penting menjadi orang yang beragama atau orang yang baik?”. Pertanyaan semacam ini menyebabkan kebaikan dan agama seakan-akan bertentangan.
  4. Sistem pendidikan yang gagal, menyebabkan munculnya sekularisasi pengajaran yang melemahkan sisi akhlak peserta didik dan menggugurkan tujuan pendidikan islam yang ideal dalam mencapai peringkat manusia paripurna. Contohnya adalah pendidikan yang hanya mengejar keterampilan dan pengetahuan dasar tetapi mengabaikan konsep nilai-nilai dalam ajaran agama islam, sehingga ilmu yang dimiliki peserta didik mendahului adabnya.
  5. Banyaknya sarjana muslim yang meninggalkan negerinya karena cita-cita, perbaikan kualitas hidup, hilangnya harapan, ketidakadilan dan ketidakpastian.
  6. Pemisahan antara ahlul ‘ilmi dan ahlul sulthan (politik), menyebabkan politik diisi oleh orang-orang yang melepaskan agama.
  7. Minder menampilkan identitas sebagai seorang muslim.

Dengan berbagai problem dan fenomena menyedihkan diatas, ilmu kalam muncul untuk menolak para pembuat bid’ah dan menghentikan penebar syubhat. Sehingga kalangan awam umat islam yang lemah akal pemahamannya tidak terpedaya oleh syubhat.  Membantah syubhat dengan ilmu kalam akan lebih tepat, sebab membungkam argumen ahli bid’ah  dengan seni argumen yang sama akan lebih mengena untuk menunjukkan kesesatan mereka. Jika para ulama’ mengabaikan penyebaran syubhat, umat tidak akan mampu membedakan antara yang haq dan yang bathil serta yang khata’ dan yang shawab dalam masalah agama.

Dengan demikian, tugas kita sebagai penuntut ilmu adalah kembali kepada sumber-sumber dicapainya ilmu, baik dalam mengkaji ilmu maupun dalam menghadapi permasalahan umat, yakni wahyu (al-Qur’an dan Sunnah), akal dan alam raya. Akal manusia merupakan alat untuk memahami wahyu, hasil eksperimen dan observasi. Kemudian wahyu Illahi yang menjaga akal dari kekeliruan metodologis dan mengembalikan kebeneran yang relative kepada wahyu sebagai sumber kebenaran yang absolut/mutlak. Terakhir alam raya yang membuktikan hipotesa akal dan menjalankan perintah wahyu.

Imam al-Ghazali berkata bahwa “orang yang menafikan akal dan mencukupkan dirinya dengan cahaya al-Qur’an ibarat seperti orang yang condong kepada cahaya matahari tetapi menutup kelopak matanya. Maka tidak ada bedanya antara dia dan orang buta. Oleh karena itu, akal bersama wahyu adalah cahaya diatas cahaya.

Wallahu a’lam bisshawab

Hanan Aslamiyah Thoriq, Mahasiswi PUTM Yogyakarta

Hasil resume dari webinar series kajian keilmuan dasar islam yang diadakan oleh IKPM Gontor cabang Turki dan dinarasumberi oleh Dr. Henri Shalahuddin, MIRKH (peneliti INSITS bidang gender dan pemikiran islam).

Exit mobile version