Kaligrafi Islam dalam Tinjauan Dua Sarjana Barat
Oleh: Azhar Rasyid
Kaligrafi (dari bahasa Yunani, “kallos” yang artinya “indah” dan “graphein” yang artinya “menulis”) dikenal sebagai teknik untuk menghasilkan tulisan yang elok dan enak dipandang mata. Teknik ini tidak mudah karena penulisnya harus memiliki pengetahuan mumpuni tentang banyak aspek yang berkaitan dengan menulis indah, mulai dari pengetahuan tentang alat tulis yang sesuai, media penulisan yang cocok, jenis-jenis huruf, komposisi, penempatan, warna hingga perpaduan yang tepat dan menarik dari kesemua aspek ini. Dengan kata lain, tidak serta merta orang yang bisa menulis akan mampu menjadi pembuat kaligrafi.
Kaligrafi sendiri merupakan salah satu bidang seni yang lekat dengan sejarah dan tradisi Islam selama lebih dari satu milenium. Kaligrafi Islam umumnya mengambil teks dari dalam Al Quran sebagai sumber pokok ajaran Islam. Walau akarnya ada di Dunia Arab, Persia hingga ke Turki Usmani, namun kaligrafi Islam dewasa ini telah tersebar hingga ke berbagai penjuru dunia Islam, termasuk Afrika, India dan Asia Tenggara.
Para ahli sejarah Islam percaya bahwa bahasa Arab adalah salah satu unsur yang menyatukan umat Islam yang berbeda secara geografis dan budaya. Bahasa Arab tidak hanya dijadikan sebagai pintu masuk memahami ajaran Islam tapi juga sebagai medium yang dikreasikan secara visual guna menyampaikan pesan-pesan Islam dengan lebih indah dan menyentuh.
Bila dalam sejarah Islam sendiri kaligrafi mendapat perhatian besar, bagaimana dengan pandangan para sarjana Barat terhadap karya seni Islam ini?
Salah seorang pengamat Barat yang tertarik dengan seni kaligrafi dalam Islam adalah Annemarie Schimmel. Lahir tahun 1922 di tengah sebuah keluarga Protestan di Jerman, Schimmel belakangan dikenal sebagai seorang Orientalis ternama yang sangat berminat pada kajian budaya dan mistik Islam. Ia pernah mengajar teologi di Universitas Ankara (Turki) dan menjadi profesor di Universitas Harvard (Amerika Serikat).
Pada tahun 1992, ia, dengan bantuan Barbara Rivolta, menulis sebuah artikel mendalam tentang seni kaligrafi Islam. Judulnya “Islamic Calligraphy”. Tulisan ini diterbitkan oleh The Metropolitan Museum of Art, sebuah museum di New York, Amerika Serikat (AS). Berdiri sejak tahun 1870, museum ini dikenal publik sebagai museum seni terbesar di Amerika Serikat.
Schimmel menaruh minat besar pada kaligrafi Islam, yang ia pandang tak hanya menarik dari segi visual, tapi terutama sekali dari segi spiritual. Ia membuka tulisannya dengan sebuah peribahasa Arab lama, “Kesucian tulisan adalah kesucian hati”. Peribahasa ini merupakan penegasan bahwa menulis indah punya akar yang kuat dalam tradisi Islam. Schimmel menerangkan tentang bagaimana kaligrafi Islam berkaitan erat dengan kelahiran agama Islam di Tanah Arab. Setelah ayat-ayat Al Quran diturunkan, penulisannya segera dilakukan. Medianya beragam, termasuk tulang dan daun palem.
Kalifah Usman bin Affan adalah sosok penting dalam tradisi penulisan ayat Al Quran ini karena pada masa kekuasannyalah berbagai media penulisan itu dikumpulkan dan dijadikan satu. Salinannya kemudian disebarluaskan ke berbagai penjuru dunia Islam yang tengah mengalami perkembangan. Dari sanalah, terang Schimmel, muncul ribuan penulis kaligrafi. Mereka tak hanya piawai menyalin ayat Al Quran dengan indah, tetapi juga saleh, karena mereka percaya bahwa dengan menyalin Al Quran maka mereka akan mendapat pahala. Tak heran bila mereka berupaya keras agar salinan yang mereka buat benar-benar indah untuk dipandang.
Guna membagikan kekagumannya terhadap kaligrafi Islam pada pembacanya, Schimmel menyertakan banyak kaligrafi dalam tulisannya itu. Kaligrafi ini berasal dari berbagai wilayah di dunia Islam, termasuk Mesir, Irak, Iran, Suriah, Samarkhand, Turki, hingga Spanyol. Sebagian besar di antaranya adalah kaligrafi lawas, yang bertarikh mulai dari abad ke 8 M hingga ke abad-abad setelahnya. Media yang dipakai untuk menulis kaligrafi itu juga beragam, seperti di atas kertas, piring, cawan, penutup lampu, kulit, dan batu.
Selain Annemarie Schimmel, ada profesor lain yang berakar di Dunia Barat yang tertarik dengan kaligrafi Islam. Ia adalah David Simonowitz, profesor kajian Timur Tengah dan ahli seni Islam yang mengajar di Universitas Pepperdine, AS. Bila Schimmel tertarik pada kelahiran dan perkembangan kaligrafi Islam di abad-abad pertama kemunculan Islam, maka minat Simonowitz lebih kepada perkembangan modern kaligrafi Islam. Ia menuangkan perhatiannya itu dalam sebuah tulisan pada tahun 2010 yang berjudul “A Modern Master of Islamic Calligraphy and Her Peers”.
Dalam pandangan Simonowitz, ada satu aspek menarik dalam sejarah modern kaligrafi Islam, yang benar-benar membedakan kaligrafi Islam dengan seni menulis indah di Dunia Barat. Aspek itu ialah munculnya penulis kaligrafi perempuan. Yang ia contohkan untuk konteks masa kini adalah Hilal Kazan, seorang penulis kaligrafi asal Turki. Kazan adalah murid dari Hasan Celebi, seorang ahli kaligrafi Arab bergaya Turki Usmani terkemuka asal Turki.
Ijazah dari Celebi memberi Kazan otoritas yang biasanya hanya diperoleh penulis kaligrafi laki-laki. Otoritas semacam ini, terang Simonowitz, memberi Kazan wibawa yang hanya ada sedikit persamaannya ditemukan di Dunia Barat.
Simonowitz berpendapat bahwa sesungguhnya penulis kaligrafi wanita dalam Islam telah eksis sejak lama, bahkan sejak masa kelahiran Islam. Nabi Muhammad sendiri mendorong agar kaum wanita, dan tidak hanya kaum pria saja, untuk belajar menulis. Bahkan, sejumlah ahli kaligrafi wanita pernah muncul dan menjadi guru bagi penulis kaligrafi laki-laki. Namun, memang belum banyak rincian sejarah yang tersedia tentang kiprah para penulis kaligrafi wanita ini. Ini, ungkap Simonowitz, kemungkinan terjadi karena para penulis di tengah masyarakat tradisional Timur Tengah lebih tertarik menulis sejarah kaum pria daripada sejarah kaum wanita.
Sementara catatan sejarah tentang penulis kaligrafi wanita sangat minim di Timur Tengah, narasi yang lebih lengkap ada di dalam catatan sejarah Turki Usmani. Seorang penulis kaligrafi terkenal di zaman Usmani adalah Esma Ibret Hanim yang lahir tahun 1780. Saat berumur 15 tahun ia telah menghasilkan sebuah karya kaligrafi yang mendapat apresiasi dari Sultan Selim III, sultan Usmani berpikiran maju yang memerintah tahun 1789-1807.
Selain Hanim, ada beberapa penulis kaligrafi wanita lainnya di masa Turki Usmani. Mereka umumnya tidak hanya ahli dalam menulis indah, tapi juga merupakan wanita berpendidikan tinggi yang paham soal Al Quran, hukum Islam dan hadis Nabi. Dengan demikian, ungkap Simonowitz, penulis kaligrafi wanita di zaman Turki Usmani tidak hanya dikenal sebagai seniman belaka, tapi juga sebagai orang yang berpengetahuan dan saleh. Mereka, dengan demikian, merawat tradisi seni menulis indah sekaligus menyebarkan pesan-pesan Islam kepada publik lewat karya elok mereka.
Azhar Rasyid, Penilik sejarah Islam
Sumber: Majalah SM Edisi 3 Tahun 2019